27 Agustus 2024
20:30 WIB
(Masih) Mengejar Mimpi Ketahanan Pangan
Presiden Jokowi menjadikan pangan sebagai prioritas program di dua periode. Paradoks penurunan produksi dan rekor impor terbesar justru terjadi.
Seorang warga memanggul jerami sisa panen padi di persawahan jalan Adi Sucipto, Kota Mataram, Mataram, NTB, Kamis (8/8/2024). Antara Foto/Ahmad Subaidi |
JAKARTA - Masalah ketahanan pangan jadi isu yang tak ada habisnya dibahas Presiden Joko Widodo (Jokowi) semenjak 2014 hingga terpilih lagi pada 2019. Bahkan, kedaulatan pangan, ditegaskan sebagai program pembangunan prioritas Jokowi dalam Nawacita Ke-7 yakni mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Akan tetapi, apa mau dikata. Meski berkali-kali dibicarakan bahkan sampai masuk janji kampanye, realisasi pangan era Jokowi, jauh dari target. Mulai dari upaya mendorong produksi, menekan impor, sampai memperbanyak sawah, semuanya meleset.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat indikator-indikator dari masalah di atas. BPS menorehkan, luasan lahan sawah padi tanah air cenderung menurun. Ada memang kenaikan pada luasan lahan tanam jagung. Akan tetapi, kenaikan hanya naik sedikit dalam rentang waktu 2018-2023. Meski besaran soal lahan berbeda, yang pasti produksi padi maupun jagung ini masih cenderung lebih rendah dari capaian 2010-2015.
Dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menguraikan, kondisi pangan global sedang tidak baik-baik saja. Menurutnya, tantangan dalam penyediaan pangan buat masyarakat semakin kompleks.
Dalam tataran domestik saja, ada sekitar 7-16% penduduk Indonesia yang masih terhitung rentan kelaparan. “Kondisi ini tentunya merupakan warning bagi ketahanan pangan nasional kita. Karena (masalah) ketahanan pangan akan berdampak terhadap ketahanan negara,” jelas Amran di kompleks DPR, Jakarta, Senin (26/8).
Seakan belum lengkap, Indonesia juga patut waspada soal produksi beras, makanan utama anak bangsa. Jumlah luas tanam padi di dalam negeri terus anjlok hingga minus 32,79%. Data ini didapat dari hasil membandingkan luas tanam padi dari yang sebesar 12,82 juta ha pada 2015-2019, dan tersisa hanya 8,61 juta ha pada 2023 sampai Juni 2024.
“Penurunan luas tanam ini, tentunya sangat mempengaruhi luas panen padi, yang berdampak pada penurunan produksi (beras) yang dihasilkan,” tutur Arman.
Luasan sawah yang terus menurun jelas berdampak terhadap produksi padi yang menurun. Impor pun menjadi jawaban. BPS mencatat, impor beras cenderung meningkat dari kisaran ribu ton menjadi jutaan ton dalam kurun waktu Jokowi menjabat.
Rekor impor pun pecah pada 2023. Saat itu, pemerintah mengimpor beras sebanyak 3,06 juta ton.
Tak hanya beras. Juga, pemerintah juga aktif mengimpor kedelai yang dalam tren terus stabil tinggi dan beberapa kali naik selama 2013-2023, yang berkisar 1,78-2,67 juta ton. Saat ini, Indonesia setiap tahunnya tidak kurang mengimpor 2 juta ton kedelai dari dunia. Di tujuh bulan pertama 2024, impor kedelai sudah mencapai 1,67 juta ton.
Di sisi lain, aliran impor gandum-meslin Indonesia juga terus moncer naik dari kisaran 6,7-8,72 juta ton di 2013-2016 menjadi kisaran 10,08-11,22 juta ton di 2017-2021. Dalam beberapa tahun setelahnya, impor gandum-meslin ini dicoba ditekan lagi ke level beberapa juta ton saja. Namun, dalam tujuh bulan pertama 2024, impor gandum-meslin sudah mencapai 7,45 juta ton.
Melihat hal tersebut, Guru Besar IPB Dwi Andreas Santoso berpandangan, naiknya impor gandum Indonesia terjadi karena program swasembada jagung pemerintah yang mengalami tantangan. Menurutnya, terjadi kesalahan besar pada data jagung yang Kementan kumpulkan untuk menjustifikasi keberhasilan program swasembada pangan.
“Akibatnya, perusahaan pakan ternak kelabakan dan mencari alternatif lain pengganti jagung, membuat impor gandum melonjak… Sebagian besar kenaikan tersebut didominasi oleh impor gandum untuk pakan (wheat feed) yang harganya lebih mahal daripada jagung,” kata Andreas kepada Validnews, Senin (26/8).
BPS mendata, kinerja produksi jagung nasional pada 2020-2023 yang berkisar 12,92-16,52 juta ton per tahun, cukup jauh menurun ketimbang kinerja pada 2010-2015 yang sempat mencapai kisaran 17,64-19,61 juta ton.
Secara garis besar, data BPS menunjukkan kecenderungan bobot impor Indonesia buat kelima komoditas pangan berupa gandum-meslin, gula, beras, kedelai, dan susu berbanding impor nonmigas RI sekilas terus mengalami kenaikan. Dari yang hanya berkisar 4-5%-an selama 2013-2023, menjadi 6,65% selama Januari-Juli 2024 ini.
Jago Program
Andreas pun menyimpulkan, pembangunan pertanian pangan nasional menghadapi persoalan serius. Pada periode pertama Jokowi, pemerintah mematok berbagai program pertanian yang besar dan muluk.
Program ini beragam. Mulai dari, Upaya Khusus Padi, Jagung, dan Kedelai (Upsus Pajale) 2015-2017, swasembada bawang putih 2017-2019, swasembada gula 2015-2019, swasembada daging sapi, serta food estate seluas 1,2 juta hektare yang dimulai pada 2015. Ironis, Andreas menilai, kesemua program mengalami kegagalan.
“Kegagalan berulang pada periode kedua 2019-2024,” tegasnya.
Pengamat pertanian Syaiful Bahari berpersepsi lain. Dia mengungkapkan, sebenarnya impor bukan merupakan hal yang tabu dilakukan. Apalagi, ini sudah dilakukan pemerintah sejak pertama kali merdeka di 1945 silam. Semua pihak tak boleh menutup mata, dalam konteks beras, semua pemimpin negara pernah impor yang jumlahnya ditentukan situasi yang dihadapi masing-masing pemerintahan.
Dia memaparkan, pada era Sukarno, pemerintah pernah impor beras sebanyak 1,7 juta ton, karena zaman itu pembangunan sektor pertanian belum masif. Pada era Suharto, meski sempat nol persen impor beras selama 1985-1986, setelahnya Indonesia diketahui mengimpor beras 6,1 juta ton dalam kurun waktu 1987-1998.
Pada era Habibie, setelah reformasi 1998, kejadian krisis ekonomi dan politik memaksa Indonesia untuk mengimpor beras 4,35 juta ton. Setelah reformasi, RI pernah impor beras sebanyak 4,12 juta ton di era presiden Megawati. Kemudian, impor berlanjut di era presiden SBY sebesar 4,55 juta ton.
Namun, dia juga menggarisbawahi rekor impor beras RI yang pecah dalam sejarah di era Jokowi, dengan total 10,2 juta ton dari 2014-2023 sebagaimana dicatat BPS. Jika mau ditambah dengan realisasi impor beras sementara di Januari-Juli 2024 sebesar 2,85 juta ton, maka total impor beras di era Jokowi sebesar 13,5 juta ton.
“Dari sini dapat dilihat, meskipun presiden Jokowi selalu mengatakan (Indonesia) akan swasembada beras, tetapi dari segi pelaksanaannya sangat jauh,” jelas Syaiful kepada Validnews, Sabtu (24/8).
Menurutnya, sinyal awal besarnya kebutuhan impor beras dapat diketahui dari realisasi anggaran pupuk yang makin kecil dari jumlah yang dibutuhkan petani. Dia amat menyayangkan, terjadi pemotongan anggaran pupuk sampai Rp10 triliun selama lima tahun, termasuk pengurangan anggaran bibit dan lainnya.
Syaiful di sisi lain, mengapresiasi fokus pemerintahan Jokowi yang terus membangun infrastruktur pengairan pertanian nasional lewat waduk bernilai triliunan rupiah. Hanya saja, pembangunan ini malah menjadi kurang produktif lantaran pemerintah ‘lupa’ membangun irigasi tersiernya.
“Akhirnya, tetap saja petani mengalami kekeringan (lahan) di musim kemarau,” ujarnya.
Tantangan pertanian domestik juga menghadapi masalah luasan lahan yang persisten berkurang, terutama lahan-lahan produktif. Lagi-lagi, menurutnya, Jokowi terkesan lebih mengorbankan lahan pertanian produktif di Jawa untuk pembangunan kawasan industri, perumahan, hotel dan resort.
Adapun strategi menggantikan alih lahan tersebut dengan program lumbung pangan atau food estate di luar Jawa tak berakhir manis, “(Karena) akhirnya banyak yang mangkrak,” kata Syaiful.
Karena itu, Syaiful mengaku kecewa. Praktis sepanjang 10 tahun pertanian di era Jokowi tidak ada kemajuan berarti. Bahkan, laju produksi beras saat ini sudah tidak bisa lagi mengimbangi laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan beras nasional.
Strategi Produksi Pangan 2025
Pemerintah, mengaku tak ingin berpangku tangan. Mentan Amran menyampaikan, pemerintah sudah dan sedang berupaya meningkatkan produksi padi lewat program Penambahan Areal Tanam (PAT).
Program tersebut pun akan akan mendorong pompanisasi air sungai untuk lahan sawah tadah hujan, optimalisasi lahan rawa, hingga tumpang sisip padi gogo pada tanaman kelapa sawit atau kelapa yang belum menghasilkan.
Kementan juga turut memastikan mengembalikan alokasi pupuk bersubsidi menjadi 9,55 juta ton, dari yang sebelumnya turun separuhnya hingga tersisa 4,7 juta ton.
“Melalui kegiatan ini, diharapkan produksi dapat bisa meningkat. Agar ketersediaan pangan produksi dalam negeri membaik dan ketergantungan pada impor beras bisa ditekan,” sebut Amran.
Selain itu, pemerintah juga berjanji mengupayakan program cetak sawah meski hasilnya baru terlihat optimal 3-4 tahun kemudian. Namun, dia mengestimasi upaya cetak sawah saat ini sudah terindikasi bisa langsung optimal dalam 1-2 tahun saja.
Untuk itu, Amran kembali mengingatkan, optimalisasi penanaman di kawasan upland akan terus digenjot dari yang hanya sekali panen bisa menjadi setidaknya tiga kali panen dengan perbantuan pompanisasi areal sawah. Hal yang sama juga akan diupayakan pada pertanaman di lahan rawa lewat perbaikan infrastruktur irigasi.
Dia optimistis, strategi ini bisa menggaransi produksi padi dari cetak sawah baru yang baru bisa optimal selang beberapa waktu. Nantinya, cetak sawah akan menjadi pemenuhan produksi beras dalam jangka lebih panjang.
“Solusi jangka panjang adalah cetak sawah,” ucapnya.
Sekadar pengingat, cetak sawah bukan program baru milik pemerintah. Sedianya, pemerintah telah menyusun roadmap cetak sawah baru pada 2016-2019 dengan target 1 juta hektare. Utamanya, ditujukan untuk meningkatkan produksi padi, jagung dan kedelai (pajale) setiap tahunnya.
Pemerintah mencatat, cetak sawah di tahun 2016 telah dilaksanakan sebanyak 200 ribu ha, sementara sisanya dikerjakan pada tahun 2017 hingga 2019. Dalam Buku Nota Keuangan dan RAPBN 2025, pemerintah mengaku telah berhasil menghasilkan output pengembangan kawasan padi dalam prioritas pembangunan ketahanan pangan periode 2020–2024.
Pengembangan kawasan padi selama 2020-2023 seluas 1.707.208 ha dan diperkirakan terealisasi penambahan pengembangan seluas 763.227 ha pada tahun 2024. Adapun, pemerintah kembali menarget pengembangan kawasan padi seluas 435.000 ha di 2025 sebagai bentuk ketahanan pangan melalui belanja pemerintah pusat (BPP).
Wakil Menteri Kementerian Sudaryono menambahkan, pemerintah juga akan menyisir stabilitas produksi berbagai daerah sentra produksi jagung, kedelai, bawang merah, sampai cabai-cabaian. Diharapkan, pada saat alami kelangkaan pasokan, pemerintah bisa segera menanggulanginya.
“Kenaikan harga selalu jadi isu, tapi (kalau) naik 1-2 hari kan biasa, yang penting jangan bertahan lama. Kalau kenaikan (harga) terus bertahan lama kayak minyak goreng, itu jadi krisis… Kalau turun, mesti ada action supaya dia gak terlalu rendah, sementara kalau naik juga harus ada action supaya enggak terlalu tinggi,” papar Sudaryono, Senin (26/8).
Kementan juga tengah menggencarkan program Pekarangan Pangan Lestari (P2L), agar keluarga-keluarga di tanah air bisa mulai menanam sayur-sayuran di pekarangan masing-masing. Kementan mengestimasi, kelancaran program ini bisa punya skala ekonomis bernilai triliunan rupiah, yang jika ditarik ke tingkat rumah tangga bisa menghemat ongkos rerata pengeluaran belanja pangan Rp2 juta per bulan.
Butuh Anggaran Tambahan Jumbo
Untuk semua program ini, Amran juga mendesak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk bisa menambah pagu anggaran Kementan menjadi sekitar Rp68 triliun, dari yang dicatat dalam Nota Keuangan-RAPBN 2025 hanya sebesar Rp7,9 triliun. Tambahan anggaran tersebut sekitar Rp25-35 triliunnya untuk menyukseskan program cetak sawa 1 juta ha.
“Karena kita tahu, sekarang ada kondisi climate change secara global dan juga di Indonesia ini ada perubahan iklim yang luar biasa. Ada ketidakpastian (iklim pertanian) yang sangat tinggi, sehingga pemerintah bertekad untuk mencapai cetak sawah 1 juta hektare,” ungkap Amran.
Menurutnya juga penambahan anggaran ini sangat beralasan karena penjaminan keamanan pangan di dalam negeri memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Bahkan, dirinya tidak segan menyebut rencana pagu Kementan 2025 yang sekitar Rp7,9 triliun mengindikasikan pemerintah selanjutnya siap untuk melancarkan impor pangan lagi.
Menurut Buku Nota Keuangan dan RAPBN 2025, pagu anggaran Kementan cenderung terus menciut dari kisaran Rp14,31-15,87 triliun di 2020-2023 menjadi hanya Rp7,9 triliun di 2025. Adapun outlook anggaran Kementan 2024 sebesar Rp13,33 triliun.
Padahal, pemerintah sendiri merencanakan anggaran tematik ketahanan pangan 2025 sebesar Rp124,4 triliun, atau bertumbuh 7,9% (yoy) dari anggaran sama pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp115,3 triliun.
“Kalau mau swasembada (pertanian), tambah (anggaran Kementan) Rp68 triliun. Tidak mungkin kita swasembada dengan anggaran Rp7,9 triliun, tidak mungkin. Itu namanya direncanakan untuk impor,” tegasnya.
Soal tambahan anggaran juga diamini oleh Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi. Tambahan anggaran juga akan dialamatkan Bapanas untuk menyerap produksi pertanian yang dihasilkan, agar produksi yang meningkat tidak menyisakan residu jelek di tingkat petani berupa anjloknya pendapatan akibat harga pangan di pasaran yang rendah.
Oleh karena itu, Arief meminta agar pemerintah juga perlu memperhatikan dari sisi penyerapan produksi, jika produksi pangan telah ditingkatkan.
"Jadi yang diperlukan hari ini adalah anggaran. Apabila Kementerian Pertanian sudah melakukan produksi sesuai target dan naik, harusnya kita sudah ada standby buyer," ungkap Arief, Senin (26/8).
Menurut Buku Nota Keuangan dan RAPBN 2025, pagu anggaran Bapanas tahun depan hanya diberikan sebesar Rp330 miliar. Jumlah ini lebih rendah dari outlook anggaran 2024 yang sebesar Rp557,5 miliar ataupun realisasi 2023 sebesar Rp443 miliar.
Sadar Swasembada
Terhadap penggunaan anggaran dan sasarannya, Syaiful Bahari menekankan, swasembada pangan juga bukan berarti semua komoditas harus digenjot produksinya, tidak perlu juga memproduksi komoditas berbiaya mahal dengan hasil produksi minim.
Sebaiknya, Indonesia fokus memproduksi bawang merah, daripada bawang putih, karena kecocokan agronomisnya dapat tumbuh dengan baik dan mampu bersaing dengan bawang merah luar negeri.
Hal yang sama juga bisa diterapkan kepada komoditas kedelai. “Pemerintah harus melakukan pilihan, mana yang diswasembadakan dan mana yang tidak perlu,” terang Syaiful.
Untuk jagung, dia merasa, Indonesia masih terbuka kesempatan swasembada, bahkan berpotensi menjadi negara eksportir jagung di Asia. Kendati, visi tersebut harus disertai komitmen dan konsistensi pemerintah untuk tanaman ini, karena dalam beberapa waktu RI kita masih tetap impor.
Dia pun berpesan, pemerintah Prabowo ke depan harus memikirkan perbaikan produksi pertanian pangan dan penambahan lahan pertanian baru. Indonesia cukup banyak memiliki lahan kering untuk pertanian pangan, yang dapat digunakan menutupi defisit produksi pangan di dalam negeri, terutama beras.
Adapun Guru Besar IPB Dwi Andreas Santoso merekomendasikan pemerintah untuk tidak kembali buang-buang anggaran pertanian nasional lewat strategi cetak sawah yang terbukti selama 25 tahun terakhir gagal. Entah dalam bentuk program food estate dan lainnya. Jika sudah terbukti gagal berulang kali, tidak perlu dicoba lagi.
Terkait pagu anggaran Kementan dan Bapanas yang minimal dalam ketahananan pangan 2025, Andreas sinyalir erat berhubungan dengan implementasi Makan Bergizi Gratis (MBG) di waktu bersamaan. MBG yang sudah ditetapkan Rp71 triliun sudah menyebabkan anggaran Kementerian/Lembaga menurun.
“Nah peningkatan (pemenuhan) kebutuhan (MBG) dari mana? Ya, dari impor. Perkiraan saya, karena Makan Bergizi Gratis ini akan melonjakkan impor kita, yang dalam 10 tahun terakhir ini saja sudah melonjak hampir dua kali lipat,” ucap Andreas.
Untuk kepentingan pelaksanaan MBG, Andreas menyarankan, pemerintah bisa lakukan dengan Badan Pangan Nasional (Bapanas) saja.
“Lebih baik, Badan Gizi Nasional sudahlah dibubarkan saja. Diserahkan masalah untuk Makan Bergizi Gratis itu ke Badan Pangan Nasional,” sergahnya.
Banyak Permasalahan
Menyangkut kinerja sektor pertanian ini, Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, Abra Talattov punya catatan tersendiri. Di satu sisi, seperti halnya Samsyul dan Andreas, dia sepakat bahwa dalam sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi, masih banyak permasalahan di sektor pertanian yang belum terselesaikan dan tidak mencapai target yang diharapkan.
Dia melihat ini pula melalui pertumbuhan sektor pertanian dari tahun 2014 hingga 2023 yang cenderung menunjukkan tren menurun.
Abra menuturkan pada 2014, pertumbuhan sektor pertanian tercatat mencapai 4,24%, namun di tahun 2023 justru turun menjadi 1,3%. Bahkan penurunan lebih dalam terjadi pada kuartal I tahun 2024 yang menyentuh -3,54%.
"Sektor pertanian pertumbuhannya selalu di bawah pertumbuhan PDB. Padahal sektor pertanian sangat strategis untuk menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan, serta sentra tenaga kerja di Indonesia," kata Abra dalam diskusi INDEF Evaluasi 10 Tahun Pemerintahan Jokowi, Selasa (27/8).
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB di tahun 2014 berada di 13,34%. Posisi ini cenderung stagnan karena pada 2023 hanya ada di 12,5%.
"Komitmen pemerintahan Jokowi untuk terus menumbuhkan sektor pertanian untuk menopang perekonomian nasional ternyata tidak seindah yang diucapkan. Realitasnya, kontribusi terus menurun," imbuhnya.
Berikutnya penurunan juga terjadi pada kontribusi subsektor pertanian terutama tanaman pangan terhadap PDB, dari 3,25% di tahun 2014 menjadi hanya 2,26% pada 2023. Sama halnya dengan penyusutan pada tanaman pangan hortikultura yang kontribusi terhadap PDB-nya juga ikut turun, dari 1,52% menjadi 1,37%.
Penyusutan ini pun yang disampaikan Abra sebagai latar belakang pemerintah memilih importasi pangan seperti beras dan beberapa tanaman hortikultura.
Indikator berikutnya yang menunjukkan penurunan pertumbuhan pertanian Indonesia yaitu indeks ketahanan pangan Indonesia secara global masih tertinggal bahkan dibandingkan dengan negara Asean. Indonesia berada di posisi 63 dengan skor 60,1, sedangkan Singapura di posisi 28 dengan skor 73,1.
Terakhir adalah pembiayaan oleh petani. Abra menyampaikan, masih terdapat ketimpangan akses pembiayaan dan keterbatasan akses pelatihan bagi petani. Dia mencontohkan, di Gorontalo masih ada 21,9% keluarga petani yang mendapatkan KUR, namun hanya 0,5% yang memperoleh pelatihan.
Begitu juga di Provinsi Papua yang baru 1,2% petani memperoleh pembiayaan KUR. Menurut Abra, masih ada ketimpangan akses pembiayaan dan pelatihan antarwilayah. Ini masalah yang seharusnya diselesaikan pemerintahan yang baru.
"Saya pikir akan menjadi PR yang cukup berat bagi pemerintahan mendatang. Bagaimana memastikan pembiayaan untuk sektor pertanian, baik pembiayaan yang dialokasikan oleh anggaran negara maupun pembiayaan dari sektor komersial ini bisa menjangkau para petani kita, khususnya kawasan Indonesia Timur," tandas Abra.