c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

04 Mei 2023

19:49 WIB

Ekonom Yakini Dedolarisasi Via LCT Akan Populer Di Dunia

Dedolarisasi lewat skema LCT juga akan semakin bervariasi di luar kebutuhan pariwisata saja.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

Ekonom Yakini Dedolarisasi Via LCT Akan Populer Di Dunia
Ekonom Yakini Dedolarisasi Via LCT Akan Populer Di Dunia
Petugas menunjukan uang pecahan rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Antara Foto/Muhammad Adimaja

JAKARTA - Kepala Ekonom BCA David Sumual meyakini popularitas dan tren dedolarisasi melalui penggunaan skema Transaksi Mata Uang Lokal (Local Currency Transaction/LCT) akan semakin berkembang ke depan di tingkat global. Selain itu, penggunaan LCT juga akan semakin bervariasi di luar kebutuhan pariwisata saja.

Lewat skema LCT, David mencontohkan, Indonesia dapat menggali kemungkinan kerja sama di bidang perdagangan dengan sejumlah negara Timur Tengah. Seperti diketahui bersama, Nusantara masih mengimpor sejumlah besar komoditas migas dari wilayah ini. 

“Di sisi lain, kita juga mengirim orang berhaji ke sana (setiap tahun), nah itu kan bisa menggunakan aplikasi QR di Arab Saudi (untuk keperluan transaksi). Hal ini juga dapat berlaku ketika turis Timur Tengah datang ke Indonesia dan bisa menggunakan QR,” jelasnya kepada Validnews, Jakarta, Kamis (4/5).

Dengan demikian, fitur LCT akan semakin luas diterapkan di bidang kepariwisataan, perdagangan ekspor-impor yang lebih komprehensif, hingga UMKM. Harapannya, permintaan terhadap dolar AS tidak akan sebesar sekarang yang masih masif digunakan dalam proses transaksi. 

“Kalau sekarang kan apa-apa harus lari (tukar) ke dolar baru ke riyal atau baht misalnya, jadi dua kali transaksi. (Lewat LCT) efisiensi (transaksi) ini bisa digapai juga," sebutnya.

Selanjutnya, dirinya menyarankan, agar Indonesia terus berupaya aktif mengajukan kerja sama pengimplementasian LCT dengan sejumlah negara dan kawasan. Setelah berhasil menggagas LCT di ASEAN, Indonesia dapat mulai mengajukan ke negara maju terdekat atau berkembang lainnya.

“Seperti Australia, (negara) di Timur Tengah juga potensial, baru (jajaki LCT) Amerika Latin dan seterusnya,” terangnya. 

Baca Juga: Indonesia Dorong LCT Secara Masif Di ASEAN

Sejak 2017, Bank Indonesia telah menjalin kerja sama dengan China, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Teranyar, di sela pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 (AFMGM+3), BI dan Bank of Korea (BoK) sepakat menggunaan mata uang lokal masing-masing dalam transaksi bilateral.

Sejatinya, David menyebut, inisiatif dedolarisasi sudah lama digaungkan oleh kawasan ASEAN+3 melalui Chiang Mai Initiative (CMI) lewat kerja sama currency-swap arrangement pada awal 2000-anLebih lanjut, Indonesia juga melakukan swap arrangement dengan Jepang, China dan Australia dalam hal kerjasama antar bank sentral.

“(Kerja sama) ini untuk jaga-jaga kalau ada tekanan spekulatif, kita bisa melakukan arrangement swap dengan negara lain untuk tambahan cadangan devisa,” ujarnya.

Adapun kerja sama mata uang baru dilakukan beberapa tahun terakhir oleh Indonesia kepada Malaysia dan Thailand, lalu berkembang ke Jepang, China Korea Selatan, termasuk Laos. Kerja sama ini pun dilandasi untuk mempererat perdagangan dan investasi, di tengah kecanggihan dan kemudahan transaksi secara digital. 

“Karena dulu sulit, karena kita butuh menggunakan physical cash (untuk transaksi di luar negeri). Kalau sekarang, mau pergi ke negara lain pun, kita bisa (transaksi) menggunakan aplikasi dan memungkinkan secara teknologi,” jabarnya. 

LCT sendiri merupakan bentuk lebih advance dari Penyelesaian Mata Uang Lokal (Local Currency Settlement/LCS) yang mengutamakan transaksi besar dan/atau khusus dari eksportir maupun importir. “Nah kalau sekarang, (LCT) melibatkan individu, misal kalau lagi jalan-jalan dan pariwisata kita bisa transaksi menggunakan QR,” sambungnya. 

Baca Juga: Marak Dedolarisasi, Bagaimana Dampak Ke Ekonomi Indonesia?

Tantangan Yang Dapat Dilewati
Untuk mencapai visi LCT sesungguhnya, David pun mengingatkan, sejumlah tantangan akan jadi proses yang mesti dihadapi dan dilalui oleh Indonesia. Paling kentara, tantangan itu hadir dari sisi sistem transaksi dan legal-prosedur di masing-masing negara yang akan jauh berbeda satu sama lain.

Meski begitu, beragam tantangan ini David percaya akan sepadan dengan tren transaksi yang mengarah ke sana, untuk mendukung perekonomian Indonesia di masa depan. Karenanya, proses penjajakan transaksi dengan mata uang lokal ini harus dimulai secepatnya.

“Terpenting komitmen kerjasama dulu yang bisa dilakukan otoritas dengan melakukan penjajakan… Dengan negara mitra dagang maupun yang banyak (pergerakan) wisatawan sehingga saling memudahkan (transaksi pariwisata),” ujarnya. 

Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menginformasikan, sepanjang Januari-Februari 2023, realisasi transaksi Indonesia dalam menggunakan mata uang lokal (Local Currency Transaction/LCT) telah mencapai US$957 juta.

“Jadi, rata-ratanya hampir US$480 juta (per bulan) dan ini lebih tinggi dari rata-rata pada 2022 yang sebesar US$350 juta,” kata Destry saat RDG BI edisi April 2023, Selasa (18/4).

Saat ini, ada empat negara yang terlibat dalam kerja sama LCT, yakni Thailand, Malaysia, Jepang, dan China. Khusus China, tren transaksi LCT-nya terpantau agak melambat karena dinamika covid-19. Meski begitu, tiga negara lainnya menunjukkan tren transaksi yang menguat, khususnya Jepang.

Selain jumlah transaksi, BI mencatat, kenaikan juga terjadi di sisi jumlah pelaku LCT dibandingkan tahun lalu. Sementara ini, sepanjang kalender berjalan, jumlah pelaku LCT naik menjadi 2.014 pelaku, atau lebih besar dari jumlah pelaku LCT 2022 yang sebesar 1.740 pelaku.

Reputasi Dolar Sebagai Alat Politik
 
Dilihat dari sisi politis, David menyampaikan, banyak negara di dunia yang melakukan inisiatif dedolarisasi sedikit-banyak diilhami dari kemauan untuk bisa lepas dari bayang-bayang dolar AS yang cukup volatil. Bukan rahasia umum, kebijakan moneter yang diterapkan untuk mengakomdasi ini seringkali jadi simalakama bagi banyak negara.

Ia menjabarkan, Pakistan, Lebanon, Sri Lanka dan beberapa negara Afrika yang baru-baru ini mengalami krisis karena terciprat dari kondisi moneter dari AS. Beruntungnya, Indonesia masih jauh dari kata krisis karena fundamental ekonominya masih sangat baik.

Apalagi, konstelasi perdagangan dan investasi global sudah banyak berubah sejak tahun 1944 atau setelah perjanjian Bretton Woods diteken, kendati sistem settlemen transaction-nya masih menggunakan dolar AS. Padahal, sekali lagi, dari segi teknologi sekarang sudah memungkinkan transaksi mata uang lokal masing-masing di dunia

“Apalagi kemarin, (dedolarisasi) dipicu sanksi yang cukup mengkhawatirkan pasca perang Ukraina-Rusia, jadi separuh dari cadev Rusia dibekukan,” paparnya.

David juga menyampaikan, penggunaan mata uang dolar sebagai ‘senjata’ juga pernah dialami oleh negara-negara kecil yang dianggap bermasalah oleh AS, seperti Afghanistan dan Iran. Pada akhirnya, situasi ini tidak diinginkan oleh banyak negara karena masalah bisnis mulai dari perdagangan hingga investasi harus dilakukan secara fair atau adil.

Baca Juga: ASEAN Dan Tiga Mitra Sepakat Perkuat Kerja Sama Keuangan

“Tapi ini kan jadi masalah politik, istilahnya weaponized the dollar atau mengunakan dolar sebagai senjata. Sehingga membuat negara termasuk Indonesia yang walaupun non-blok jadi khawatir,” sebutnya. 

Kekhawatiran ini pun masih membekas di benak banyak negara dan jadi patokan ‘tren politis’. Jika sampai memiliki masalah, akan dibawa dengan penyelesaian strategi semacam ini.

Tidak mengherankan, gerakan dedolarisasi yang mulai digemakan lagi oleh Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS). Intinya, negara-negara ini mau mengembalikan tatanan perdagangan-investasi yang lebih adil ke depan antar negara. 

Arahnya, tidak lain dan bukan arah ekonomi selanjutnya di dunia adalah multipolarisme, yakni distribusi kekuasaan di mana lebih dari dua negara-bangsa memiliki jumlah kekuasaan yang hampir sama.

“Apalagi sekarang kita lihat yang mau masuk ke dalamnya juga semakin banyak. Saya lihat, terakhir negara-negara Timur Tengah dan Afrika lainnya (ingin bergabung BRICS),” jelasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar