JAKARTA - Ekonom Cyrillus Harinowo menekankan, penggunaan teknologi mutakhir di sektor otomotif merupakan strategi menuju dekarbonisasi. Dengan demikian, elektrifikasi kendaraan bukan satu-satunya cara untuk menekan emisi karbon.
Dia menilai, transisi menuju mobil listrik atau
Electric Vehicle (EV) di Indonesia tidak mudah, meski sekarang pemerintah sedang mendongkrak ekosistem EV. Karenanya, Cyrillus berpandangan, para produsen mobil RI bisa menerapkan teknologi ramah lingkungan, tidak terbatas pada elektrifikasi saja. Tujuannya, memproduksi mobil rendah emisi.
"Saya awalnya tidak
aware dan dogmatis sekali, pokoknya mobil listrik adalah mobil yang ramah lingkungan. Namun akhirnya menjadi paham, mobil LCGC (
low cost green car) bisa menjadi ramah lingkungan dibandingkan mobil listrik yang ada," katanya dalam
talkshow 'Multi-pathway di Carbon Neutrality (CN) Mobility Event, Jakarta, Jumat (14/2).
Baca Juga: Multi-Pathway, Strategi Toyota Transisi Otomotif RI Menuju Netralitas KarbonSelain mobil LCGC, lanjutnya, mobil jenis
hybrid dan mobil
flexy juga bisa ikut mengurangi emisi di sekitar. Dia menggarisbawahi, mobil berbasis listrik tak sepenuhnya bebas dari emisi, lantaran penyediaan listrik sebagai penggerak EV di dalam negeri masih dominan ditenagai batu bara.
Dia menuturkan, tren elektrifikasi pada industri otomotif, seperti EV, sering dianggap sebagai satu-satunya upaya untuk dekarbonisasi dan menciptakan udara bersih. Padahal, bauran energi untuk sumber listrik di Indonesia sekitar 80%-nya berasal dari pembangkit listrik yang digerakkan oleh bahan bakar fosil atau
fossil fuel."Berarti, mobil listrik itu sebetulnya masih mengeluarkan emisi karbon 87%," ucapnya.
Dia mengaku telah menyoroti berbagai perkembangan teknologi mutakhir sektor otomotif untuk mengurangi karbon. Juga, mengulas perjalanan berbagai negara baik Eropa, Amerika, bahkan Asia Tenggara.
Meski demikian, tuturnya, transisi menuju mobil listrik di negara berkembang seperti Indonesia tak akan mudah. Salah satu penyebabnya yakni keterbatasan infrastruktur, di tengah tuntutan menekan emisi makin tinggi.
"Sementara tuntutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca semakin meningkat," ungkap Cyrillus.
Dia mencontohkan, banyak produsen mobil global, termasuk yang beroperasi di Indonesia, mulai mengembangkan Hybrid Electric Vehicle (HEV) dan Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV).
Baca Juga: Kemenperin Catat Pangsa Pasar Mobil Listrik RI 2024 Melejit 60%Beberapa upaya Itu diyakininya merupakan langkah awal sebelum beralih sepenuhnya ke mobil listrik. Dengan begitu, upaya ini bisa turut menjadi salah satu solusi di Indonesia, sehingga produsen otomotif saat ini tidak hanya mengandalkan EV untuk dekarbonisasi.
"Pentingnya memahami, bahwa teknologi otomotif ramah lingkungan tidak hanya terbatas pada mobil listrik," tegasnya.
Di sisi lain, Indonesia juga berpotensi memanfaatkan berbagai sumber energi bersih untuk bahan bakar mobil. Contohnya bioetanol, hidrogen, hingga menerapkan konsep
hybrid atau mobil dengan dua sumber energi berbeda.
Strategi untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan dengan cara menawarkan berbagai pilihan ini disebut konsep
multi-pathway. Tujuannya sama, menghadirkan mobil atau kendaraan yang lebih ramah lingkungan.
Karena itu, mobil non-listrik yang ramah lingkungan seperti
hybrid dan mobil berbahan bakar biofuel, dapat juga menjadi pilihan yang lebih efektif untuk memenuhi target NDC 2030.
"Hal ini membuka peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan industri kendaraan ramah lingkungan secara lebih inklusif," tuturnya.
Varian Bahan Bakar AlternatifPada kesempatan sama, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi turut mendorong berbagai varian sumber energi di sektor transportasi dan otomotif. Menurutnya, saat ini Indonesia perlahan-lahan sudah mampu beralih ke energi lebih bersih.
Tadinya, Indonesia hanya mengandalkan energi fosil untuk bahan bakar kendaraan. Namun, saat ini sudah mulai bisa mengadopsi teknologi baterai kendaraan listrik,
hybrid, hingga bahan bakar hidrogen.
"Ini membuktikan sektor transportasi bisa menggunakan berbagai sumber energi, dari bahan bakar fosil rendah karbon,
hybrid,
biofuel seperti biodiesel dan etanol, hingga kendaraan listrik dan hidrogen," kata Eniya.
Baca Juga: Menakar Usaha Masuk Akal Dekarbonisasi Selain Dari Mobil ListrikSelain mendorong pengembangan kendaraan listrik, Eniya menyampaikan, penting untuk ke depannya mengadopsi berbagai jenis sumber energi lain di sektor transportasi dan otomotif. Semua ini merupakan upaya kendaraan Indonesia beralih ke bahan bakar ramah lingkungan.
"Saya selalu bilang,
there is no single solution for transportation, atau kalau Toyota bilangnya konsep
multi-pathway," imbuh Dirjen EBTKE.
Presiden Direktur Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Nandi Julianto menilai, pendekatan
multi-pathway memudahkan individu dan industri memilih kendaraan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Ia menerangkan, industri transportasi menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar. Berkaca pada hal ini, menurutnya, transisi menuju kendaraan rendah emisi sangat menantang, tapi harus mulai dijalankan.
Nandi juga menyampaikan, transisi menuju transportasi ramah lingkungan memerlukan sinergi antar pemangku kepentingan. Di antaranya, pemerintah, pelaku industri, akademisi, hingga masyarakat sendiri.
"Jadi
no one left behind, tidak ada satu orang yang ditinggalkan, kita semua bisa berperan untuk mencapai Indonesia yang lebih hijau," tutup Presdir TMMIN.