c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

04 April 2025

16:30 WIB

Ekonom Ungkap Asal-Usul Tarif Impor Tinggi AS Gagasan Trump

Ekonom menyatakan kebijakan tarif impor tinggi AS bukan hal baru, namun sudah disoroti sejak 1988. Alasan utamanya, defisit neraca dagang AS dengan mitra dagangnya yang terus terjadi.

Penulis: Erlinda Puspita

Editor: Khairul Kahfi

<p>Ekonom Ungkap Asal-Usul Tarif Impor Tinggi AS Gagasan Trump</p>
<p>Ekonom Ungkap Asal-Usul Tarif Impor Tinggi AS Gagasan Trump</p>

Presiden AS Donald Trump menunjukkan papan tarif resiprokal kepada 25 negara teratas, termasuk Indonesia di dalamnya, yang diklaim melakukan 'perdagangan tidak adil' di halaman Gedung Putih AS, Washington DC, Rabu (2/4). YouTube/The White House

JAKARTA - Ekonom senior INDEF Fadhil Hasan menyampaikan Donald Trump terpilih berkat gagasan 'Menjadikan Amerika Hebat Lagi' (Make America Great Again/MAGA) yang dikampanyekan selama Pilpres Amerika Serikat (AS) yang lalu, sehingga ia terpilih.

Gagasan tersebut, Fadhil jelaskan, Trump usung karena penilaiannya terhadap perekonomian AS yang selama ini tidak tumbuh, malah justru membebani fiskal, neraca perdagangan yang defisit, hingga kehilangan basis daya saing industri. Trump juga melihat birokrasi pemerintahan yang tidak efisien.

Oleh karena itu, gagasan MAGA ditargetkan tercapai melalui empat agenda utama. Pertama, dorongan agar ekonomi AS bisa tumbuh lagi yang dilakukan dengan pemotongan pajak terutama pada kelas menengah ke atas, sehingga mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional mereka.

Kedua, streamlining goverment atau birokrasi yang dilakukan dengan pemotongan anggaran di berbagai departemen yang diharapkan agar birokrasi lebih efisien sehingga defisit berkurang. Ketiga, restoring manufacture industry atau memulihkan industri manufaktur AS.

"Selama ini mereka menganggap daya saing atau industri manufaktur AS tidak memiliki daya saing, sehingga banyak industri-industri yang pindah ke banyak negara seperti Meksiko. Nah Trump ingin industri manufaktur kembali ke AS, dan diharapkan dapat menciptakan lapabgan pekerjaan bagi AS itu sendiri," jelasnya dalam diskusi daring, Jakarta, Jumat (4/4).

Baca Juga: Ini Syarat Trump untuk Negosiasi Tarif Resiprokal

Keempat, Trump juga menyorot AS yang selama ini mengalami defisit perdagangan dengan hampir seluruh negara mitra dagang, terutama China, Vietnam, Jepang, dan Uni Eropa. Defisit ini diakui Presiden AS itu karena adanya praktik tidak adil (unfair) oleh mitra dagang AS melalui pengenaan tarif ataupun non tariff barrier.

Pada akhirnya, Fadhil menuturkan, Trump menetapkan tarif impor untuk berbagai tujuan untuk bisa mencapai empat agenda utama ekonomi tersebut.

Pertama, untuk menciptakan perdagangan AS yang lebih adil atau dikenal leveraging. Kedua adalah tarif impor terbaru tersebut untuk meningkatkan penerimaan pemerintah (government revenue).

"Karena kalau semua barang yang diimpor oleh AS dikenakan tarif yang lebih tinggi, maka itu kemudian akan meningkatkan penerimaan dari sisi tarif itu sendiri," lanjutnya.

Selain itu, Fadhil melihat, adanya kenaikan tarif impor oleh AS untuk mengembalikan industri manufaktur ke AS dan berimplikasi pada pembukaan lapangan kerja bagi warga AS.

Ia menambahkan, kebijakan Trump dalam menaikkan tarif impor bukanlah hal baru. Pandangan tersebut telah digagas Trump sejak 1988 melalui tulisannya di New York Times, yang isinya mengeluhkan defisit perdagangan antara AS dengan Jepang. Hal tersebut Trump nilai tidak adil karena mengambil manfaat dalam skema perdagangan kedua negara.

"Waktu itu surplus perdagangan Jepang ke AS sangat besar karena memang Jepang saat itu sangat ekspansif, dan industrinya berorientasi ekspor," tegasnya.

Bersamaan dengan terpilihnya Trump menjadi Presiden AS untuk kedua kalinya, Fadhil tak heran jika Trump bakal menerapkan kebijakan tarif impor tinggi baru atau resiprokal tarif.

Saran Tak Membalas
Melansir Antara, Menkeu AS Scott Bessent menyarankan negara-negara yang terdampak tarif impor baru sebagaimana diumumkan Presiden Donald Trump untuk 'diam saja' dan tidak membalas, guna menghindari eskalasi lebih lanjut.

"Saran saya kepada setiap negara saat ini adalah 'jangan membalas'. Diam saja. Terima dulu. Lihat bagaimana perkembangannya. Karena jika kalian membalas, maka akan terjadi eskalasi. Jika tidak membalas, ini adalah batas tertingginya," ujar Bessent dalam wawancara dengan Fox News, Kamis (3/4) waktu setempat.

Baca Juga: Pengamat: Mimpi Trump Bisa Ancam Stabilitas Perdagangan Global

Gedung Putih dalam pernyataannya pada Rabu (2/4) mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan menerapkan tarif 10% terhadap semua impor asing mulai 5 April 2025. Sementara tarif yang lebih tinggi bagi negara-negara dengan defisit perdagangan terbesar dengan AS akan diberlakukan mulai 9 April 2025.

Pernyataan tersebut juga menegaskan, AS tidak akan memberlakukan tarif pada barang-barang impor yang penting bagi sektor manufaktur dan keamanan nasional. Seperti baja, aluminium, otomotif dan suku cadangnya, tembaga, farmasi, semikonduktor, serta kayu, emas batangan, energi, dan beberapa mineral tertentu yang tidak tersedia di AS.

Selain itu, Presiden AS Donald Trump memiliki kewenangan untuk menaikkan tarif timbal balik, jika negara mitra dagang memutuskan untuk melakukan tindakan balasan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar