26 Juni 2024
18:26 WIB
Ekonom: Temuan Uang Palsu Rp22 M Ganggu Kredibilitas Rupiah Di Masyarakat
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF Abdul Manap Pulungan menyampaikan, setidaknya ada dua konsekuensi logis bagi sisi ekonomi atas temuan uang palsu di Indonesia.
Penulis: Khairul Kahfi
Polda Metro Jaya mengungkapkan peredaran uang palsu Rp22 miliar atau uang kertas Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (21/6/2024). Antara Foto/Reno Esnir
JAKARTA - Kasus temuan uang palsu senilai Rp22 miliar di Srengseng, Jakarta Barat mengindikasikan kegiatan kriminal ini masih ada di sekitar masyarakat. Semua pihak juga mesti menyadari kegiatan itu dapat berdampak kepada ekonomi tanah air.
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF Abdul Manap Pulungan menyampaikan, setidaknya ada dua konsekuensi logis bagi sisi ekonomi atas temuan uang palsu di Indonesia.
Pertama, kasus uang palsu dapat memberikan sentimen negatif atas kepercayaan masyarakat terhadap rupiah.
Karena orang yang terdampak uang palsu akan mengalami shock dan kerugian materiil. Bukan tidak mungkin, hal ini malah membuat masyarakat untuk berhati-hati menggunakan rupiah dalam kesehariannya.
“Jadi pada saat itu terjadi (masyarakat terpapat uang palsu), maka bisa jadi orang akan lebih hati-hati menggunakan rupiah itu ya,” katanya kepada Validnews, Jakarta, Rabu (26/6).
Kedua, kasus uang palsu juga bisa paling besar dapat mengganggu kredibilitas bank sentral atau Bank Indonesia selaku penerbit resmi uang rupiah yang diedarkan se-Indonesia.
Dia pun juga membuka kemungkinan temuan uang palsu sebanyak Rp22 miliar itu merupakan isu kecil
“Pada akhirnya ini kan baru yang terungkap, kita belum tahu seperti apa yang tidak terungkap di masyarakat. Kita berharap jangan sampai terjadi lagi,” ujarnya.
Baca Juga: Polisi Sebut Tersangka Uang Palsu Rp22 M Incar Uang Asli Yang Akan Dimusnahkan BI
Situasi ini pun perlu ditanggapi semua pemangku kebijakan rupiah di dalam negeri. Selain sedang heboh dengan pelemahan nilai rupiah hingga Rp16 ribuan lebih terhadap dolar AS, rupiah juga masih diselimuti dengan isu redenominasi yang belum kunjung final.
Isu terakhir patut disoroti dengan saksama karena menjadi bekal persiapan menyongsong redenominasi. Dirinya pun kembali menekankan temuan uang palsu Rp22 miliar merupakan nilai yang banyak dan tidak bisa dianggap remeh.
Jika mau ditarik lebih kecil lagi, temuan uang palsu mirisnya juga paling sering terdeteksi pada masyarakat kalangan menengah ke bawah. Kerugian ini bisa terjadi karena golongan masyarakat ini yang cenderung memegang rupiah secara fisik (cash).
“Kan banyak yang viral-viral tuh, ada nenek-nenek yang duitnya diganti uang palsu, itu kan kasian. Jadi, memang perlu kerja sama antara bank sentral sama kepolisian untuk membasmi ini,” jelasnya.
Meski begitu, ekonom juga mengestimasi temuan uang palsu sebanyak Rp22 miliar tidak akan sampai mengganggu stabilitas makroekonomi. Pasalnya, jumlah temuan itu hanya terbilang minimal 0,1% dibanding PDB Indonesia 2023 yang diestimasi mencapai Rp20.892,4 triliun.
Adapun kasus ini terbatas menjadi isu temporer, yang tidak bisa diremehkan dan ditunda penuntasannya oleh pihak berwenang karena yang paling terdampak adalah masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Kalau orang-orang kaya kan tidak atau jarang terkena itu (uang palsu), karena dia memang transaksinya pakai cashless,” urainya.
Baca Juga: BI: Uang Beredar Mei 2024 Tumbuh 7,6% Jadi Rp8.965,9 T
Dengan temuan ini, Manap juga mengajak pemangku kebijakan untuk kembali menggencarkan sosialisasi uang rupiah asli secara masif. Melalui serangkaian edukasi seperti yang sudah dilakukan dulu dengan pamflet atau iklan di transportasi umum dan jalan, hingga ekosistem perbankan.
Adapun sosialisasi juga berguna untuk menjangkau masyarakat yang jarang terkena paparan ekosistem perbankan secara fisik. BI juga bisa mengandalkan sejumlah kantor perwakilan di seluruh provinsi untuk melaksanakan sosialisasi rupiah asli dalam mengantisipasi uang palsu.
“Memang sulit mendeteksinya, tapi kalau tiap ada sosialisasi dan program rutin itu kan akan bisa menghindar juga. Sekalian buat saja hukuman berat buat pelaku jera dan kapok, jangan ringan-ringan saja hukumannya biar memberikan kerugian bagi pelaku,”
Abdul Manap juga merekomendasikan agar produsen ikut meng-upgrade dan meningkatkan fitur teknologi yang disematkan pada rupiah fisik hari ini. Dia mencontohkan, Yen Jepang punya teknologi andal terkait hal ini.
“Kalau (pelaku kriminal) nge-print mata uang Jepang itu enggak bisa benar-benar sempurna atau akan separuh doang… Mudah-mudahan itu bisa menjadi salah satu benchmark dan upaya kita untuk mengurangi munculnya uang palsu ini di masyarakat,” tegasnya.