17 Desember 2024
08:14 WIB
Ekonom: Stimulus untuk Redam PPN 12% Terlalu Pendek
Untuk mengantisipasi dampak jangka panjang dari kenaikan PPN 12%, pemerintah perlu mempertimbangkan perpanjangan stimulus atau kebijakan pendukung lainnya.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
Konferensi pers Paket Kebijakan untuk Kesejahteraan di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024). AntaraFoto/Asprilla Dwi Adha
JAKARTA – Kebijakan pemberian insentif selama dua bulan terlalu pendek untuk menghadapi efek lanjutan dari kenaikan PPN menjadi 12% terhadap konsumsi rumah tangga. Diperlukan perpanjangan stimulus atau kebijakan pendukung lainnya.
"Stimulus tersebut efektif sebagai mitigasi jangka pendek, tetapi untuk mempertahankan momentum konsumsi hingga akhir 2025, perlu evaluasi apakah kebijakan serupa perlu diperpanjang atau diimbangi dengan langkah lain seperti subsidi energi atau insentif pajak tambahan," terang Ekonom Bank Permata Josua Pardede dalam keterangan resmi, Senin (16/12).
Pemerintah secara resmi menetapkan kenaikan tarif PPN 12% mulai 1 Januari 2025, sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Pada saat yang sama, pemerintah memberikan fasilitas pembebasan PPN untuk sejumlah komoditas demi menjaga daya beli.
Baca Juga: PPN 12% Berlaku 2025, Pemerintah Beri Potongan Tarif Listrik Selama Dua Bulan
Josua Pardede mengakui stimulus yang dirancang oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi daya beli kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap dampak kenaikan tarif PPN.
Adapun beberapa stimulus tersebut, antara lain pertama, barang-barang pokok seperti tepung terigu, gula industri, dan minyak goreng mendapatkan subsidi berupa PPN DTP sebesar 1%, sehingga masyarakat tidak akan merasakan kenaikan harga.
Kedua, pelanggan listrik dengan daya 2200 VA atau lebih rendah mendapatkan diskon 50% selama dua bulan. Ketiga, pemerintah juga akan memberikan bantuan pangan berupa beras 10 kg per bulan kepada 16 juta penerima selama Januari-Februari 2025.
Selain itu, PPN 12% lebih banyak dikenakan pada barang dan jasa mewah yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat mampu.
"Sehingga, efeknya terhadap masyarakat menengah ke bawah diminimalkan. Hal ini selaras dengan azas keadilan fiskal yang menjadi dasar kebijakan ini," kata Josua.
Dia menilai stimulus selama dua bulan dapat memberikan dampak sementara yang signifikan untuk menjaga daya beli, terutama dalam menghadapi awal tahun yang biasanya penuh tantangan ekonomi.
Josua berharap agar stimulus tersebut dapat memberikan kontribusi positif terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2025 melalui beberapa ekspektasi, di mana konsumsi rumah tangga tahun 2025 diperkirakan tumbuh sekitar 5% dari 4,9% pada tahun 2024.
"Hal ini diharapkan dapat terealisasi dengan dukungan insentif fiskal yang strategis," imbuhnya.
Dia melanjutkan, insentif kepada sektor padat karya dan otomotif, misalnya PPN DTP pada kendaraan listrik dan hybrid, akan memperkuat produktivitas sektor ini, yang juga mendorong penciptaan lapangan kerja baru.
Baca Juga: Ekonom: Pengecualian Barang Pangan Dari Kenaikan PPN 12% Bukan Hal Baru
"Stimulus tersebut ini diharapkan menjaga daya beli masyarakat dan mendorong konsumsi domestik sebagai komponen utama PDB," katanya.
Dengan demikian, dia menyimpulkan stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah dirancang cukup komprehensif untuk menjaga daya beli di tengah kenaikan PPN.
Namun, ia menilai insentif yang diberikan terlalu pendek. Untuk mengantisipasi dampak jangka panjang, ia menilai pemerintah perlu mempertimbangkan perpanjangan stimulus atau kebijakan pendukung lainnya.
"Dampak positif dari stimulus terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi RI akan sangat tergantung pada efektivitas implementasi kebijakan serta respons masyarakat dan dunia usaha terhadap perubahan tarif pajak," pungkas Josua.