30 September 2024
10:23 WIB
Ekonom Ragu Penurunan Suku Bunga Efektif Dorong Pembiayaan Rumah
Pelonggaran kebijakan moneter berupa penurunan suka bunga harus melawan isu menurunnya jumlah kelas menengah yang mengisyaratkan pelemahan daya beli dan berdampak pada pembiayaan perumahan.
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
Chief economist SMF Research Institute Martin Daniel Siyaranamual menilai, penurunan jumlah kelas menengah RI bisa menjadi isu pemberat situasi pembiayaan perumahan tahun depan, Lampung, Minggu (29/9). ValidNewsID/ Khairul Kahfi
LAMPUNG - Chief economist SMF Research Institute Martin Daniel Siyaranamual menilai, penurunan jumlah kelas menengah di dalam negeri jadi isu pemberat situasi pembiayaan perumahan tahun depan. Meski sementara ini, kondisi pembiayaan rumah masih diliputi isu positif dengan kompaknya penurunan suku bunga The Fed dan BI.
“Di satu sisi positif arah kebijakan moneternya, tetapi di sisi lain kita juga harus hati-hati, pasti sudah mulai sudah baca bahwa kelas menengah kita tereduksi (menurun). Itu menjadi salah satu tantangan (pembiayaan perumahan ke depan” katanya dalam pemaparan Kinerja Semester I/2024 dan Media Gathering, Lampung, Minggu (29/9).
Hal ini bisa terjadi lantaran pengguna atau konsumen dominan untuk sektor perumahan juga datang dari kelas menengah domestik. Dirinya menilai, penurunan jumlah kelas menengah RI juga menandakan penurunan daya beli masyarakat.
“Kalau walaupun suku bunga turun dan (diikuti) suku bunga KPR-nya turun, tetapi kalau misal kemampuan daya beli dari kelas menengah itu enggak naik, belum tentu sektor perumahan akan tumbuh,” ujarnya.
Baca Juga: PT SMF Klaim BI Rate Naik Tak Berdampak ke Penyaluran Kredit KPR
Dari sisi positif, arah kebijakan suku bunga yang dovish dipastikan akan lambat laun berdampak kepada sektor perumahan lewat penurunan suku bunga pinjaman maupun KPR. Sebagai pengingat, belum lama ini BI telah menurunkan BI-Rate dari 6,25% menjadi 6%, sedangkan The Fed agresif menurunkan FFR dari kisaran 5,25-5,5% menjadi 4,75-5%.
“Artinya kemungkinan untuk pasar pembiayaan dan pasar perumahan untuk tumbuh di tahun depan itu cukup besar… Sinyal positifnya sudah ada, dengan penurunan suku bunga,” terangnya.
Dia menekankan, penurunan suku bunga The Fed terjadi karena level inflasi yang sudah berjalan menurun dan menjinak, serta angka pengangguran di AS relatif stagnan. Selain pada sisi bobot pembiayaan rumah, kebijakan tersebut juga akan membuat sektor usaha optimistis mengekspansi bisnisnya.
Sebaliknya, pinjaman yang lebih mahal akibat suku bunga yang tinggi akan membuat ekspansi bisnis dunia usaha cenderung terhambat, sehingga angka pengangguran naik.
“Tapi begitu suku bunganya turun, harapan ekspansinya itu jadi lebih gampang. Begitu ekspansinya lebih gampang, penganggurannya juga bisa efektif (menurun),” terangnya.
Belum usai, Daniel melanjutkan, penurunan suku bunga acuan juga sedianya akan memberikan keringanan kepada pemerintah berupa penurunan beban bunga utang. Hanya saja, kondisi tersebut masih juga belum jelas bisa segera terjadi di 2025, lantaran kebijakan utang negara di pemerintahan baru masih abu-abu.
“Kalau misal beban pembiayaan (utang) besar, ada dua cara sebetulnya, yaitu naikin pajak atau menerbitkan surat utang (baru), nah itu yang belum kelihatan,” urainya.
Dia menggarisbawahi, besaran utang jatuh tempo pemerintah di 2025 hampir tiga kali lipat dari tahun 2024, dari sebesar Rp317 triliun menjadi Rp814 triliun. Di sisi lain, rendahnya penerimaan negara dari pajak berpotensi memperbesar kesenjangan antara kebutuhan pembiayaan dan ketersediaan dana.
Baca Juga: SMF: Investasi Perumahan Rp1 T Berdampak Kenaikan PDB Rp1,9 T
Dia pun khawatir penurunan BI-Rate tidak akan diikuti bersama dengan penurunan imbal hasil SBN. Hal ini pernah terjadi di 2020, manakala BI-Rate turun ke kisaran 4,5%-an, sementara imbal hasil SUN tenor 10 tahun naik dari kisaran 6,5%-an menjadi 8,5%-an.
“(Untuk) tahun depan, harapannya sih masih baik-baik saja, artinya imbal hasil SUN dan BI-Rate bisa turun. Namun, ini sangat bergantung dengan arah kebijakan, khususnya pembiayaan dari pemerintahan yang akan datang khususnya,” jelasnya.
Dia juga menekankan, geopolitik global yang kembali memanas di Timur Tengah juga bisa menjadi masalah fiskal di kemudian hari berupa tekanan naik harga energi yang diimpor. Dalam beberapa waktu terakhir, kenaikan tensi di Timur Tengah ikut mengerek naik harga minyak mentah global.
“Kenaikan harga komoditas energi di pasar global buat Indonesia itu posisinya positif dan negatif. Positif karena kita masih ekspor batu bara yang harganya pasti naik dan kita dapat untung. Tapi pada saat yang sama, beban subsidi kita juga naik, khususnya di energi. Nah, itu biasanya pinter-pinternya pengelola keuangan negara, ini menjadi krusial,” paparnya.