05 Agustus 2024
09:38 WIB
SMF: Investasi Perumahan Rp1 T Berdampak Kenaikan PDB Rp1,9 T
SMF menjelaskan selain berdampak pada kenaikan PDB, hasil kajian SMF bersama DTS Inodnesia pada 2023 menunjukkan investasi perumahan juga menurunkan kemiskinan.
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
Foto udara kawasan perumahan bersubsidi di Kecamatan Puuwatu, Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (1/8/2024). Antara Foto/Andry Denisah
JAKARTA - Direktur Utama PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) Ananta Wiyogo melaporkan, hasil kajian PT SMF bersama DTS Indonesia di 2023 menunjukkan, setiap investasi Rp1 triliun pada sektor perumahan dapat meningkatkan PDB sekitar Rp1,9 triliun.
“(Begitu juga berdampak) pada pengurangan kemiskinan hingga 6.107 orang dan berdampak pada 185 sektor lainnya, termasuk di dalamnya sektor pendidikan dan kesehatan, dua sektor penting dalam peningkatan kualitas SDM dan pengentasan stunting,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Minggu (4/8).
Pihaknya juga mencatat, terdapat empat indikator dari kelayakan hunian, yaitu akses air bersih, akses sanitasi layak, ketahanan bangunan, dan luas bangunan.
Berdasarkan data Survei Sosio-Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023 yang diolah SMF, tercatat sebanyak 26,92 juta atau sekitar 36,85% rumah tangga (ruta) Indonesia masih tinggal di rumah tidak layak huni (RTLH). Sedangkan, backlog kepemilikan rumah mencapai angka 9,91 juta (13,56%) ruta.
PT SMF mengidentifikasi, terdapat irisan antara isu RTLH dan backlog kepemilikan nasional dan terbagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, masyarakat yang tinggal di hunian milik tidak layak sebanyak 22,43 juta ruta (30,71%).
Baca Juga: SMF Ungkap 2 Tantangan Utama Program 3 Juta Perumahan Prabowo-Gibran
Kedua, masyarakat yang tinggal di hunian non-milik tidak layak sebanyak 4,49 juta ruta (6,15%). Ketiga, jumlah backlog kepemilikan rumah mencapai 5,42 juta ruta (7,42%).
“Sehingga jumlah rumah tangga Indonesia yang masih memiliki permasalahan perumahan mencapai angka 32,34 juta ruta (44,27%) pada tahun 2023,” paparnya.
Untuk itu, pihaknya mengusulkan agar pemangku kebijakan dan kepentingan dapat mengintervensi investasi sektor perumahan mengacu pada segmentasi empat dimensi sosio ekonomi. Dengan begitu, intervensi di sektor perumahan dapat berjalan efektif dan efisien dari sisi anggaran.
Pertama, mengakomodasi permasalahan atau isu yang dihadapi, antara kelayakan hunian berbanding kepemilikan. Kedua, kemampuan ekonomi, antara miskin dan rentan berbanding masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) serta non-MBR.
Ketiga, berdasarkan lokasi tinggal, antara perkotaan berbanding perdesaan non-pesisir serta perdesaan pesisir. Keempat, berdasarkan jenis pekerjaan, antara formal berbanding informal.
Intervensi Pemerintah
Ananta menggarisbawahi, pemerintah patut fokus mengintervensi perumahan pada kelompok masyarakat miskin, rentan, dan MBR. Di mana backlog kepemilikan dari ketiga kelompok tersebut sebesar 8,33 juta ruta, dengan sebaran 6,38 juta ruta di perkotaan, 1,19 juta ruta di perdesaan pesisir, dan 0,75 juta ruta di perdesaan non pesisir.
Sedangkan untuk isu kelayakan hunian dari ketiga kelompok tersebut berjumlah 19,81 juta ruta yang tersebar 9,32 juta ruta di perkotaan, 6,84 juta ruta di perdesaan pesisir, dan 3,66 juta ruta perdesaan non-pesisir.
“Pemerintah perlu segera mengambil intervensi yang konkret, efektif, dan terfokus pada backlog kepemilikan dan kelayakan hunian di kelompok masyarakat miskin, rentan, dan berpenghasilan rendah… Untuk mendorong peran sektor perumahan dalam perekonomian nasional, pengentasan kemiskinan, dan menyelesaikan isu perumahan,” jelasnya.
Menurutnya, upaya tersebut dapat dilaksanakan melalui program FLPP Tapak/Susun, Rent to Own Tapak/Susun, Kredit Bangun Rumah (KBR), Rumah sosial, Rumah sewa, Bedah rumah, Housing Micro Finance (HMF), Kredit Renovasi Rumah (KRR), dan program lainnya.
Baca Juga: PT SMF Klaim BI Rate Naik Tak Berdampak ke Penyaluran Kredit KPR
Intinya, upaya tersebut perlu fokus memperhatikan tiga dimensi sosio ekonomi lainnya, yaitu lokasi, penghasilan, dan jenis pekerjaan, “Sehingga intervensi yang diimplementasikan juga efisien dari sisi anggaran,” tuturnya.
Berdasarkan simulasi dampak ekonomi dan sosial yang dilakukan SMF, dalam lima tahun ke depan diperkirakan sektor perumahan dapat berkontribusi pada peningkatan PDB hingga Rp1.628 triliun. Sekaligus berkontribusi dalam mengurangi angka kemiskinan sebanyak 5,23 juta orang (20,2%).
Untuk dapat mewujudkan dampak ekonomi dan sosial tersebut, ekosistem pembiayaan perumahan perlu mengorkestrasi strategi yang tersedia dari berbagai pemangku kepentingan dalam menyelesaikan permasalahan perumahan secara komprehensif.
Selain itu, ekosistem pembiayaan perumahan juga perlu membuat masterplan perumahan yang mendorong kolaborasi dan sinergi para pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, bumn, bumd, lsm, publik, masyarakat dan pihak lainnya yang menjadi satu kesatuan dalam ekosistem perumahan.
Terakhir, mengoptimalkan penggunaan APBN dan APBD, serta melibatkan pendanaan yang bersumber dari pasar modal, dana CSR, hibah, lembaga donor, dan sumber pendanaan lainnya.
“Dalam merealisasikan inisiatif untuk mengatasi masalah sektor perumahan, mengentaskan kemiskinan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” pungkasnya.