02 September 2024
17:01 WIB
BPS: Deflasi Mei-Agustus 2024 Beruntun Akibat Pasokan Pangan Melimpah
BPS menyebut deflasi beruntun bukan disebabkan pelemahan daya beli, namun akibat pasokan pangan yang melimpah.
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
Petani memanen bawang merah di area sawah tadah hujan Nawungan, Selopamioro, Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (18/7/2024). Antara Foto/Hendra Nurdiyansyah
JAKARTA - Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menjelaskan bahwa kondisi deflasi selama Mei-Agustus 2024 atau empat bulan terakhir bukan menunjukkan pelemahan daya beli. Adapun deflasi ini terjadi diakibatkan oleh penurunan harga pangan karena kenaikan produksi.
Adapun deflasi Agustus 2024 sebesar 0,03% menandai deflasi keempat Indonesia di tahun ini. Dirinya juga menyampaikan, kondisi deflasi ini berbeda dengan kondisi ekonomi yang negatif di beberapa kesempatan tersebut.
“Deflasi selama beberapa bulan beruntun bukan merupakan fenomena baru buat Indonesia,” jelasnya menjawab pertanyaan wartawan usai BRS Perjalanan Wisnus Agustus 2024, Jakarta, Senin (2/9).
Pudji menguraikan, pada Maret-September 1999, Indonesia sempat mengalami deflasi tujuh bulan berturut-turut setelah krisis finansial Asia, sebagai akibat depresiasi nilai tukar dan penurunan sejumlah harga barang.
Baca Juga: BPS: Mamin Dan Tembakau Dorong Deflasi Agustus 0,03%
RI juga pernah deflasi pada Desember 2008-Januari 2009 selama krisis finansial global, kemudian karena penurunan harga minyak dunia dan karena permintaan domestik yang melemah
Pada 2020, Indonesia juga sempat mengalami empat bulan beruntun pada Juli-September. Di mana empat kelompok pengeluaran mengalami deflasi, yaitu kelompok makanan-minuman dan tembakau, kelompok pakaian dan alas kaki, kelompok transportasi, serta kelompok informasi komunikasi dan jasa keuangan.
“Dengan empat kelompok ini mengindikasikan bahwa penurunan daya beli 2020, atau pada periode awal pandemi covid 2019 kemarin,” ucapnya.
Berbeda dengan 2024, fenomena deflasi didukung dari sisi penawaran (supply side) karena penurunan harga pangan, seperti produk tanaman pangan, hortikultura dan peternakan. Baik karena biaya produksi yang turun, sehingga harga di tingkat konsumen juga ikut menurun.
“Ini seiring dengan adanya panen raya sehingga pasokannya berlimpah dan akibatnya harganya juga ikut turun,” bebernya.
BPS pun mengidentifikasi, selama Agustus 2024, terjadi peningkatan produksi di wilayah sentra pertanian-peternakan. Pertama, peningkatan produksi dan panen bawang merah di sentra-sentra produksi utama dengan produktivitas tinggi, seperti Brebes dan Nganjuk.
Kedua, berdasarkan data Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional, harga rata-rata nasional ayam ras pedaging atau livebird tingkat produsen mengalami penurunan, sehingga berdampak pada harga telur dan daging ayam ras. Ketiga, panen tomat berlangsung di beberapa daerah, seperti Sorong, Jember, Klaten, Gorontalo, dan Baubau.
Baca Juga: BPS: Makan-Minuman Dan Transportasi Buat RI Deflasi 0,03% Mei 2024
“Panen beberapa komoditas tanaman pangan dan hortikultura, juga turunnya biaya produksi seperti harga livebird dan sempat juga turunnya harga jagung pipilan untuk bahan pakan ternak mendorong deflasi telur dan daging ayam ras. Ini artinya deflasi masih terjadi di sisi penawaran,” sebutnya.
Kendati demikian, pihaknya belum bisa memberikan dampak situasi ini terhadap pendapatan masyarakat di subsektor pertanian, hortikultura, pertanian dan peternakan. Karenanya, penilaian atas fenomena ini membutuhkan kajian lebih lanjut.
Pudji pun menerangkan, apabila deflasi karena efek penurunan daya beli dapat terlihat dari penurunan permintaan masyarakat, bukan penurunan dari sisi suplai seperti sekarang.
“Untuk menjaga daya beli, khususnya konsumsi masyarakat, maka diduga rumah tangga akan menahan konsumsi non-makanan, sehingga seharusnya terlihat pada turunnya permintaan atau demand dari konsumsi non-makanan,” paparnya.