14 Maret 2024
18:54 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menyampaikan, pelemahan daya beli di dalam negeri berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2024. Saat ini, kondisi daya beli masyarakat makin tertekan harga bahan pangan yang naik akibat pasokan yang tersendat, baik dari sisi impor maupun produksi domestik.
“Pada 2024 ini, kita melihat data ini agak khawatir gitu… Kita mengalami pasokan bahan pangan yang sangat kurang, impornya belum datang-datang, kemudian produksi beras juga belum panen raya,” katanya dalam agenda ‘Memantau Peluang di Tengah Ketidakpastian Ekonomi’, Jakarta, Kamis (14/3).
Kondisi ini pun Esther sebut berpotensi mendongkrak harga dan menekan daya beli. Apalagi, kondisi ini diperparah dengan permintaan bahan pangan yang sangat tinggi sebelum momen pencoblosan pada 14 Februari silam, karena banyak pihak yang memberikan bantuan sosial.
Dirinya menggarisbawahi, kondisi pasokan kurang dan permintaan tetap saja sudah membuat harganya naik. Kondisinya makin mencekam manakala pasokannya masih kurang, sementara permintaannya meningkat drastis seperti momen Pemilu dan musiman HBKN Ramadan hingga Idulfitri nanti.
Ekonom menyampaikan, saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 53%-nya atau secara dominan di-drive oleh sektor konsumsi rumah tangga. Adapun bobotnya mengalami penurunan ketimbang kurun waktu sebelumnya yang bisa mencapai 58%-an.
“Jadi itu (harga pangan naik) yang akan menggerus daya beli konsumen dan membuat sektor konsumsi akan melambat. Akhirnya, karena 53% pertumbuhan ekonomi itu di-drive oleh sektor konsumsi rumah tangga, maka prediksi kami adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.
Baca Juga: Pertimbangan Daya Beli, Legislator: PPN 12% Di 2025 Kontraproduktif
Dirinya pun menyatakan, proyeksi ini ditekankan bukan untuk menyebabkan sentimen negatif pada ekonomi dalam negeri. Upaya ini ditujukan, agar pemerintah Indonesia dapat bersiap menciptakan ketahanan fundamental makroekonomi.
Menurutnya, fundamental ekonomi RI yang kuat dapat menangkal efek negatif kondisi ekonomi di global. Seperti diketahui, kondisi ekonomi masih penuh dengan ketidakpastian dan gonjang-ganjing.
“Jadi, bukan saya ingin menularkan virus-virus pesimis, justru ini adalah sebagai pacuan kita untuk bisa lebih memperkuat fundamental ekonomi… Orang lain boleh saja flu, batuk, dan pilek tetapi kalau badan kita kuat dan sehat maka tidak akan tertular,” tegasnya.
BPS mencatat, Konsumsi Rumah Tangga mengalami pertumbuhan sebesar 4,82% (ctc) dan berkontribusi hingga 53,18% terhadap PDB Indonesia 2023 dari sisi pengeluaran. Pengeluaran Konsumsi RT selama tahun lalu mencapai Rp11.109,6 triliun (ADHB) atau Rp6.486,3 (ADHK).
Impor Tekan Sektor Industri
Hampir sama, Ketua Dewan Pimpinan Nasional Apindo Shinta Kamdani menyampaikan, impor yang tersendat juga memberi tekanan kepada dunia usaha atau industri hari ini. Dirinya pun menyorot kebijakan pemerintah atas terkendalanya impor yang begitu dibutuhkan industri.
Secara umum, kebijakan untuk mengurangi impor memang baik untuk Indonesia, begitu pula bagi sektor industri. Karena dengan begitu, Indonesia ‘dipaksa’ untuk bisa lebih banyak mengandalkan industri dalam negeri.
“Itu bagus sekali, tapi dalam kenyataannya 70% lebih daripada bahan baku (industri) kita masih impor… (Soal) produksi, kita di dalam negeri itu masih banyak membutuhkan bahan baku dari luar,” terang Shinta.
Hasilnya, kebijakan impor berhasil mengatasi aliran masuk berbagai barang ilegal. Namun, di sisi lain, kebijakan ini ikut-ikutan mempengaruhi impor produktif seperti bahan baku/penolong dan lainnya.
“Ini benar-benar sekarang impact-nya tinggi sekali kepada sektor industri,” sebutnya.
Baca Juga: BI: Demi Jaga Daya Beli, Inflasi RI Jangan Sampai Di Atas 5%
Pengusaha pun mengaku, terkadang kegiatan impor sekarang ini tidak tidak semudah seperti sebelumnya. Hal ini makin berat karena ada begitu banyak negara yang tidak bersedia untuk mengekspor barang-barang tertentu.
Selain tertekan dari dalam akibat impor yang tersendat, industri nasional juga menghadapi tekanan karena hambatan permintaan global yang menurun karena situasi global yang parah.
“Kita enggak usah bicara soal kesempatan untuk ekspor… Kondisi di lapangan saat ini tidak baik-baik saja gitu, terutama untuk teman-teman industri. Walaupun produksi itu tetap kelihatan ekspansif, tapi kenyataannya banyak sekali kendala dalam supply chain yang dihadapi,” urainya.
Apindo pun berharap, pemerintah dapat memberikan perhatian yang lebih baik terkait perbaikan kebijakan dasar. Intinya, kebijakan yang diimplementasikan perlu benar-benar fokus untuk bisa menjaga kondusivitas iklim usaha.
“Insentif is very good, stimulus kita butuh, tapi kebijakan dasar bagaimana caranya barang itu bisa cepat masuk supaya kita bisa tetap melakukan produksi… Ini yang harus menjadi perhatian,” tegasnya.
BPS mencatat, Industri Pengolahan mengalami pertumbuhan sebesar 4,64% (ctc) dan berkontribusi hingga 18,67% terhadap PDB Indonesia 2023 dari sisi lapangan usaha. Lapangan usaha Industri Pengolahan selama tahun lalu mencapai Rp3.900,1 triliun (ADHB) atau Rp2.507,8 (ADHK).