29 April 2024
10:16 WIB
Ekonom: Kenaikan BI-Rate Relatif Minimal Ganggu Suku Bunga KPR
Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai, dampak kenaikan BI-Rate akan cenderung terbatas pada sektor perumahan, utamanya di sisi kenaikan suku bunga KPR.
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
Kepala Ekonom BCA David Sumual usai Pelatihan Jurnalis ‘Perkembangan Ekonomi Terkini dan Respons Bauran Kebijakan’, Samosir, Minggu (28/4). ValidNewsID/ Khairul Kahfi
SAMOSIR - Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai, dampak kenaikan BI-Rate akan cenderung terbatas pada sektor perumahan, utamanya di sisi kenaikan suku bunga KPR. Menurutnya, suku bunga kredit sektor perumahan tidak hanya mengekor pada kebijakan moneter suku bunga bank sentral.
Secara umum, dia memaparkan, tingkat bunga kredit untuk modal kerja dan kredit investasi hanya naik antara 40-75 basis poin (bps) selama Agustus 2022-Februari 2024. Padahal, selama Agustus 2022-April 2024, BI sudah menaikkan BI-Rate sebanyak 275 bps.
“Sebenarnya rendah kenaikan dari suku bunga kredit. Terkhusus untuk suku bunga sektor konsumsi itu malah menurun 5 bps, untuk KPR dan KKB (Kredit Kendaraan Bermotor) itu juga turun sekitar 50-70 bps juga,” katanya usai Pelatihan Jurnalis ‘Perkembangan Ekonomi Terkini dan Respons Bauran Kebijakan’, Samosir, Minggu (28/4).
Karena itu, lanjutnya, tidak ada korelasi erat pergerakan antara suku bunga kebijakan (BI-Rate) dengan suku bunga kredit. Terlebih, suku bunga kredit yang diterapkan juga turut ditentukan oleh dinamika yang terjadi di market.
David pun mencontohkan, suku bunga kredit yang diterapkan untuk sektor KKB tidak hanya dilakukan oleh perbankan, namun ada multifinance dan pemain lembaga keuangan lainnya. Kompetisi produk kredit ini pun juga dilakukan pada sektor KPR.
“Sehingga dari sisi persaingan (bisnis), relatif ketat (besaran) kredit kepemilikan rumah maupun kredit kendaraan bermotor,” jelasnya.
Baca Juga: BP Tapera dan 31 Bank Kerja Sama Salurkan KPR Sejahtera FLPP 2024
Adapun per Januari 2024, berdasarkan catatannya, besaran bunga KPR sebesar 7,17%, KKB 8,72%, dan kredit konsumsi lainnya 14,38%.
Sebagai info, BI telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga ke level 6,25% pada April 2024.
Di sisi lain, dirinya memandang optimis, kondisi suku bunga KPR di tengah besaran BI-Rate saat ini masih cukup potensial mendukung pertumbuhan ekonomi pemerintah baru.
“(Perumahan) ini sektor yang esensial buat masyarakat, (sebagai kebutuhan pokok) sandang, pangan, dan papan,” terangnya.
Apalagi, Indonesia masih punya potensi kebutuhan hunian yang besar lewat masyarakat yang belum memiliki rumah (backlog) berkisar 12-15 juta saat ini. Karena itu, dirinya mendukung sektor ini untuk dapat pemerintah optimalisasi ke depan.
Dirinya juga berharap, persaingan bisnis kredit perumahan di pasaran dapat membuat konsumen terbantu untuk memiliki hunian pribadinya, via harga dan rate pinjaman yang kompetitif.
“Banyak kan penawaran-penawaran juga dari berbagai bank dan institusi keuangan,dengan banyak skema juga. Nah ini juga bisa memudahkan juga buat konsumen,” urainya.
Godok Rencana Baru
Sebelumnya, Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu menginformasikan, pihaknya bersama pemerintah tengah menggodok rencana mendorong pertumbuhan KPR rumah subsidi pemerintah baru. Dalam satu periode pemerintahan 2025-2029, pemerintahan Prabowo-Gibran menargetkan bisa mengakomodasi kebutuhan rumah sebanyak 3 juta unit.
Angka tersebut berarti sekitar 500 ribu rumah/tahun atau naik signifikan dari implementasi program rumah saat ini. “(Program rumah) hari ini 1 juta unit rumah per 5 tahun… Jadi, (nanti) naik tiga kali lipat menjadi 3 juta unit rumah,” jelas Nixon dalam Pemaparan Kinerja Keuangan Bank BTN Kuartal I/2024, Kamis (25/4).
Dalam diskusi awal, BTN menilai, penyediaan program rumah sebanyak itu akan berat jika hanya ditanggung oleh APBN, seperti yang terlaksana dalam FLPP saat ini. Artinya, APBN mesti menyiapkan likuiditas FLPP sampai tiga kali lipat, sebagaimana kenaikan target jumlah kepemilikan rumah.
“Kalau pemerintah baru mau menyediakan FLPP sih kami happy-happy saja. Tapi kalau pakai hitungan sekarang, rasanya enggak (masuk anggaran),” ungkapnya.
Untuk itu, Nixon dan tim mengusulkan perubahan skema fasilitasi pembelian rumah yang secara bujet fiskal cukup masuk akal dan dapat terserap. Pertimbangannya, kebutuhan pemerintah baru pasti akan lebih banyak dan kebutuhan lain yang lebih besar juga.
Skema itu diusulkan melalui kombinasi FLPP dengan subsidi selisih bunga. Pemerintah yang biasa memberikan anggaran FLPP berkisar Rp19-25 triliun, bisa diubah menjadi dana abadi yang dikelola BP Tapera dan disimpan dalam instrumen SUN bertenor panjang dengan return 6%, sebagai contoh.
Nantinya, return tersebut bisa membayari kebutuhan subsidi selisih bunga sampai 250 ribu rumah dalam setahun dengan bujet FLPP yang sama. Nixon pun meyakini, cara subsidi selisih bunga bisa menutupi kebutuhan KPR yang besar ke depan.
Baca Juga: Cermat Miliki Properti Di Era Bunga Tinggi
Meski, pemerintah juga harus tetap memikirkan target kebutuhan rumah rakyat yang naik tiga kali lipat tersebut dengan tambahan anggaran APBN.
“Untuk bisa (mengakomodasi rumah) 500 ribu setahun memang harus ada tambahan dari sisi APBN. Tapi kalau dibandingkan dengan cara yang sama, (gambaran skema baru) jauh lebih irit,” terangnya.
Meski sudah masuk exercise diskusi juga, Nixon masih belum bisa memberikan ancar-ancar suku bunga yang diterapkan dalam skema tersebut. Namun, dirinya tetap mengusulkan besarannya tetap sama 5% dengan selisih bunga yang masih dalam proses diskusi.
Begitu juga, dengan syarat dan ketentuan yang sama, turut dijamin oleh asuransi pemerintah, hingga DP yang terjangkau di kisaran 0-5%.
“Pokoknya semua sama itu yang kita usulkan, yang beda pengelolaan funding-nya saja,” paparnya.
Selain itu, Nixon juga mengusulkan plafon kredit rumah bersubsidi bisa naik hingga Rp300 juta mengikuti kelayakan rumah, dari yang hari ini hanya Rp180-190 juta. Gambarannya, pinjaman untuk pembelian rumah tersebut bisa masyarakat gunakan untuk membeli rumah tipe 36, yang lebih besar.
Selanjutnya, pengajuan kredit KPR subsidi juga tidak dibatasi dengan penghasilan tertinggi di kisaran Rp8 juta, namun melunak hingga penghasilan Rp15 juta. Namun, Nixon menggarisbawahi, semua skema dan gambaran ini masih terus digodok dengan seluruh stakeholders terkait.
“Dengan kita naikkan (plafon kredit) tanpa melihat income, sehingga melihat harga jual rumah, sepanjang untuk rumah petama. Kalau ini terjadi, daya jangkau ke masyarakat (beli rumah) akan jauh lebih besar. Kita harap bisa ke Rp300 juta, sehingga dari sisi quality rumah juga harusnya jadi baik (layak),” ungkapnya.