28 Februari 2025
14:05 WIB
Ekonom Ingatkan Pemerintah Jangan Persulit Investor Urus Izin Usaha Hijau
Mempermudah perizinan bukan berarti sembarangan, tetap memperhatikan syarat environmental, social and governance (ESG).
Penulis: Aurora K M Simanjuntak
Editor: Khairul Kahfi
Ilustrasi investasi hijau. Pexels/Kaboompics
JAKARTA - Kesulitan perizinan dan keselarasan regulasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) yang belum optimal masih menjegal masuknya investasi ke sektor usaha hijau seperti energi terbarukan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Esther Sri Astuti beranggapan, pemerintah perlu menyederhanakan alur perizinan, terutama bagi investor yang sudah berkomitmen membangun sektor energi terbarukan.
"Kemarin saya dapat keluhan, ada investor mengurus izin di (sektor) renewable energy itu sekitar dua tahun dan jumlah izin yang diurus 64 izin," ujarnya dalam Seminar Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Mineral Penting untuk Ekonomi Inklusif dan Industrialisasi Hijau, Jakarta, Jumat (28/2).
Baca Juga: Dorong Investasi Hijau di Indonesia, Kadin: Potensinya Luas
Esther menilai, pemerintah pusat tengah menggaungkan hilirisasi, termasuk pengolahan mineral kritis dengan skema industrialisasi yang lebih hijau. Untuk mendukung kinerja sektor terkait, Indonesia membutuhkan suntikan modal atau investasi.
Di satu sisi, lokasi pembangunan industri pengolahan mineral kritis berada di beberapa daerah. Dengan begitu, selain pemerintah pusat, pemda pun turut berwenang meregulasi kegiatan itu.
Esther menilai, supaya program investasi usaha hijau berjalan dengan baik, pemerintah pusat dan pemda harus menyelaraskan atau sinkronisasi kebijakan.
"Jadi, jangan sampai pusat dan daerah tidak matching. Kalau pusat inginnya investor datang, diterima dengan baik, ya sama daerah jangan dipersulit, artinya sinkron," ucapnya.
Sejalan dengan itu, ekonom Indef menyarankan agar pemda merencanakan pembangunan daerah dengan baik. Karena itu, penting untuk menyelaraskan kebijakan daerah dengan tujuan atau visi pemerintah pusat.
"Jangan sampai nanti ada redundancy atau regulasi yang tidak konsisten. Kemudian, bagaimana mengelola sumber daya alam itu dan bagaimana birokrasinya, prosedurnya, mekanismenya," ujarnya.
Esther menegaskan, mempermudah investor tetap harus menjalankan sisi pengawasan dan penilaian. Misalnya, menelaah pemenuhan syarat lingkungan, sosial dan tata kelola atau ESG (environmental, social and governance).
Dia menerangkan, di satu sisi penanaman modal yang masuk untuk pembangunan fasilitas produksi dan smelter perlu mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat lokal. Jangan sampai terjadi konflik antara pemerintah, rakyat, dan investor.
Baca Juga: Tak Mau Ketinggalan Global, RI Bakal Gencarkan Investasi Hijau Tahun Depan
Di sisi lain, sambungnya, pemerintah atau pemda juga harus mengecek komitmen investor terhadap aspek kelestarian lingkungan atau ESG secara keseluruhan. Dia menilai, menyeimbangkan dua hal tersebut masih menjadi PR besar di Indonesia.
"Kalau memang kita pengen arahnya ke renewable energy, ya sudah didorong, dipermudah. Bukan membuka lebar-lebar, tetap dalam prosedur, harus ESG, harus memenuhi standar ekonomi dan kesejahteraan masyarakat," tuturnya.
Pada kesempatan sama, Pengamat Kebijakan dan Anggaran Publik Siska Barimbing menyoroti, pentingnya investasi diarahkan untuk menghadirkan teknologi ramah lingkungan dalam pengelolaan sumber daya mineral.
Dia menilai, pemda turut berperan dalam pengembangan industri hijau di masing-masing daerah. Ia pun menilai, penting mengelola alokasi anggaran dari pemerintah pusat ke daerah melalui dana bagi hasil sumber daya alam, untuk merencanakan pembangunan industri lebih hijau.
"Tantangan yang terjadi adalah pemda kesulitan dalam memproyeksikan potensi pendapatan dari SDA minerba-nya, terus memproyeksikan investasi hijaunya. Kalau pemda bisa memproyeksikan ini dengan baik, sehingga tidak kehilangan pendapatan," tutur Siska.