17 Juni 2025
14:09 WIB
Ekonom: Dampak Perang Israel-Iran Bisa Berimbas Ke Ekonomi RI
Ekonom menyampaikan konflik Iran-Israel akan meningkatkan harga minyak dunia dan meningkatkan inflasi banyak negara. Situasi ini bisa berdampak ke RI yang masih sangat bergantung pada impor energi.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Khairul Kahfi
Foto - Labirin pipa dan katup minyak mentah digambarkan selama tur oleh Departemen Energi di Cadangan Minyak Strategis di Freeport, Texas, AS, Kamis (9/6/2016). Antara/Reuters/Richard Carson
JAKARTA - Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menilai, perang Israel dan Iran yang berlangsung saat ini memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian global, yang pada gilirannya turut berimbas ke ekonomi Indonesia.
Pasalnya, eskalasi konflik ini dapat membuat ketidakpastian geopolitik meningkat tajam, terutama karena Iran merupakan produsen minyak terbesar ketiga OPEC, dengan produksi sekitar 3,2 juta barel per hari, setara dengan 3% produksi minyak global.
Tak heran, dinamika yang berlaku beberapa hari terakhir 'sukses' meningkatkan harga minyak dunia sekitar 7% ke level US$74,20/barel per 13 Juni 2025, seiring kekhawatiran terganggunya pasokan minyak global.
"Lonjakan harga minyak ini berpotensi meningkatkan tekanan inflasi di banyak negara, termasuk Indonesia, yang masih sangat bergantung pada impor minyak mentah untuk kebutuhan energinya," kata Josua kepada Validnews, Jakarta Selasa (17/6).
Baca Juga: Harga Minyak Mentah Kembali Naik Usai Trump Serukan Evakuasi Warga Iran
Meski demikian, menurut Josua, dampak langsung terhadap perekonomian Indonesia sementara ini masih cenderung terbatas.
Di sisi lain, kurs rupiah terpantau melemah moderat sebesar 0,37% menjadi sekitar Rp16.295 per dolar AS pasca terjadinya eskalasi. Hal ini mengindikasikan bahwa investor masih mencermati durasi dan tingkat keparahan konflik tersebut sebelum mengambil posisi yang lebih agresif di pasar keuangan domestik.
"Pola pergerakan rupiah ini serupa dengan situasi awal konflik Rusia-Ukraina pada tahun 2022, di mana depresiasi mata uang pada tahap awal relatif terkendali sebelum meningkat seiring waktu," urainya.
Demikian pula, pasar obligasi pemerintah Indonesia mengalami peningkatan yield sekitar 4 basis poin (bps) ke level 6,72%, yang mencerminkan sentimen negatif investor akibat meningkatnya ekspektasi inflasi global dan risiko penundaan penurunan suku bunga Bank Indonesia.
Baca Juga: Harga Pertalite Berpotensi Naik, Imbas Perang Iran-Israel
IHSG juga sempat mengalami penurunan 0,53% ke level 7.166 poin setelah konflik pecah, namun mulai pulih berkat sentimen positif dari data penjualan ritel China yang lebih baik dari ekspektasi serta meredanya kekhawatiran konflik berkepanjangan, khususnya dengan upaya mediasi internasional yang dilakukan AS dan Rusia.
"Secara keseluruhan, jika konflik ini tidak semakin meluas dan tidak terjadi gangguan signifikan pada infrastruktur energi strategis Iran, dampak negatifnya terhadap ekonomi Indonesia relatif terkendali," tegas dia.
Baca Juga: Iran Vs Israel Dongkrak Harga Minyak, Airlangga: Belum Ada Dampak Langsung Ke RI
Josua menuturkan, proyeksi makroekonomi Indonesia untuk akhir 2025 masih relatif stabil, dengan inflasi diperkirakan sebesar 2,33%, suku bunga acuan BI diproyeksi turun ke 5,25%, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun berada dalam kisaran 6,6-6,8%, serta nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.100-16.400 per dolar AS.
"Kondisi ini mencerminkan bahwa walaupun terdapat tantangan jangka pendek, ekonomi Indonesia diperkirakan tidak akan lesu secara signifikan akibat konflik ini selama situasi tetap terkendali dan tidak terjadi gangguan yang lebih besar pada pasokan minyak global," pungkasnya.