10 Januari 2024
09:16 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis UI Bambang Brodjonegoro mengusulkan, separuh anggaran subsidi energi di dalam negeri mulai dikonversi ke dalam Energi Baru-Terbarukan (EBT). Strategi ini dapat ditempuh untuk mendukung proses transisi energi bersih di Indonesia.
“Saya selalu mengusulkan, bagaimana kalau subsidi yang saat ini terkait (energi) fosil apakah itu subsidi listrik, BBM, dan LPG 3 kg paling tidak 50%-nya dikonversi jadi subsidi khusus Energi Baru-Terbarukan,” katanya dalam agenda Green Webinar AMSI ‘Tantangan Pembangunan dan Ekonomi Berkelanjutan’, Jakarta, Selasa (9/1).
Sebagai gambaran, APBN 2023 sementara mencatat, pemerintah telah memberikan subsidi BBM sebanyak Rp21,3 triliun untuk 16,5 juta KL dan subsidi listrik sebanyak Rp68,7 triliun untuk 64,5 terawatt hour sepanjang tahun lalu.
Dirinya meyakini, keberpihakan anggaran pemerintah atas hal tersebut bisa menggairahkan investasi energi baru-terbarukan Indonesia menjadi lebih tinggi. Jadi kondisinya tidak tersendat-sendat seperti yang terjadi sekarang.
Bahkan, Menteri PPN/Kepala Bappenas periode 2016-2019 ini juga tidak ragu, mandeknya investasi EBT di nusantara saat ini dapat mempersulit pemerintah untuk bisa memenuhi target peningkatan pangsa energi primer terbarukan menjadi 23% pada 2025.
Baca Juga: Ketidaksesuaian Level Playing of Field Hambat Pertumbuhan EBT
Karena itu, mau tidak mau pemerintah harus hadir untuk menanggulangi tantangan pembangunan EBT di dalam negeri. Yakni, melalui instrumen pergeseran berbagai subsidi energi konvensional yang bisa dipakai langsung menjadi EBT.
“Daripada seluruh subsidi itu hanya dipakai untuk yang (energi) fosil, yang tidak in line dengan tujuan kita di masa depan menuju net zero emission Indonesia (2060),” ungkapnya.
Selanjutnya, dirinya kembali menerangkan, aspek keterjangkauan di sisi harga atas energi terbarukan harus bisa dihitung dengan masak oleh pemerintah.
Kendati punya aspirasi menjadi negara maju pada 2045, Indonesia mesti menyadari masih dalam kategori negara berpenghasilan menengah di 2023 dengan rerata pendapatan per kapita US$4.700/tahun.
Di sisi lain, keterjangkauan harga merupakan aspek penting dalam transisi energi. Perlu diakui, bahwa proses ini tidak murah, cenderung mahal, butuh investasi besar, hingga butuh pembiayaan yang cocok.
“Terkait financing dan investasi (EBT), harus disandingkan dengan kemampuan daya beli dari masyarakat yang US$4.700/kapita/tahun di 2023. Tentunya, affordability ini tidak bisa hanya diserahkan kepada rumah tangga, negara harus hadir,” paparnya.
Dirinya juga mengusulkan kepada pemerintah untuk bisa menghadirkan menteri koordinasi atau Menko baru yang khusus menangani masalah lingkungan hidup.
Bambang menilai, level penanganan lingkungan termasuk unsur perubahan iklim maupun transisi energi harus dilihat secara lebih komprehensif.
Lebih jauh, lingkungan hidup di Indonesia tidak bisa terbatas pada masalah kehutanan dan energi. Pengelolaannya bisa mencakup sisi transportasi, pertanian, dan sektor-sektor lain yang berkontribusi terhadap penciptaan emisi karbon, begitu juga berkaitan dengan perdagangan karbon (carbon trading).
“Jadi akan lebih baik kalau ada Menko yang benar-benar bisa menjadi person in charge Indonesia di internasional, untuk bisa meng-update ke dunia, bagaimana Indonesia melakukan upaya mitigasi perubahan iklim dan adaptasinya,” jelasnya.
Di sisi lain, kementerian terkait juga dapat mengoordinasikan berbagai hal terkait di tingkat nasional. Dengan demikian, upaya mempercepat NDC dan berbagai tujuan lingkungan hidup bisa terkoordinasi dengan baik.
“Memang, menurut saya, sudah saatnya ada level Menko itu sehingga secara birokrasi dan operasional bisa dijalanakan dengan baik. Tentu, kita apresiasi (kementerian) kehutanan, tapi tentu kita paham teman-teman kehutanan pasti punya batasan (birokrasi) sehingga tidak bisa bergerak lebih cepat,” sebutnya.
Inklusivitas Isu Iklim
Sementara itu, Peneliti Ekonomi Lingkungan dan Pendiri Think Policy Andhyta Firselly Utami menyampaikan, hingga kini isu iklim masih masyarakat awam anggap merupakan persoalan elitis Indonesia. Padahal jika mau jujur, perubahan iklim sangat berdampak pada kelompok yang paling rentan di Indonesia.
“Kalau dibilang lingkungan itu isu orang-orang elitis enggak peduli sama rakyat kecil dan sebagainya, padahal dampak dari perubahan iklim itu paling terasa oleh orang-orang yang tinggal di sekitar hutan yang terbakar atau yang tinggal di wilayah berisiko banjir tinggi,” kata Afutami, sapaan akrabnya.
Malahan, lanjutnya, ekses negatif dari perubahan iklim tak langsung berdampak pada kalangan yang sudah hidup enak di area yang lebih nyaman. Jika ditinjau lebih mendalam, kalangan ini yang jumlahnya minoritas berdampak pada emisi yang lebih besar.
Baca Juga: Pengamat: Energi Fosil Masih Diperlukan Hingga 50 Tahun Ke Depan
“Ketika kita ngomongin (hasil) emisi, mayoritas di-drive justru oleh the richest atau kelas menengah dan orang kaya 10% (dunia) yang banyak konsumsi atau mendorong emisi,” sebutnya.
Datanya menunjukkan, sekitar 50% kalangan masyarakat dunia yang tergolong paling miskin hanya bertanggung jawab pada 10% dari total emisi konsumsi gaya hidup global. Sedangkan, 10% kalangan masyarakat dunia yang tergolong paling kaya bertanggung jawab hingga 49% terhadap emisi saat ini.
Di tingkat makro, negara-negara di dunia juga harus mulai menyadari bahwa pertumbuhan PDB saja dalam konteks keberlanjutan lingkungan tidaklah cukup. Jika begitu, bisa jadi, kelangsungan pertumbuhan ekonomi ini malah merusak kualitas hidup, bukan menjaga kualitas hidup.
“Ketika perubahan iklim terjadi, baik itu kekeringan, kebakaran hutan yang sulit dikontrol, kemudian kebanjiran, hingga frekuensi dan intensitas bencana yang terus meningkat 20 tahun terakhir, ini kan enggak diperhitungkan dalam hitungan ekonomi (konvensional)… Jadi dianggap sebagai nomor dua,” ujarnya.