c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

24 Maret 2023

20:30 WIB

Ketidaksesuaian Level Playing of Field Hambat Pertumbuhan EBT

IESR menyebut ketidaksesuaian level playing of field menghambat pertumbuhan EBT. Padahal, Indonesia punya potensi pemanfaatan EBT sekitar 3.600 GW-20.000 GW yang bisa lebih dioptimalkan.

Penulis: Yoseph Krishna

Ketidaksesuaian <i>Level Playing of Field</i> Hambat Pertumbuhan EBT
Ketidaksesuaian <i>Level Playing of Field</i> Hambat Pertumbuhan EBT
Ilustrasi. Petugas memeriksa area kilang yang memproduksi Green Diesel dan Green Avtur di K ilang PT Kilang Pertamina Internasional RU IV Cilacap, Jateng, Kamis (27/10/2022). Antara Foto/Idhad Zakaria

JAKARTA – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan di Indonesia terhambat oleh tidak sesuainya level playing of field.

Dalam diskusi bertajuk 'Indonesia Levelized Cost of Electricity', Fabby mengatakan adanya preferensi untuk mengembangkan energi fosil menjadi musabab energi baru dan terbarukan (EBT) secara tidak langsung dianaktirikan.

Misalnya saja dalam perencanaan ketenagalistrikan, PLTU batu bara masih menjadi pembangkit yang dominan dikembangkan dengan pertimbangan yang dipahami bahwa batu bara merupakan energi paling murah.

Bahkan sejak 2018, pemerintah sudah menerapkan aturan domestic market obligation (DMO) untuk mengendalikan kenaikan biaya pembangkitan tenaga listrik, ditambah dengan pembatasan harga batu bara yang dibeli oleh pembangkit.

"Dengan demikian berapapun harga batu bara di pasar internasional, produsen harus menjual minimum 25% dari produksi kepada PT PLN (Persero) dengan harga US$70/ton," tutur Fabby di Jakarta, Jumat (24/3).

Fabby menambahkan ketika harga gas meningkat dan dilakukan pembatasan hingga US$6 per MMBTU, kebijakan oleh pemerintah sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang melindungi utilitas dari kenaikan atau fluktuasi dari harga energi fosil.

"Ini yang menjadi pangkal kenapa kemudian dalam perencanaan ketenagalistrikan, preferensinya selalu energi fosil karena ada level of playing field yang tidak sama," ucap dia.

Baca Juga: Kapasitas Terpasang Pembangkit EBT Di 2022 Lampaui Target

Di sisi lain, International Renewable Energy Agency (IRENA) memroyeksikan pertumbuhan kapasitas energi terbarukan global akan meningkat 295 GW atau 10% pada 2022 dibandingkan 2021. Kenaikan itu terjadi di tengah kondisi pandemi dan inflasi yang meroket karena harga energi yang juga meningkat.

Dari 295 GW itu, sekitar 141 GW atau nyaris separuhnya berada di Asia Pasifik, seperti di China dan India. Indonesia sendiri ia sebut belum banyak berperan karena merujuk pada catatan Kementerian ESDM, penambahan kapasitas terpasang EBT di tanah air pada 2022 baru sekitar 1 GW.

"Tentu ini menjadi pertanyaan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara dengan ekonomi nomor 15 di dunia dan konsumsi listrik cukup tinggi, penambahan EBT hanya 1 GW," kata Fabby.

Padahal, harga pembangkit listrik berbasis EBT cenderung menurun, dimana dalam satu dekade terakhir harga PLTS turun 90% dan PLTB sekitar 80%. Hal ini menandakan pembangkit-pembangkit EBT tidak terpengaruh harga bahan bakar karena memang tidak menggunakan bahan bakar.

"Termasuk juga pembangkit energi thermal dan nuklir, meski dipengaruhi harga bahan bakar seperti batu bara, gas, biomassa, dan uranium, tapi cenderung stabil," imbuh dia.

Sementara itu, harga pembangkit berbahan bakar fosil dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari keseimbangan pasokan dan permintaan, hingga gepolitik seperti harga minyak yang dipengaruhi keputusan OPEC untuk menaikkan atau menurunkan produksi.

Diminta Bersaing
Lebih lanjut, merujuk pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang sudah dicabut dengan ketentuan Perpres Nomor 112 Tahun 2022, energi baru dan terbarukan secara tidak langsung diminta bersaing dengan energi fosil yang mendapat subsidi dari pemerintah.

Menurut Fabby, hal itu menjadi penyebab utama sulitnya mengembangkan energi baru dan terbarukan di Indonesia. Pasalnya, pemerintah masih belum mau merilis subsidi untuk pengembangan EBT di dalam negeri.

"Jadi EBT-nya tidak disubsidi, harus bersaing dengan energi fosil yang disubsidi, ini yang menghambat pengembangan EBT," tandas Fabby.

Baca Juga: Negara Hanya Penuhi 11% Dana EBT, Blended Finance Jadi Solusi

Namun demikian, ia mengakui bahwa sumber EBT di Indonesia sangat melimpah. Potensi itu menurutnya tinggal didukung affirmative action untuk pemanfaatan EBT yang lebih optimal, serta reformasi harga energi.

"Termasuk juga mengubah preferensi kita yang tadinya menganggap energi fosil itu murah, ternyata tidak semurah yang kita bayangkan karena harus ada biaya-biaya lain yang ditanggung," jabarnya.

Dengan adanya affirmative action pemanfaatan EBT, ia yakin pada 2030 bauran energi terbarukan di Indonesia bisa lebih tinggi atau setidaknya mencapai 34% sesuai dengan target yang ditetapkan dalam skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP).

"Kita juga bisa melihat energi terbarukan seperti angin dan surya bisa tumbuh lebih cepat karena kita punya potensi besar, antara 3.600 GW-20.000 GW yang dapat dikembangkan," ucap Fabby Tumiwa.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar