c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

12 Juni 2023

15:11 WIB

Pengamat: Energi Fosil Masih Diperlukan Hingga 50 Tahun Ke Depan

Saat ini kebutuhan energi di Indonesia masih dipenuhi energi berbasis fosil, yakni 42,4% batu bara, dan 31,4%  minyak bumi. Sedangkan EBT, baru sebatas menjadi energi komplementer, bukan substitusi

Pengamat: Energi Fosil Masih Diperlukan Hingga 50 Tahun Ke Depan
Pengamat: Energi Fosil Masih Diperlukan Hingga 50 Tahun Ke Depan
Ilustrasi - Pekerja melakukan aktivitas pengeboran sumur minyak bumi. Antara/Pertamina

JAKARTA- Dunia belakangan mulai bertransformasi menggunakan energi baru terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan. Meski begitu, energi fosil yang kerap dituding sebagai energi kotor, diyakini tetap dibutuhkan dan tidak bener-benar ditinggalkan dalam waktu dekat.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyebut, energi fosil masih diperlukan hingga 50 tahun ke depan. Karena itu, ia menilai, peran EBT dalam menjaga ketahanan energi adalah sebagai komplementer, bukan substitusi.

"Dalam 50 tahun ke depan, energi fosil masih sangat diperlukan. Lifting minyak dan gas akan terus berlanjut dan tak akan berhenti. Meskipun sudah ada EBT (energi baru terbarukan), energi fosil masih dibutuhkan khususnya untuk industri petrochemical (petrokimia)," kata Komaidi dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Senin (12/6).

Karena itu, Komaidi berharap industri minyak bumi dan gas (migas) nasional dapat terus mempersiapkan diri. Tidak hanya terkait perubahan atau transisi energi yang menuntut Pertamina beradaptasi dengan perubahan zaman, tetapi juga harus memperhatikan pemenuhan energi fosil untuk sekitar 50 tahun mendatang.

‘’Saya rasa kegiatan eksplorasi atau lifting migas akan terus berlangsung, karena kebutuhan energi akan terus berlangsung terus menerus. Namun, kondisi itu memang harus diimbangi dengan energi terbarukan,’’ tuturnya.

Ubah Strategi
Masih pentingnya peran energi fosil dalam ketahanan energi ini, sebelumnya juga telah disampaikan mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar. Melalui akun Instagramnya @arcandra.tahar, Arcandra mengatakan banyak negara maju mengubah strategi mereka untuk memenuhi kebutuhan energi pasca konflik Rusia-Ukraina.

Uni Eropa mulai menyadari masa transisi energi menuju net zero emission memerlukan waktu. Dengan begitu, energi fosil belum bisa tergantikan, setidaknya untuk 30 tahun ke depan.

‘’Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sudah dipensiunkan, kembali dioperasikan akibat energi yang berasal dari angin dan matahari belum mampu memenuhi kebutuhan setelah pandemi. Tahun 2022 Jerman menghidupkan kembali PLTU sekitar 9 GW,’’ kata Arcandra dalam unggahan Instagramnya, Sabtu (3/6).

Ia menambahkan, krisis energi yang terjadi di Eropa berdampak pada mahalnya harga batu bara dan gas. Naiknya harga energi lantas mendorong inflasi tinggi dan menyebabkan harga kebutuhan pokok meroket.

“Subsidi yang selama ini digunakan untuk membantu renewable energy (energi terbarukan) bisa berkembang dengan baik dialihkan ke subsidi energi fosil. Inilah realita yang harus diterima oleh Uni Eropa,” tuturnya.



Aktivitas pengeboran minyak di Rig Cosel Seeker milik PT PHE WMO, Kawasan Lepas Pantai Barat Madura, Jawa Timur. Antara Foto/Wahyu Putro A 

 


Begitupun dengan Amerika Serikat. Arcandra mengatakan, AS masih mampu mencukupi kebutuhan energi mereka, terutama gas. Sementara untuk minyak mentah, AS masih mengimpor sebagian.

“Perlahan tapi pasti, inovasi dalam pengelolaan shale oil dan shale gas, telah mampu menjadikan AS sebagai negara produsen minyak dunia mengalahkan Arab Saudi,”cetusnya. .

Arcandra menambahkan, produksi minyak AS sekitar 11 juta barrel per day (BOPD) ketika Presiden Joe Biden dilantik menjadi presiden. Lalu, jumlah tersebut meningkat menjadi 12 juta BOPD pada tahun 2022 dan tahun 2023 diperkirakan akan naik menjadi 13 juta BOPD.

‘’Angka tersebut merupakan rekor terbaru dalam sejarah perminyakan AS dan merupakan salah satu langkah strategis yang dijalankan AS untuk mencapai ketahanan energi mereka. Belum ada tanda-tanda AS akan mengurangi kegiatan eksplorasi dan produksi migas paling tidak untuk 10 tahun kedepan,’’ bebernya.

Transisi Energi
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, Indonesia memiliki potensi untuk memproduksi listrik dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dengan kapasitas hingga 3.000 gigawatt. Hanya saja, potensi tersebut baru dimanfaatkan sekitar 12,5 gigawatt.
 
“Pada roadmap transisi energi menuju Net Zero Emission di 2060, seluruh demand listrik ditargetkan di-supply oleh pembangkit energi baru dan terbarukan dengan total kapasitas kurang lebih 700 gigawatt,” kata Arifin.

Ia menargetkan, sampai 2030 Indonesia bisa menambah produksi listrik dari sumber EBT hingga mencapai 21 gigawatt sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030.
 
Untuk itu pemerintah akan membangun infrastruktur super grid dan smart grid yang diharapkan dapat meningkatkan konektivitas antarpulau, mengurangi dampak intermittency. Kemudian mengatasi divergensi antara sumber energi terbarukan lokal dan lokasi dengan permintaan energi listrik yang tinggi.
 
“Peluang pengembangan EBT semakin meningkat seiring dengan biaya pembangunan pembangkit listrik tenaga EBT yang mengalami penurunan cukup tajam sejalan dengan penurunan harga baterai litium hingga 97 % dalam 3 tahun terakhir,” katanya pula.
 
Kementerian ESDM juga mulai menjalankan program Renewable Energy Based on Industrial Development (REBID) yang memanfaatkan pembangkit listrik tenaga air, tenaga surya, panas bumi, biomassa, dan hidrogen guna mendukung industri berenergi hijau.
 
“Selain pengembangan industri hijau di Pulau Kalimantan, Pulau Papua juga memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan green industry ke depan. Hal ini mengingat Papua memiliki potensi EBT mencapai 380 gigawatt terutama dari surya dan hidro yang dapat menjadi modal dalam pengembangan REBID,” tuturnya.
 
Sekadar catatan, saat ini sebagian besar dari kebutuhan energi di Indonesia masih dipenuhi oleh energi berbasis fosil, yakni 42,4% dari kebutuhan dipenuhi oleh batu bara, dan 31,4% dari minyak bumi.
 
“Namun, ke depan, produksi minyak bumi nasional tidak akan mencukupi kebutuhan nasional, padahal konsumsi energi terus meningkat sehingga ketahanan energi akan semakin kritis dan diperlukan transisi energi ke EBT,” tuturnya.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar