17 Juni 2025
14:41 WIB
Dituding Dumping dan Subsidi, Ekspor Kayu Lapis Indonesia Kena Selidik AS
Kemendag siap mendampingi proses penyelidikan berlapis antidumping dan antisubsidi oleh AS terhadap produk ekspor kayu lapis dari kayu keras dan dekoratif asal Indonesia.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Khairul Kahfi
Pekerja menyiapkan bahan pembuatan sumpit dari limbah kayu untuk diekspor ke Jepang di Sentra IKM Te manggung Tilung, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (7/3/2023). Antara Foto/Makna Zaezar
JAKARTA - Plt. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim mengungkapkan, produk kayu lapis dari kayu keras dan dekoratif (hardwood and decorative plywood) asal Indonesia saat ini tengah dihadapkan proses penyelidikan berlapis antidumping dan antisubsidi oleh Amerika Serikat (AS).
Atas hal ini, Isy Karim mengaku, pihaknya siap melakukan pendampingan para eksportir sepanjang proses penyelidikan. Penyelidikan berlapis antidumping dan antisubsidi tersebut merupakan inisiasi Departemen Perdagangan AS (United States Department of Commerce/USDOC) pada 11 Juni 2025 lalu.
“Kemendag akan memberi pendampingan kepada pelaku usaha Indonesia dalam menyusun pembelaan dan pengisian kuesioner. Kayu lapis dari kayu keras dan dekoratif merupakan salah satu produk unggulan ekspor Indonesia ke AS, dan pemerintah akan senantiasa selalu memberikan pembelaan,” ucap Isy dalam keterangan resmi, Jakarta, Selasa (17/6).
Baca Juga: Asosiasi Furnitur Was-Was Hadapi Tarif Resiprokal
Bukan hanya Indonesia, USDOC juga diketahui melakukan penyelidikan kepada China dan Vietnam berdasarkan petisi dari Coalition for Fair Trade in Hardwood and Playwood (CFTHP) yang disampaikan ke USDOC pada 22 Mei 2025.
Isy menjelaskan, dalam dokumen penyelidikan AS terhadap Indonesia, USDOC mencantumkan 204 pos tarif Harmonized Tariff Schedule of the United States (HTS-US) yang akan diselidiki.
Beberapa jenis produk yang akan menjadi fokus penyelidikan mereka antara lain kayu lapis dari kayu keras dan dekoratif seperti panel kayu veneer (veneered panels). Namun daftar ini nantinya masih dapat berubah sesuai perkembangan penyelidikan.
“Margin dumping yang akan dikenakan terhadap produk Indonesia diperkirakan mencapai 84,94%, ditambah dengan 12 program yang terindikasi subsidi. Salah satu hal baru dalam penyelidikan ini adalah temuan bahwa beberapa dari 12 program tersebut merupakan program Pemerintah Tiongkok yang dinilai sebagai subsidi transnasional oleh AS,” sambungnya.
Baca Juga: Polemik Tarif Impor AS, Industri Mebel Khawatir Kehilangan Ekspor US$1,4 M
Lebih lanjut, Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Reza Pahlevi Chairul menyampaikan, pihaknya juga akan terus berkolaborasi dengan kementerian dan lembaga terkait, asosiasi, serta perusahaan-perusahaan yang terdampak.
“Selain negosiasi terkait tarif sektoral dan resiprokal yang terus berjalan, seluruh pemangku kepentingan yang terlibat diharapkan dapat bersinergi bersama dalam menghadapi kasus antidumping dan antisubsidi ini demi menjaga kelancaran akses pasar kayu lapis dari kayu keras dan dekoratif ke AS,” tutur Reza.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Bambang Soepijanto menyambut dan mengapresiasi dukungan Kemendag dalam menghadapi penyelidikan terhadap produk kasus kayu lapis dari kayu keras dan dekoratif oleh AS.
Baca Juga: China Minta Bahan Baku Kayu Indonesia, HIMKI Beri Peringatan Ini
Apkindo pun berharap, adanya dukungan pemerintah saat ini bisa memberikan hasil yang baik hingga akhir penyelidikan.
“Kami sangat terbantu sejak awal penyelidikan prainisiasi. Kami harapkan dukungan ini terus dipertahankan dan berlanjut pada tahap penyelidikan selanjutnya, mengingat sepertiga produksi kayu lapis dari kayu keras dan dekoratif Indonesia ditujukan ke pasar AS,” ucap Bambang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor komoditas kayu lapis dari kayu keras dengan kode HS 44121000 yang diekspor Indonesia ke AS sepanjang 2021-2025 mengalami fluktuasi.
Secara rinci, nilai ekspor secara beruntun antara lain, senilai US$66.729 atau sekitar 6.898 kg di 2021; turun menjadi US$3.053 sekitar 1.378 kg di 2022; naik lagi menjadi US$50.950 (5.563 kg) di 2023; kembali turun menjadi US$4.333 (1.841 kg) di 2024; dan tercatat baru senilai US$500 (18 kg) sementara ini di 2025.