11 Maret 2025
13:56 WIB
Dirjen EBTKE Ungkap Penyebab Lambatnya Realisasi Proyek Energi Bersih RI
Realisasi proyek energi bersih RI masih banyak terkendala karena ketiadaan acuan baku dan regulasi yang dapat dirujuk pengembang EBT. Untuk itu, pemerintah menerbitkan Permen ESDM 5/2025.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Petani beraktivitas di sekitar sumur produksi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (6/9/2022). Antara Foto/Anis Efizudin
JAKARTA - Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengungkap, tidak adanya acuan baku dan regulasi yang dapat dirujuk dalam praktik pemanfaatan EBT menjadi sebab lambatnya realisasi proyek energi bersih di Indonesia selama ini.
Padahal, tekannya, acuan baku dan regulasi yang dimaksud nyatanya jadi hal yang dibutuhkan oleh para pengembang di bidang EBT. Para pengembang EBT membutuhkan kepastian hukum dalam mekanisme jual beli listrik.
Kondisi tersebut, yang kemudian menjadi latar belakang Ditjen EBTKE Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan.
"Sebelum regulasi ini diterbitkan, pengembang proyek energi terbarukan dan PLN selama ini kadang-kadang ada beberapa titik yang tidak memiliki acuan bakunya. Jadi dalam menyusun kontrak PJBL seringkali masih harus mencari acuan regulasi yang diinginkan," ujarnya dalam agenda Sosialisasi Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2025, Jakarta, Selasa (11/3).
Baca Juga: Potensi EBT Pulau Sumatra Melimpah, Namun Minim Pemanfaatan
Lebih detail, Eniya menjelaskan, dalam prosesnya selama ini sering kali terjadi perbedaan interpretasi dari kontrak yang dialami para pengembang EBT, disertai dengan proses negosiasi yang panjang dan kompleks. Tak jarang, kondisi ini juga menyebabkan adanya peningkatan biaya transaksi.
Adapun beleid ini diterbitkan, selain menjadi solusi dari ketidakpastian dalam skema pembayaran, juga solusi mekanisme terhadap situasi force majeure yang juga kerap terjadi mengenai pembagian risiko dalam PJBL yang menyebabkan ketidakstabilan finansial bagi pengembang.
Eniya memaparkan, dalam prosesnya, perumusan Permen ESDM 5/2025 dilakukan sebagai hasil dari komunikasi dengan semua pemangku kepentingan yang berkolaborasi dengan erat antara pemerintah, asosiasi, perbankan, mitra kerja sama, akademisi maupun dunia usaha, dan masyarakat.
Nantinya, Permen ESDM 5/2025 akan mulai diterapkan terhadap Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) eksisting. Pada saat bersamaan, Kementerian ESDM juga masih meramu RUPTL terbaru yang akan disesuaikan dengan regulasi terbaru.
Baca Juga: Sukseskan Upaya EBT, RI Butuh Investasi US$55 M Sampai 2029
Perlu diketahui, Permen ESDM 5/2025 mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Adapun regulasi tersebut mencakup berbagai aspek mulai dari jangka waktu PJBL, hak dan kewajiban pengembang dan PLN, mekanisme pembayaran, pengendalian sistem tenaga listrik, dan penentuan harga listrik.
Ke depan, Eniya menegaskan regulasi terbaru ini menjadi pedoman penting dalam mekanisme jual beli listrik berbasis EBT. Sekaligus sebagai bentuk komitmen pemerintah mencapai net zero emission pada 2060.
"Kita pastikan, dan tentunya semoga sinergi dan kolaborasi yang erat untuk mempercepat pelaksanaan EBT ini menjadi cepat terlaksana. Mudah-mudahan ekosistem EBT juga lebih inklusif dan lebih berdaya saing," pungkasnya.