c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

20 Juli 2024

17:29 WIB

Digempur Produk Impor, Kapasitas Produksi Industri Petrokimia RI Lesu

Serbuan produk impor, terutama plastik jadi, membuat industri petrokimia RI terpukul. Kapasitas produksinya loyo hanya 50-60%, hingga bisa berimbas menyetop mesin pabrik.

Penulis: Aurora K M Simanjuntak

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">Digempur Produk Impor, Kapasitas Produksi Industri Petrokimia RI Lesu</p>
<p id="isPasted">Digempur Produk Impor, Kapasitas Produksi Industri Petrokimia RI Lesu</p>

 Pekerja beraktivitas di kawasan kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, Sabtu (21/12/2019). ANTARA FOTO/Moch Asim/pras.

JAKARTA - Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia membenarkan, bahwa saat ini industri petrokimia, termasuk plastik, di dalam negeri sedang lesu dan terus menerus mengalami penurunan kapasitas produksi.

Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengatakan, salah satu faktor utama yang menyebabkan turunnya kapasitas produksi tersebut adalah persaingan dengan produk impor. Itu termasuk impor barang-barang jadi atau siap pakai seperti plastik jadi.

"Setahu saya memang industri petrokimia kita terus menerus menurun kapasitas produksinya, tidak lepas dari persaingan dengan produk impor yang lebih murah," ujarnya kepada Validnews, Sabtu (20/7).

Faisal menjelaskan produk impor yang membanjiri pasar domestik harganya jauh lebih murah lantaran biaya produksi dan ongkos logistiknya pun murah. Berbeda dengan kondisi di Indonesia sendiri.

Pengamat ekonomi itu menilai, biaya logistik di tanah air tergolong mahal. Imbasnya, pelaku industri petrokimia domestik yang mengimpor bahan baku untuk memproduksi barang jadi atau setengah jadi ongkosnya jadi lebih tinggi.

"Nah sementara di kita itu lebih mahal karena logistiknya memang biayanya lebih tinggi," imbuhnya.

Baca Juga: Industri Petrokimia RI Terpukul, Target Swasembada Plastik Kandas

Tentu jomplang apabila dibandingkan dengan produk-produk plastik siap pakai yang masuk ke pasar RI dengan harga miring. Jadinya, berbagai jenis produk plastik made in Indonesia justru kalah bersaing.

Oleh karena itu, Faisal mengingatkan agar pemerintah jangan sampai cuek. Menurutnya, pemerintah perlu mengambil kebijakan guna mengontrol produk impor barang jadi, salah satunya menggunakan skema tarif impor.

"Kalau dibiarkan terus, tentu saja industri petrokimia akan tergerus pasarnya, dan untuk itu pemerintah perlu mengambil kebijakan yang sifatnya mengontrol produk impor barang jadi," terangnya.

Ekonom CORE melihat sampai sekarang ini, tarif impor barang jadi dan bahan baku masih berat sebelah. Kenapa barang jadi lebih gampang masuk ke Indonesia, karena menurutnya tarif impornya lebih murah.

Sementara itu, sambung Faisal, tarif impor bahan baku malah lebih mahal. Sudah kena tarif impor lebih tinggi, biaya produksi dan logistiknya juga tinggi, ditambah kena serbuan impor barang jadi pula dari negara tetangga. Pada akhirnya, serangkaian pukulan itu membuat industri, termasuk petrokimia, menjadi lesu.

"Jadi terbalik kan, mestinya tarif impor bahan baku lebih murah dibandingkan barang jadinya," tegas Faisal.

Kapasitas Produksi Industri Petrokimia Hanya 50%
Sebelumnya, Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik (Inaplas) Indonesia memang mengeluhkan kondisi industri sektor petrokimia RI yang makin terpuruk karena banjir produk impor baku plastik. Utamanya, yang berasal dari Thailand, Vietnam, Malaysia, China, Korea Selatan dan Timur Tengah.

Selain berdampak pada industri hulu, seperti petrokimia, banjir barang impor juga memukul industri turunannya, yakni industri hilir, seperti makanan minuman, peralatan rumah tangga, otomotif, tekstil dan lain-lain. Jika dibiarkan, pabrik-pabrik produksi plastik akan banyak yang tutup dan merugi.

"Belakangan, kondisi industri petrokimia terus terpuruk karena banjirnya barang-barang impor dari Thailand, Malaysia, Vietnam, China dan Timur Tengah," ujar Direktur Kemitraan dalam Negeri dan Internasional Inaplas Budi Susanto Sadiman saat ditemui di Kantor Inaplas, Kamis (18/7).

Budi menjelaskan industri bahan baku plastik terutama untuk produk polyethylene (PE) seperti HDPE dan LLDPE dan polypropylene (PP) seperti PP Homopolymer dan Copolymer di negara lain sudah over supply.

Itu sebabnya, mereka membuang produk jadi ke pasar Indonesia. Ia menyebutkan, negara eksportir yang mengalihkan ekspornya ke RI, antara lain Thailand, Malaysia, serta Vietnam yang mulai agresif mengincar pasar Indonesia.

Budi pun menuturkan, hal tersebut membuat industri bahan baku plastik seperti PE dan PP menjadi sulit bertahan. Itu tercermin dari kapasitas produksi atau utilisasi industri petrokimia dan plastik yang hanya di level 50-60%.

Adapun kapasitas dari industri bahan baku plastik, yang merupakan industri hulu dari plastik dalam negeri, yakni 3,5 juta ton per tahun.

"Industri bahan baku plastik seperti PE dan PP dalam negeri sulit bertahan dan saat ini berjalan hanya 50-60% dari kapasitasnya," ungkapnya.

Baca Juga: Rencana Investasi Industri Petrokimia Terancam Lenyap US$27 M

Sederhananya, industri dikatakan mampu berproduksi secara penuh dengan memiliki kapasitas sebesar 100%. Sementara ini ternyata kapasitas produksi industri bahan baku plastik hanya setengah.

Penurunan utilisasi mencerminkan lemahnya permintaan terhadap produk plastik hilir domestik. Seperti diuraikan, sebagian besar dipengaruhi maraknya produk impor yang lebih murah dan kompetitif.

Idealnya, Budi mengungkapkan kapasitas produksi industri hulu berada di level 80%. Apabila utilisasinya di bawah angka itu, ia memastikan industri mulai mengalami kerugian dan menjadi tidak kondusif untuk beroperasi.

"Utilisasi harusnya untuk industri hulu itu di atas 80%. Jadi di bawah 80% atau bahkan 70% itu sebenarnya sudah tidak kondusif atau sudah mulai merugi. Ini tergantung juga dengan harga bahan baku dan harga jual barang jadinya," terangnya.

Inaplas melihat, apabila kondisi ini terus berlanjut tanpa ada proteksi, maka bakal banyak pabrik plastik yang tutup. Kemudian diikuti dengan sedikitnya 3 juta tenaga kerja yang yang akan kehilangan lapangan kerja, serta kontribusi sektor petrokimia terhadap PDB nasional yang mencapai Rp41 triliun per tahun bisa melayang.

Karena banyak kekhawatiran tersebut, Budi meminta pemerintah segera menangani impor barang jadi produk-produk petrokimia. Salah satunya, memperketat impor dengan mengembalikan kebijakan larangan dan pembatasan (lartas) dalam Permendag 36/2023.

"Kami berharap pemerintah memperbaiki peraturan importasi yang ada. Permendag 36/2023 harus kembali diterapkan untuk membatasi produk impor plastik dari negara lain," tutup Budi.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar