21 Juli 2025
19:10 WIB
Daya Saing Kalah, Tarif 19% AS Tidak Otomatis Untungkan RI
Meski Indonesia mendapat tarif dagang paling rendah dibanding negara kompetitor lain, ada ancaman daya saing dari segi produksi komoditas andalan yang diekspor ke AS.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Pekerja memproduksi sepatu untuk diekspor di Tangerang, Banten, Selasa (30/4/2019). Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay/pras.
JAKARTA - Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Ahmad Heri Firdaus meminta pemerintah waspada, terhadap pencapaian tarif 19% yang sejauh ini dibangga-banggakan sebagai tarif paling rendah di antara negara lain sebagai hasil negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) dan Donald Trump.
Menurutnya, tarif tersebut tidak serta-merta bisa mengamankan produk Indonesia menjadi lebih kompetitif, khususnya untuk komoditas andalan seperti alas kaki dan pakaian jadi dalam bersaing dengan produk serupa dari negara lain saat masuk ke pasar AS.
"Misalnya Vietnam, Malaysia, Bangladesh yang bikin tekstil pakaian jadi dan alas kaki itu tarifnya lebih tinggi, belum tentu mereka ekspornya turun lebih besar dari kita. Belum tentu. Kenapa? Karena ada yang namanya daya saing kompetitif," ujar Heri dalam Diskusi Publik Indef di Jakarta, Senin (21/7).
Baca Juga: Kemenperin Klaim Faktor Eksternal Dominan Lemahkan Daya Saing Indonesia
Dirinya menjelaskan, daya saing kompetitif yang dimaksud bisa disebabkan oleh faktor lain berupa keberhasilan negara kompetitor dalam menekan biaya produksi yang jauh lebih rendah dari Indonesia. Akibatnya, tingginya tarif impor yang mereka miliki tidak terlalu memengaruhi harga produk di pasar AS.
Dalam hal ini, Heri membandingkan dengan biaya produksi seperti listrik, energi, logistik dan transportasi di dalam negeri yang saat diakumulasi memiliki biaya tetap tinggi, akan semakin memberatkan ketika ditambah dengan tarif 19%.
"Jadi (jangan) mentang-mentang (tarif) kita 19%, negara lain lebih tinggi kok, tenang aja. Belum tentu juga. Lihat lagi, biaya untuk menciptakan produk itu gimana di Indonesia dibandingkan dengan di negara-negara lain," imbuhnya.
Baca Juga: IMD Sebut Daya Saing RI Anjlok 13 Peringkat Imbas Perang Tarif
Mendukung penilaian tersebut, Heri menyorot Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang nyatanya masih lebih tinggi daripada negara-negara pesaing yang mengirim produk serupa ke AS.
Padahal, semakin rendah ICOR menunjukkan investasi terhadap industri lebih efisien dalam menghasilkan pertumbuhan, sedangkan ICOR yang lebih tinggi menunjukkan sebaliknya.
"ICOR kita lebih tinggi artinya apa? Untuk memproduksi satu unit barang diperlukan lebih banyak modal. Misalnya untuk bikin sepatu di Indonesia diperlukan sebesar US$8. Tapi kalau di Vietnam bikin sepatu yang sama cuma butuh US$5 dolar, kan murahan di sana," jelas Heri lagi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka ICOR Indonesia dalam bebera tahun belakangan masih di level 6%. Secara rinci, ICOR pada 2022 berada di angka 6,06, lalu pada 2023 meningkat menjadi 6,33.
Baca Juga: Pemerintah Janji Turunkan ICOR RI Jadi 4% Dalam Empat Tahun
Karena itu, Heri kembali menegaskan, pemerintah tidak dapat terus terlena dengan keberhasilan mendapat tarif yang lebih rendah, namun juga perlu melakukan identifikasi apakah industri di dalam negeri mampu mengimbangi perolah tarif tersebut atau tidak.
"Bisa jadi negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, Bangladesh mereka melakukan efisiensi dalam hal biaya produksi, itu PR kita," pungkasnya.