30 Mei 2025
14:58 WIB
Co-Firing Biomassa Bukan Solusi Untuk Tekan Emisi
Proyek co-firing biomassa pada PLTU berpotensi melepas polutan berbahaya lain yang sulit untuk dipantau.
Penulis: Yoseph Krishna
Pekerja mengoperasikan alat berat mengeruk bahan baku pengganti batu bara (co-firing) biomassa yang berasal dari sampah di TPA Sampah di Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (13/7/2022). Antara Foto/Umarul Faruq
JAKARTA - Pembakaran bersama batu bara dengan biomassa atau co-firing pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dinilai tidak bisa menjadi solusi untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK).
Laporan teranyar dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menunjukkan co-firing justru bisa melepas polutan berbahaya lain yang sulit atau bahkan tak bisa terpantau dalam ambang batas emisi batu bara.
Rencana pemerintah untuk menjalankan co-firing 10% biomassa pada 52 PLTU dinilai hanya akan menghasilkan pengurangan materi partikulat (PM) 9%, nitrogen oksida (NOx) 7%, serta sulfur dioksida (SO2) 10% di PLTU.
Di lain sisi terdapat potensi polutan berbahaya seperti merkuri, karbon monoksida, hidrogen sulfida, serta jejak logam berat yang meliputi arsenik dan timbal mengingat adanya perbedaan batas ambang emisi yang ditetapkan untuk batu bara dan biomassa.
Analis CREA Katherine Hasan lewat keterangan tertulisnya mengungkapkan klaim yang tidak tepat seputar pengurangan emisi dari co-firing biomassa sebagai strategi transisi energi wajib diulas secara menyeluruh.
Baca Juga: Co-Firing Hingga CCS Dinilai Bertentangan Dengan Upaya Pangkas Emisi
Ditegaskan Katherine, upaya peningkatan kualitas udara hanya dapat dimulai dengan memetakan agenda pensiun pada semua PLTU batu bara dari Sabang sampai Merauke.
"Terlebih lagi, mitigasi emisi di PLTU selama beberapa dekade transisi hanya dapat ditangani dengan standar emisi yang ketat, yang akan memerlukan pemasangan teknologi pengendalian polusi udara di semua PLTU," tuturnya, Jumat (30/5).
Dirinya juga mengatakan klaim co-firing biomassa pada PLTU milik PT PLN bisa mengurangi emisi dibuat tanpa kuantifikasi yang komprehensif. Klaim tersebut semestinya tak sekadar mencakup penurunan pemanfaatan batu bara, tetapi juga harus menghitung siklus hidup dari rantai pasok biomassa seperti pemanenan, pemrosesan, hingga transportasi.
"Dari aspek ekonomi, harga acuan yang ditetapkan PLN untuk biomassa hanya memungkinkan pengadaan untuk biomassa berbiaya dan berkalori rendah seperti serbuk kayu, kulit padi, dan Refuse Derived Fuel (RDF) hasil pengolahan sampah padat yang umumnya memiliki energi rendah," tambah Katherine.
Kedepankan Transparansi
Sementara itu, Peneliti CREA Abdul Baits Swastika menjelaskan persoalan utama dari co-firing biomassa itu adalah pemangku kepentingan yang melihatnya sebagai solusi untuk mengurangi emisi dari bahan bakar fosil di tanah air.
Padahal, mengatasi akar permasalahan polusi udara dan memprioritaskan percepatan penyebaran sumber energi terbarukan lebih penting ketimbang memikirkan pengurangan emisi dari bahan bakar fosil.
"PLN bahkan membingkai co-firing biomassa sebagai strategi mendukung ekonomi kerakyatan dan mengurangi emisi, yang masih diragukan klaimnya karena tidak didukung oleh penilaian yang transparan dan menyeluruh," imbuh Abdul.
Karena itu, CREA mendorong agar pemerintah memprioritaskan akuntabilitas dan transparansi penggunaan biomassa di PLTU lewat kegiatan pemantauan dan evaluasi.
Baca Juga: PLN Hasilkan 1,67 Juta MWh Listrik Bersih Dari Co-Firing Biomassa Di 2024
Langkah tersebut menurut Abdul juga diperlukan untuk mengembangkan peta jalan bioenergi yang memberi kejelasan bagi para pemasok. Dengan begitu, pasar bisa berkembang secara alami untuk memenuhi permintaan.
"Kemudian, untuk membenarkan penggunaan bioenergi sebagai inisiatif berkelanjutan, PLN harus mewajibkan verifikasi independen atas emisi yang dilepaskan di seluruh rantai nilai," kata dia.
Sementara itu, Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna lebih menyoroti soal pasokan biomassa untuk co-firing pada PLTU batu bara. Menurut dia hingga saat ini, belum ada kejelasan bagaimana biomassa dapat diperoleh secara berkelanjutan.
Di lain sisi, kritik terhadap penggunaan biomassa untuk agenda co-firing PLTU telah semakin menjamur di banyak negara, terutama jika risiko tak dapat dikelola dengan baik.
"Laporan bahwa Korea Selatan akan menghentikan subsidi biomassa juga merupakan pertanda yang jelas akan melemahnya dukungan secara global," pungkas Putra Adhiguna.