c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

22 April 2025

19:04 WIB

Co-Firing Hingga CCS Dinilai Bertentangan Dengan Upaya Pangkas Emisi

Pemasangan CCS maupun penerapan co-firing dinilai menjadi solusi palsu dalam agenda transisi energi dan upaya menekan emisi.

Penulis: Yoseph Krishna

<p id="isPasted">Co-Firing Hingga CCS Dinilai Bertentangan Dengan Upaya Pangkas Emisi</p>
<p id="isPasted">Co-Firing Hingga CCS Dinilai Bertentangan Dengan Upaya Pangkas Emisi</p>

PT PLN (Persero) berhasil menerapkan co-firing atau pencampuran biomassa dengan batu bara pada 28 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan total energi hijau yang dihasilkan 96.061 Megawatt hour (MWh) hingga Februari 2022. ANTARA/ Try M Hardi

JAKARTA - Yayasan Indonesia CERAH mengkritisi adanya peluang retrofit pada PLTU batu bara dengan berbagai teknologi yang termaktub dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2025.

Policy Strategist CERAH Wicaksono Gitawan lewat keterangan tertulisnya menilai teknologi pembakaran batu bara bersama biomassa, hidrogen, dan amonia (co-firing), maupun teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) justru bertentangan dengan cita-cita pemangkasan emisi.

Kebijakan pemerintah untuk menerapkan teknologi tersebut, sambung Wicaksono, mengindikasikan PLTU masih akan tetap beroperasi dan membakar batu bara sampai tahun 2060 mendatang. Artinya, masih ada emisi karbon yang dihasilkan.

"Secara global, pemasangan CCS pada PLTU batu bara masih sedikit dan sebagian berakhir gagal karena tidak dapat menyerap karbon hingga 100%," ucapnya, Selasa (22/4).

Baca Juga: Jadi Senjata Kurangi CO2, Ini Cara Kerja CCS

Dengan tertulisnya teknologi seperti CCS dan pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dalam Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2025, dia menilai pemerintah justru memilih langkah yang mahal dalam agenda transisi energi.

Langkah tersebut pun menurut Wicaksono berpotensi membebani keuangan negara lewat skema subsidi, serta berpeluang memberatkan masyarakat dengan naiknya tarif listrik.

Bahkan, dirinya terang-terangan menilai teknologi itu merupakan solusi palsu dalam transisi energi, sama halnya dengan yang tercantum dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024.

"Langkah ini berisiko bagi Indonesia, lantaran berpotensi gagal memangkas emisi dan dapat terjebak dalam dalam krisis iklim yang lebih buruk," tegas Wicaksono.

Biaya Tinggi 
Lebih rinci, Peneliti Yayasan Indonesia Cerah Sartika Nur Shalati menjelaskan pengelolaan dan penyimpanan limbah nuklir menjadi tanggung jawab negara sesuai termaktub dalam UU Cipta Kerja dan UU Ketenagalistrikan.

Padahal, pengelolaan dan penyimpanan limbah nuklir memakan biaya yang cukup tinggi, yakni hingga Rp1,3 triliun. Angka itu bergantung pada jenis penyimpanan antara permanen dan temporer.

"Kemudian dengan asumsi seluruh PLTU berkapasitas total 54,7 gigawatt (GW) dipasang CCS, diperkirakan akan ada potensi tambahan biaya sebesar US$17 miliar per tahun, yang berdampak pada biaya produksi listrik PLTU," papar Sartika.

Sartika menambahkan, solusi terbaik untuk memangkas emisi CO2 ialah menyuntik mati PLTU batu bara. Dirinya tak menampik salah satu indikator pensiun dini PLTU ialah pertimbangan mengenai dampak kenaikan biaya pokok penyediaan tenaga listrik terhadap tarif listrik yang harus dibayar masyarakat.

Baca Juga: Sidang Perdana DEN 2025: Bahas Percepatan PLTN Sampai Cadangan Energi

Tetapi, pemanfaatan energi baru ke dalam sektor ketenagalistrikan menurutnya justru memakan biaya yang sangat mahal.

Padahal, biaya instalasi (levelized cost of electricity/LCOE) energi terbarukan berdasarkan penghitungan Institute for Essential Services Reform (IESR) saat ini sudah semakin murah.

Kajian dari lembaga yang dipimpin Fabby Tumiwa itu menunjukkan LCOE PLTU berada di kisaran US$4,5-US$11,9 per Kilowatt hour (kWh) tanpa diterapkannya CCS. Sedangkan LCOE panel surya hanya US$4,1-US$10,1 per kWh.

"LCOE PLTU berkisar US$4,5-US$11,9 per Kilowatt hour (kWh) belum dengan penambahan CCS, sedangkan LCOE panel surya berkisar US$4,1-US$10,1 per kWh. Artinya, jika ditambah teknologi CCS, maka biaya PLTU akan semakin besar," pungkas Sartika.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar