08 Juni 2023
08:00 WIB
JAKARTA - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) memandang kebijakan deforestasi Uni Eropa berpotensi memperparah fragmentasi pasar komoditas kelapa sawit berkelanjutan.
Kebijakan ini juga diskriminatif dan menimbulkan biaya yang tidak perlu bagi negara penghasil utama minyak sawit atau (CPO), seperti Indonesia dan Malaysia, yang memiliki banyak petani swadaya kecil.
“Kebijakan tersebut menuntut tercapainya traceability atau keterlacakan utuh, sesuatu yang masih sulit dilakukan dan membutuhkan waktu panjang untuk bisa mencapai persyaratan tersebut,” ungkap Peneliti CIPS Mukhammad Faisol Amir dalam keterangan resmi, Rabu (7/6).
Kebijakan bebas deforestasi Uni Eropa atau EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) ini merupakan legislasi baru yang melarang komoditas dan turunannya yang termasuk ke dalam ruang lingkup EUDR, seperti minyak sawit, ternak, kedelai, kopi, cokelat, kayu dan karet, untuk diperdagangkan dari dan ke Uni Eropa jika komoditas tersebut dihasilkan dari lahan deforestasi.
Tuntutan untuk keterlacakan muncul dari meningkatnya permintaan dari konsumen akan bukti keberlanjutan dari produk pertanian dan kehutanan yang dikonsumsi.
Kesadaran untuk menerapkan prinsip keberlanjutan di dalam keseharian membuat prinsip ini menjadi aspek mendasar dari setiap skema sertifikasi berkelanjutan di sektor pertanian dan kehutanan, termasuk minyak sawit.
Baca Juga: Airlangga-Dubes Uni Eropa Bahas Persiapan Joint Mission EUDR
Kebijakan ini berpotensi memperparah fragmentasi pasar sawit berkelanjutan, terutama yang berasal dari Indonesia dan Malaysia sebagai dua produsen minyak sawit terbesar.
Minyak sawit yang dihasilkan keduanya belum sepenuhnya mencapai keterlacakan, seperti yang disyaratkan oleh kebijakan ini.
Sebagaimana diketahui, sertifikasi berkelanjutan bagi komoditas sawit Indonesia masih terfragmentasi dengan dua standar sertifikasi, yakni Indonesian Sustainable Pal Oil (ISPO) yang digagas oleh pemerintah dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang didorong oleh pasar global.
Fragmentasi sertifikasi keberlanjutan industri kelapa sawit timbul atas tumpang-tindihnya beberapa standar antara ISPO dan RSPO. Penelitian CIPS terbaru mengurai beberapa perbedaan keduanya, salah satu yang mendasar adalah keterlacakan.
RSPO melalui platform PalmTrace menelusuri keterlacakan produk kelapa sawit mulai dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) hingga konsumen akhir. Sementara itu, keterlacakan dalam ISPO mulai dari perkebunan hingga PKS.
“Di Indonesia, keterlacakan produk kelapa sawit masih sulit dicapai , terutama untuk produsen yang tidak memiliki cukup modal, misalnya saja petani kecil dan swadaya. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan sertifikasi keberlanjutan untuk komoditas yang dihasilkan,” imbuh Faisol.
EUDR juga berpotensi diskriminatif terhadap petani kecil dan swadaya. Kebijakan ini tidak mendukung opsi mass balance dan credit supply chain model yang selama ini dimungkinkan melalui RSPO.
Skema mass balance RSPO memungkinkan pencampuran produk tersertifikasi dan tidak tersertifikasi RSPO dalam rantai pasok, namun hanya diperbolehkan memberikan sertifikat pada produk akhir sejumlah volume produk tersertifikasi awal.
Sementara itu, kredit supply chain RSPO adalah bukti bahwa volume minyak sawit bersertifikat yang diproduksi, baik oleh perusahaan atau petani swadaya yang bersertifikat RSPO. Sertifikat ini kemudian dapat diperjual-belikan dan memberikan insentif bagi produsen.
Baca Juga: Wamendag: Undang-undang Deforestasi Uni Eropa Diskriminatif
Selain itu, terdapat persyaratan keterlacakan yang berat yang memuat koordinat lahan tempat dihasilkannya komoditas sawit. Hal ini berpotensi menyulitkan keterlacakan hingga ke tingkat petani kecil dan swadaya. Sebelum sampai ke pabrik, buah sawit dari petani swadaya harus melalui rantai pedagang perantara yang panjang.
Faisol menambahkan, keharusan untuk menjamin keterlacakan hingga ke tingkat petani swadaya menimbulkan biaya yang besar, yang dapat mendorong pembeli dari Uni Eropa untuk hanya melakukan transaksi dengan perkebunan besar dan petani plasma, dan menghindari petani swadaya.
Petani kecil memiliki atau mengoperasikan hampir separuh lahan budidaya kelapa sawit di seluruh nusantara juga memainkan peran yang sangat penting dalam transformasi industri melalui sertifikasi.
“Petani swadaya yang saat ini memproduksi 34,62% produk kelapa sawit di Indonesia seharusnya lebih banyak didukung dalam upaya menuju pertanian berkelanjutan, bukan sebaliknya. Kebijakan ini justru berpeluang menghambat ekspor minyak sawit yang mereka hasilkan.” tegasnya.
Fragmentasi industri kelapa sawit di Indonesia dapat direduksi melalui harmonisasi antara standar ISPO dan RSPO, sehingga dalam prosesnya, produsen dapat mengurangi biaya pemenuhan sertifikasi dan proses audit menjadi lebih efisien.
Selain itu, harmonisasi dua standar ini memungkinkan keterlacakan produk kelapa sawit Indonesia secara utuh, mulai dari perkebunan hingga produk akhir konsumen dengan biaya yang lebih murah.