c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

23 Mei 2023

20:55 WIB

Wamendag: Undang-undang Deforestasi Uni Eropa Diskriminatif

Undang-undang deforestasi Uni Eropa berpotensi mengancam berbagai produk unggulan Indonesia, seperti minyak sawit.

Penulis: Sakti Wibawa

Editor: Fin Harini

Wamendag: Undang-undang Deforestasi Uni Eropa Diskriminatif
Wamendag: Undang-undang Deforestasi Uni Eropa Diskriminatif
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga. Antara/Dok

JAKARTA - Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan, undang-undang (UU) produk bebas deforestasi yang disahkan Uni Eropa merupakan kebijakan yang diskriminatif.

"Jangan ada hal yang diskriminatif, tidak boleh itu. Dan ini ada kebijakan yang diskriminatif terhadap produk kita," katanya saat ditemui awak media, Selasa (23/5).

Pada 6 Desember 2022 Komisi Uni Eropa sudah menyetujui untuk memberlakukan Undang-undang anti deforestasi EUDR (EU Deforestation Regulation)

Ketentuan ini akan mengatur dan memastikan konsumen di Uni Eropa (UE) untuk tidak membeli produk yang terkait deforestasi dan degradasi hutan. Dalam salah satu pasalnya, UU ini mengelompokkan sawit sebagai tanaman berisiko tinggi.

Selain kelapa sawit, UU tersebut juga menyangkut beberapa komoditas seperti ternak, kakao, kopi, kedelai, karet dan kayu, termasuk beberapa produk turunan, seperti kulit, cokelat, dan mebel.

Dalam  undang-undang tersebut, perusahaan yang tidak mematuhi aturan ini dapat didenda hingga 4% dari omset jika ditemukan produk yang dihasilkan dari kegiatan deforestasi.

Jerry menegaskan, Indonesia berhak untuk melakukan ekspor ke negara manapun. Karena itu, dia menegaskan Indonesia tetap akan melakukan ekspor, meskipun tanpa pasar Eropa.

"Kita kan bukan cuma ekspor ke Eropa saja, tapi kan kita ekspor ke seluruh dunia. Jadi ya tetap jalan, termasuk nikel dan crude palm oil (CPO)," tegasnya.

Sebelumnya, Sejumlah asosiasi petani kelapa sawit menolak kebijakan Uni Eropa yang memberlakukan Undang-undang anti deforestasi karena dinilai akan merugikan ekspor produk sawit ke EU.

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (ASPEK-PIR), SAMADE (Sawitku, Masa Depanku), Santri Tani Nahdlatul Ulama menuntut dicabutnya EUDR.

"UU Deforestasi Eropa harus dicabut tidak ada revisi, petani sawit tidak Ingin tawar-menawar, harus dicabut," Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat ME Manurung dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (29/3).

Gulat menambahkan, sebenarnya Indonesia sudah memiliki sistem sawit berkelanjutan melalui sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) sejak 2011 dan dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) tahun 2019.

Selain itu, tambahnya, semua pelaku usaha tani baik korporasi maupun petani sawit diwajibkan memiliki ISPO melalui Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi ISPO.

Di ISPO sebelumnya hanya korporasi yang diwajibkan (mandatory), sementara petani sawit tadinya hanya sukarela (voluntary). Demikian juga dengan sertifikasi RSPO yang sudah cukup banyak diadopsi oleh korporasi.

Namun, diakui Gulat, petani yang berhasil lolos mendapatkan sertifikasi ISPO per tahun 2022, baru 24.388 hektare atau 0,35% dari luas total lahan sawit petani 6,87 juta hektare.

“Memang ini menjadi masalah besar karena batas wajib ISPO untuk petani dan korporasi sudah dipatok oleh pemerintah di tahun 2025. Namun demikian yang perlu dicatat adalah semangat pemerintah dalam mencapai dan menuju sawit Indonesia berkelanjutan,” ujar Gulat.

Apalagi mengingat sawit merupakan pemasukan negara tertinggi khususnya pada 5 tahun terakhir dan sawit merupakan simbol kejayaan ekspor negara Indonesia. Wajar pemerintah sangat serius dengan upaya sawit berkelanjutan ini.

Menurut dia, seharusnya Uni Eropa cukup dengan mempertegas wajib sertifikasi bagi minyak sawit yang memasuki negara-negara UE, dengan memilih salah satu sertifikasi baik ISPO atau RSPO.

Dia juga mempertanyakan fakta banyaknya produk minyak sawit yang sudah berhasil meraih sertifikat ISPO dan RSPO yang tidak terserap habis oleh pasar global. Bahkan hanya 60% dari produksi yang bersertifikasi ISPO atau RSPO yang terserap.

“Hal inilah yang menimbulkan tanda tanya bagi kami petani sawit. CPO yang bersertifikasi sustain saja tidak terserap, untuk apa malah menerbitkan peraturan baru EUDR?” tanya Gulat.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar