25 Agustus 2023
16:29 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyoroti beberapa poin yang terdapat di Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Bursa Karbon.
Menurutnya, beberapa poin di POJK Bursa Karbon ini mengundang tanda tanya dan membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
"Dasar dari modal disetor bursa karbon dan bursa efek (POJK 3/2021 Pasal 3) sama persis Rp100 miliar (POJK 14/2023 Pasal 13). Apa alasannya? Padahal, ekosistemnya berbeda antara bursa karbon dan bursa efek," terang Bhima kepada Validnews, Jumat (25/8).
Bhima menilai modal disetor Rp100 miliar, membuat penyelenggara bursa karbon jadi terlihat ekslusif. Sementara itu, beberapa aturan disinyalir seperti menjiplak ketentuan bursa efek.
Kemudian, ia juga mempertanyakan bentuk perdagangan karbon. Jika bentuk perdagangan karbon adalah efek, maka apakah akan ada delisting atau tidak. Padahal, dia menjelaskan, karbon tidak ada yang namanya hilang atau delisting.
Baca Juga: Analis: Perlu Sosialisasi Lebih Lanjut Soal Bursa Karbon
Selanjutnya, Pasal 27 di POJK 14/2023 terkait prinsip keterbukaan, akses yang sama, kesempatan yang sama dinilai kontradiksi dengan definisi karbon sebagai efek.
"Kalau bentuknya sudah jadi efek, yang akan masuk pemain bursa efek. Bagaimana dengan bursa komoditas?," tanyanya.
Tak sampai di situ, menurut Bhima, juga belum diperjelas siapa yang bisa terlibat dalam perdagangan karbon selain aturan soal kriteria penyelenggara.
"Apakah individu, koperasi, komunitas bisa terlibat dalam perdagangan karbon? Perlu dipastikan komunitas misalnya masyarakat adat yang menjaga hutan bisa masuk dalam ekosistem perdagangan karbon dan menerima manfaat dari hasil transaksi karbon," tegas dia.
Berikutnya mengenai Pasal 25 C poin 8 yang memuat penghentian perdagangan, kelangsungan perdagangan dalam kondisi darurat.
Di sini, Bhima meminta penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud darurat. Sebab, ia menurutkan bahwa karbon bukan kepemilikan perusahaan yang bisa pailit.
"Namanya karbon ya akan selalu ada, kecuali lokasi karbonnya terjadi kebakaran hutan yang mempengaruhi nilai karbon," ujar Bhima.
POJK No.14/2023
POJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon (POJK Bursa Karbon) merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.
"Sesuai UU P2SK, penyusunan POJK ini telah melalui proses konsultasi dengan Komisi XI DPR RI," kata Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK Aman Santosa dalam keterangan resmi, Rabu (23/8).
POJK ini merupakan bagian dari upaya OJK untuk mendukung Pemerintah dalam melaksanakan program pengendalian perubahan iklim melalui pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), sejalan dengan komitmen Paris Agreeement, serta mempersiapkan perangkat hukum domestik dalam pencapaian target emisi GRK tersebut.
Adapun, substansi pengaturan POJK Bursa Karbon, antara lain pertama, Unit Karbon yang diperdagangkan melalui Bursa Karbon adalah Efek serta wajib terlebih dahulu terdaftar di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) dan Penyelenggara Bursa Karbon.
Kedua, pihak yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai Bursa Karbon merupakan penyelenggara pasar yang telah memiliki izin usaha sebagai Penyelenggara Bursa Karbon dari OJK.
Ketiga, Penyelenggara Bursa Karbon dapat melakukan kegiatan lain serta mengembangkan produk berbasis Unit Karbon setelah memperoleh persetujuan OJK.
Keempat, Penyelenggaraan Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon wajib diselenggarakan secara teratur, wajar, dan efisien.
Kelima, Penyelenggara Bursa Karbon wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp100 miliar serta dilarang berasal dari pinjaman.
Baca Juga: Potensi Bursa Karbon dan Peran Penting Lembaga TIC
Keenam, Pemegang saham, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Bursa Karbon wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh OJK serta wajib melalui penilaian kemampuan dan kepatutan.
Ketujuh, OJK melakukan pengawasan terhadap Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon yang antara lain meliputi pengawasan Penyelenggara Bursa Karbon; Infrastruktur pasar pendukung Perdagangan Karbon; Pengguna Jasa Bursa Karbon.
Kemudian, Transaksi dan penyelesaian transaksi Unit Karbon; Tata kelola Perdagangan Karbon; Manajemen risiko; Perlindungan konsumen; Pihak, produk, dan/atau kegiatan yang berkaitan dengan Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.
Kedelapan, dalam melakukan kegiatan usahanya, Penyelenggara Bursa Karbon diizinkan menyusun peraturan. Peraturan Penyelenggara Bursa Karbon beserta perubahannya, mulai berlaku setelah mendapat persetujuan OJK.
Kesembilan, setiap perubahan anggaran dasar Penyelenggara Bursa Karbon wajib memperoleh persetujuan OJK sebelum diberitahukan atau diajukan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia untuk memperoleh persetujuan.
Kesepuluh atau yang terakhir, rencana kerja dan anggaran tahunan Penyelenggara Bursa Karbon wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan OJK sebelum berlaku.