26 Agustus 2023
08:00 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bentuk penyelenggara bursa karbon yang ideal perlu dipisah dengan bursa efek.
Hal itu, menurutnya, berdasarkan standar acuan bursa karbon di beberapa negara, di mana bentuk penyelenggara bursa karbon dipisah dengan bursa efek.
Salah satu contoh yaitu penyelenggara bursa karbon di Amerika Serikat (AS) ialah Intercontinental Exchange (ICE). Sedangkan untuk bursa efek, terdapat New York Stock Exchange (NYSE) dan Nasdaq.
"Iya harusnya (penyelenggara bursa karbon) masuk ke bursa sendiri dengan bentuk komoditas bukan efek," kata Bhima kepada Validnews, Jumat (24/8).
Baca Juga: Celios Soroti Beberapa Poin di POJK Bursa Karbon, Apa Saja?
Selain itu, lanjut dia, dalam Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework on Climate Change Conference/UNFCCC), perdagangan karbon juga didefinisikan sebagai komoditas.
Oleh karena itu, menurut Bhima, menjadi aneh kalau ada wacana khusus, di mana bursa efek bisa otomatis jadi penyelenggara bursa karbon.
Bursa Efek Indonesia (BEI) digadang menjadi salah satu kandidat kuat sebagai penyelenggara bursa karbon. BEI telah menyatakan siap untuk menjadi penyelenggara bursa karbon. Hal itu dikonfirmasi oleh Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik.
"BEI siap mengajukan diri sebagai penyelenggara bursa karbon," ujar Jeffrey kepada wartawan, Rabu (23/8) malam.
Selain BEI, perusahaan swasta Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) juga mengincar untuk menempati posisi sebagai penyelenggara bursa karbon.
Sayangnya, hingga berita ini ditayangkan, belum ada balasan dari Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon Otoritasa Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi mengenai berapa banyak perusahaan yang telah mengajukan dokumen pasca diterbitkan POJK No. 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon (POJK Bursa Karbon).
Sekadar informasi, OJK sebagai regulator dan pengawas bursa karbon, telah menerbitkan POJK Nomor 14/2023. Dalam beleid itu disebutkan salah satu syarat bahwa yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha bursa karbon merupakan penyelenggara pasar yang telah memiliki izin usaha sebagai Penyelenggara Bursa Karbon dari OJK.
Masih menurut beleid tersebut, Penyelenggara Bursa Karbon wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp100 miliar serta dilarang berasal dari pinjaman.
Pemegang saham, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Bursa Karbon wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan OJK serta wajib melalui penilaian kemampuan dan kepatutan.
Baca Juga: Analis: Perlu Sosialisasi Lebih Lanjut Soal Bursa Karbon
Banyak yang Tertarik
Sebelumnya, Inarno mempersilakan kepada berbagai pihak yang ingin menjadi penyelenggara bursa karbon. Syaratnya, mengajukan dokumen sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam POJK No. 14/2023 nantinya.
"Iya dong, silakan aja banyak yang tertarik untuk di situ (jadi penyelenggara bursa karbon), jadi kita persilahkan aja. Dengan adanya POJK, tentunya akan dilengkapi dengan SE (Surat Edaran) OJK untuk lebih detailnya, silakan saja yang berminat untuk mendaftar," tutur Inarno usai Konferensi Pers di Menara Radius Prawiro, Jakarta, Jumat (18/8).
Lebih lanjut, Inarno mengungkapkan, telah terdapat beberapa perusahaan yang mengajukan diri untuk menjadi penyelenggara bursa karbon di Indonesia.
Kendati demikian, belum ada pihak yang menyampaikan dokumen. Lantaran, mereka masih menunggu POJK No. 14/2023.
"Sudah beberapa, tapi yang memberikan dokumen belum ada. Nanti pada saatnya kita sudah siap aturannya, tentunya mereka akan menyampaikan. Jadi saya belum bisa bilang berapanya," ujar Inarno.