c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

23 Desember 2024

12:33 WIB

Celios: Penjelasan PPN 12% Hanya Bikin Harga Naik 0,9% Keliru

Penjelasan Ditjen Pajak Kemenkeu soal harga barang dan jasa konsumen pasca PPN 12% di awal tahun depan hanya sebesar 0,9% sangat menyesatkan, serta keliru secara statistik dan substansi ekonomi. 

Editor: Khairul Kahfi

<p>Celios: Penjelasan PPN 12% Hanya Bikin Harga Naik 0,9% Keliru</p>
<p>Celios: Penjelasan PPN 12% Hanya Bikin Harga Naik 0,9% Keliru</p>

Ilustrasi - Pedagang elektronik menata mesin pengendali pengeras suara dagangannya di salah satu pusat penjualan elektronik di Jakarta, Rabu (28/12/2022). Antara/Muhammad Adimaja

JAKARTA - Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar menyebutkan penjelasan Ditjen Pajak (DJP) Kemenkeu soal harga barang dan jasa pasca PPN 12% di awal tahun depan sangat menyesatkan, serta keliru secara statistik dan substansi ekonomi. 

Sebelumnya, DJP Kemenkeu menjelaskan, efek PPN 12% di 2025 tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa, dengan hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen. 

Wahyudi menekankan, DJP menghitung kenaikan PPN dengan harga jual, agar seolah-olah kenaikan harganya hanya 0,9%. 

"(Padahal) perhitungan itu sangat sesat karena estimasi ini tidak mempertimbangkan efek kumulatif, di mana ketika PPN naik, maka pembentuk harga barang jasa juga akan mengalami perubahan," jelasnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Minggu (22/12). 

Jika begitu, lanjutnya, setiap perubahan harga komponen yang ada dalam rantai pasok dan proses produksi harus diestimasi satu per satu. Dengan demikian, harga akhir produk atau jasa yang terkena PPN 12% pasti tidak akan sama dengan kebijakan sebelumnya, yakni PPN 11%.

Ekonom mensinyalir, penjelasan DJP tersebut mencoba menyamarkan dampak kenaikan PPN hanya berupa penambahan harga sebesar 1%. Upaya ini juga lebih tampak sebagai upaya menyembunyikan dampak negatif kenaikan PPN 12% dengan formula statistik yang mengelabui.

"Sebagai bentuk saran konstruktif, saya menyarankan agar pegawai DJP yang melakukan estimasi ini untuk membaca buku How to Lie with Statistics karya Darrell Huff, serta remedial buku Pengantar Ilmu Ekonomi karya Samuelson dan Nordhaus," jelasnya.

Adapun pernyataan pemerintah bahwa daya beli masyarakat saat ini sedang baik dengan menggunakan indikator konsumsi domestik secara tahunan sebagai pendukung PPN 12% sangat problematik. Pasalnya, jika merinci data lebih lanjut, hasil situasionalnya akan berbeda. 

Wahyudi mengakui, saat ini masyarakat kelas atas memang cukup baik, namun masyarakat kelas menengah-bawah sangat terpukul. 

Baca Juga: Menkeu: Penyesuaian PPN Dongkrak Kenaikan Tenaga Kerja Dan Pendapatan Negara

Misalnya, BI mendata, penjualan rumah mewah naik 48% pada 2024 sementara penjualan rumah sederhana anjlok. Sementara itu, catatan BRI di 2024 menunjukkan, omzet UMKM turun hingga 60%, disertai dengan pertumbuhan kredit UMKM hanya berkisar 5% (yoy).

Karena itu, pihaknya tidak heran, masifnya kritik publik terkait kenaikan PPN 12% menunjukkan adanya yang salah dalam proses perumusan kebijakan di tingkat pemerintah. 

Dia mengingatkan, kebijakan baik merupakan hasil terbaik dalam sebuah pemilihan di antara seabrek alternatif kebijakan lain, yang memerlukan analisis statistik yang robust dan bertanggung jawab.

"Hingga hari ini, tidak ada satupun studi dan analisis statistik yang kuat yang dirilis oleh Kementerian bahwa kebijakan ini lebih baik dibandingkan kebijakan lainnya," paparnya. 

Pemerintah, sambungnya hanya menyodorkan argumen, bahwa kebijakan PPN 12% merupakan amanat UU tanpa menjelaskan secara kukuh atau robust soal dampaknya terhadap masyarakat menengah-bawah.

Dia mengingatkan, pajak konsumsi atau PPN adalah komponen pajak paling regresif dibandingkan komponen pajak lainnya, seperti pajak penghasilan (PPh) dan pajak yang dikenakan atas keuntungan usaha (PPh Badan). 

Di sisi lain, pihaknya amat menyayangkan pemerintah yang tidak pernah menjelaskan, mengapa bukan skema pajak penghasilan yang dibuat lebih progresif atau dengan mendorong pajak kekayaan (wealth tax), dalam konteks meningkatkan penerimaan negara yang lebih bijaksana.

"Dengan kata lain, penolakan masyarakat atas kenaikan pajak PPN ini (12%) sebenarnya bukan karena tidak mau membayar pajak, melainkan karena struktur dan skema perpajakan kita yang tidak adil," tegasnya.

Kinerja PPN Indonesia Gurem
Belum usai, Wahyudi menyampaikan, data ADB memperlihatkan, produktivitas PPN Indonesia (VAT Productivity) Indonesia hanya di angka sekitar 0,3 poin. Dia pun menilai, kinerja PPN Indonesia dengan skor demikian masih cenderung amat rendah. 

"Artinya, PPN Indonesia yang saat ini 11% pun belum optimal penerimaannya, terutama karena kebocoran pajak, lemahnya administrasi perpajakan dan banyaknya insentif PPN yang tidak tepat sasaran," paparnya. 

Dia pun mengatakan, jika ingin mereformasi pajak, pemerintah sebetulnya bisa mengoptimalkan kebijakan PPN 11% terlebih dulu ketimbang menaikkan tarif PPN. Studi CELIOS menunjukkan, jumlah potensi penerimaan dari kenaikan PPN baru ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi kehilangan output ekonomi.

Baca Juga: Menaker Jamin Penerapan PPN 12% Tak Abaikan Perlindungan Pekerja

Ekonom juga menyorot, pernyataan Presiden Prabowo Subianto bersama perwakilan pemerintah dan beberapa anggota DPR bahwa kebijakan PPN 12% merupakan bentuk menaati undang-undang dan harus dijalankan, sangat tidak tepat dan membohongi publik. 

Pasalnya, Pasal 7 ayat 3 Bab IV pada UU 7/2021 tentang HPP memungkinkan pemerintah dan DPR menyepakati tarif PPN sebesar 5-15%. Dengan kata lain, pemerintah dan DPR bisa membatalkan kenaikan tarif PPN saat ini dan diperbolehkan oleh ketentuan undang-undang.

"Pemerintah sejatinya masih punya banyak sekali cara lain meningkatkan potensi pajak dengan pendekatan yang lebih progresif," sebutnya. 

Seperti, dia uraikan, penerapan pajak windfall profit yang berasal dari keuntungan anomali perusahaan ekstraktif; PPh Badan yang lebih progresif; pajak kekayaan sebesar Rp81,6 triliun/tahun; pajak karbon sebesar Rp69 triliun/tahun; hingga pajak produksi batu bara sebesar Rp47 triliun/tahun. 

Pada saat bersamaan, pemerintah dapat menutup kebocoran pajak pada sektor digital, maupun kebocoran dari pajak sawit yang diklaim mencapai Rp300 triliun, peninjauan ulang Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mangkrak termasuk reevaluasi proyek IKN. 

"Penerapan pajak dan langkah tersebut jauh lebih adil dan tidak secara langsung membebani masyarakat kecil," ucapnya.

Baca Juga: PDIP Minta Pemerintah Kaji Kenaikan PPN 12%

Secara teknis, dia juga menekankan, simpang siur info mengenai skema PPN 12% sebelum ditetapkan secara resmi dalam Konferensi Pers Paket Kebijakan Ekonomi pada 16 Desember, menunjukkan ketidakprofesionalan pemerintah dalam mengelola kebijakan publik.

Tarik ulur kebijakan kenaikan PPN 12% terus berubah-ubah. Di mana pada 5 Desember 2024 disebut hanya untuk barang mewah saja, kemudian pada 16 Desember 2024 berubah dan diterapkan untuk hampir semua komoditas, tidak hanya barang mewah.

"Kesembronoan ini tidak hanya membuat ketidakpastian ekonomi di kalangan pelaku usaha, tetapi juga multiplier effect pada lonjakan harga bahkan sebelum 1 Januari 2025," jelasnya.

Dia menyarankan, pemerintah masih punya waktu sekitar satu minggu lagi untuk membatalkan kenaikan PPN 12% di awal tahun depan. Keputusan ada di tangan pemerintah dan DPR.

"Itu (pembatalan PPN 12%) hanya terjadi, jika pemerintah dan DPR sama-sama berpikir teknokratik non-politik elektoral jangka pendek dan mempertimbangkan keberlangsungan dunia usaha dan masyarakat kecil," ujarnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar