c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

01 Maret 2025

15:20 WIB

CELIOS: Indonesia Perlu Melirik Timur Tengah Untuk Transisi Energi

Terlepas dari Trump dan Amerika Serikat, Indonesia perlu melirik potensi besar yang dimiliki negara kawasan MENA untuk investasi transisi energi.

Penulis: Siti Nur Arifa

<p id="isPasted">CELIOS: Indonesia Perlu Melirik Timur Tengah Untuk Transisi Energi</p>
<p id="isPasted">CELIOS: Indonesia Perlu Melirik Timur Tengah Untuk Transisi Energi</p>

Foto udara panel surya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Kamis (9/11/2023). Antara Foto/Raisan Al Farisi

JAKARTA - Mundurnya Donald Trump dan Amerika Serikat dari Perjanjian Paris serta berbagai agenda dan misi global dalam mencapai transisi energi bersih, dinilai CELIOS tidak dapat menjadi alasan bagi Indonesia untuk melakukan langkah serupa.

Justru, momentum ini dinilai sebagai waktu yang tepat untuk mulai menjajaki peluang kerja sama dengan negara lain yang memiliki potensi menjadi mitra investasi dengan nilai tak kalah besar, terutama negara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA).

"Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada pendanaan dari AS atau investasi dari Tiongkok. Negara ini harus secara aktif mencari mitra alternatif, termasuk negara-negara MENA, untuk membiayai transisi energinya," ujar Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, dalam keterang tertulis dikutip Sabtu (1/3).

Sedikit mengingatkan, mundurnya Trump dari Perjanjian Paris diketahui memberikan dampak bagi Indonesia dalam memperoleh pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), di mana dari Rp1.300 triliun (US$19 miliar) yang dijanjikan, hanya Rp7,7 triliun (US$500 juta) yang telah terealisasi.

Padahal jika ingin melirik kesempatan bermitra dengan negara lain, potensi investasi yang ditawarkan juga cukup menjanjikan.

Dalam studi terbaru CELIOS bertajuk "Melihat ke Arah MENA (Timur Tengah dan Afrika Utara): Mitra Investasi Alternatif untuk Transisi Energi Indonesia" dijelaskan peran kawasan itu dalam pendanaan energi global terus berkembang, terutama melalui dana kekayaan negara (sovereign wealth funds), yang memberikan peluang investasi signifikan bagi Indonesia.

Adapun beberapa dana terbesar, seperti Public Investment Fund (PIF) Arab Saudi dan Abu Dhabi Investment Authority (ADIA), semakin mengalihkan fokus mereka ke teknologi, real estate, dan energi bersih.

"Negara-negara Timur Tengah secara aktif mengubah struktur ekonomi mereka untuk mengurangi ketergantungan pada minyak, menjadikannya mitra yang ideal bagi transisi energi Indonesia," ujar Direktur Indonesia-MENA Desk CELIOS Muhammad Zulfikar Rakhmat.

Baca Juga: Danantara Dan Peluang Percepatan Transisi Energi Indonesia

Menakar Peluang Kerja Sama Indonesia-MENA
Sebagai gambaran, Inisiatif Vision 2030 Arab Saudi dan Masdar dari UEA menegaskan kepemimpinan MENA dalam energi terbarukan, menempatkan kawasan ini sebagai pemain utama dalam transisi energi global.

Per tahun 2023, total kapasitas listrik terpasang di Indonesia mencapai sekitar 91 GW, dengan PLN menyumbang 79,3%, penyedia listrik swasta 5,1%, dan Independent Power Producers (IUPTLS) 15,6%.

Meskipun Indonesia menargetkan Net Zero Emissions pada 2060, pencapaian ini membutuhkan pengurangan ketergantungan pada gas alam yang masih memiliki tantangan lingkungan.

Di saat bersamaan, MENA menawarkan peluang investasi strategis bagi Indonesia dengan beberapa faktor utama. Kawasan ini telah melakukan diversifikasi investasi secara signifikan, dengan negara-negara Teluk mengalokasikan US$175 miliar untuk energi pada 2024, di mana 15% dialokasikan untuk energi terbarukan.

Hubungan bilateral yang kuat antara Indonesia dan MENA, yang diperkuat melalui forum seperti G20 dan BRICS, juga menjadi dasar kokoh bagi kerja sama lebih lanjut.

Selain itu, investasi di sektor energi terbarukan Indonesia berpotensi menciptakan output ekonomi senilai Rp4.376 triliun dan membuka 19,4 juta lapangan kerja dalam dekade mendatang, sekaligus mengurangi emisi karbon serta biaya kesehatan.

"Bermitra dengan negara-negara MENA akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada satu sumber pendanaan dan memastikan ketahanan energi jangka panjang," tambah peneliti CELIOS Yeta Purnama.

Baca Juga: CELIOS Pede RI Tetap Bisa Transisi Energi Tanpa AS

Menghindari Ketergantungan
Sebelum MENA, sejatinya ada Tiongkok yang juga memiliki hubungan bilateral cukup besar dalam hal transisi energi bersih dengan Indonesia. Namun dalam praktiknya, investasi mereka di Indonesia kerap bertentangan dengan tujuan keberlanjutan.

Sebagai contoh, lebih dari 77% pembangkit listrik tenaga batu bara yang memasok industri nikel Indonesia—dengan total kapasitas 15,25 GW—dibiayai oleh Tiongkok.

Selain itu, potensi ketegangan perdagangan AS-Tiongkok yang meningkat di bawah kepemimpinan Trump juga dikhawatirkan dapat mengancam stabilitas ekonomi global.

Seiring dengan rencana bisnis Tiongkok untuk merelokasi manufaktur energi terbarukan ke Indonesia, negara ini memiliki peluang untuk memperkuat perannya dalam rantai pasok energi global sekaligus mendiversifikasi sumber investasi.

"Indonesia harus secara strategis menyeimbangkan kemitraan dengan Tiongkok dan MENA, untuk memastikan pertumbuhan berkelanjutan dan menghindari ketergantungan berlebih pada satu investor," tambah Zulfikar.

Sebagai catatan, saat ini energi terbarukan hanya menyumbang 9,58% dari total konsumsi energi Indonesia per 2023. Sedangkan untuk mencapai Net Zero pada 2060, Indonesia membutuhkan investasi hingga US$1 triliun, dengan fokus pada ekspansi infrastruktur jaringan listrik, penyimpanan baterai, serta manufaktur komponen energi bersih.

Pendanaan yang terdiversifikasi, terutama dari MENA, diyakini CELIOS akan menjadi kunci dalam mempercepat transisi energi Indonesia serta memastikan ketahanan energi jangka panjang.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar