JAKARTA - Ditjen Pajak (DJP) akan fokus melakukan pengawasan kepatuhan dan penegakan hukum terhadap wajib pajak, guna mengoptimalisasi penerimaan pajak sepanjang 2025.
Laporan APBN 2025 mencatat, penerimaan pajak Januari-Februari 2025 senilai Rp187,8 triliun. Angka itu lebih rendah dari periode yang sama pada 2024 senilai Rp269,02 triliun. Ini menunjukkan setoran pajak pada 2024 anjlok 30,19% (yoy).
"Kami juga melakukan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi dalam rangka untuk mencari potensi baru, supaya betul-betul dapat kita kumpulkan penerimaan pajak 2025 ini," ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo dalam APBN Kita, Jakarta, Kamis (13/3).
Baca Juga: Per Februari 2025, Defisit APBN Capai Rp31,2 TriliunLebih lanjut, Suryo menjelaskan, ada beberapa langkah prioritas yang akan dilakukan guna menjaga penerimaan pajak ke depan. Di antaranya, melaksanakan pengawasan kepatuhan wajib pajak dan menegakkan hukum pajak.
Otoritas Pajak akan membidik beberapa sektor untuk diawasi. Itu meliputi kegiatan Wajib Pajak (WP) Grup, transaksi afiliasi, kegiatan ekonomi digital, hingga kerja sama bilateral.
"Jadi prioritas kami pengawasan kepatuhan dan penegakan hukum untuk beberapa sektor atau kegiatan WP Grup maupun transaksi afiliasi dan ekonomi digital, serta kerja sama perpajakan internasional," kata Suryo.
Dirjen Pajak meyakini, sederet upaya tersebut dapat mengoptimalisasi penerimaan pajak tahun ini. Adapun target setoran pajak tahun fiskal 2025 dipatok sebesar Rp2.189,3 triliun.
Sebagai tambahan informasi, pengawasan dan penegakan hukum pajak merupakan dua hal yang berbeda. Keduanya mempunyai tujuan dan aspek yang berbeda pula.
Pengawasan terhadap wajib pajak dilakukan dengan cara ekstensifikasi, pengawasan, pemeriksaan dan penilaian. Upaya ini bertujuan untuk memastikan wajib pajak mematuhi peraturan perundang-undangan perpajakan.
Baca Juga: Sri Mulyani Buka Suara Alasan APBN Awal 2025 Telat DirilisSementara itu, penegakan hukum meliputi aksi pemeriksaan bukti permulaan dan melakukan penyidikan, kemudian penagihan termasuk utang pajak, serta menjalankan intelijen perpajakan. Ini bertujuan untuk membangun kepercayaan wajib pajak diperlakukan secara adil berdasarkan undang-undang.
Bantah Pajak Melambat Gegara CoretaxDalam kesempatan sama, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu membantah sistem Coretax menjadi pemicu melambatnya penerimaan pajak hingga Februari 2025. Ketimbang itu, dia menyatakan, perlambatan penerimaan pajak awal tahun merupakan suatu hal yang normal.
“Tidak ada hal yang anomali (penurunan pertumbuhan pajak Januari-Februari 2025), sifatnya normal saja,” kata Anggito, melansir
Antara.
Secara historis, penerimaan pajak Januari dan Februari setiap tahun cenderung menurun dibandingkan Desember tahun sebelumnya.
Singkatnya, penerimaan pajak akan meningkat pada Desember imbas Natal dan Tahun Baru. Kemudian, menurun usai pergantian tahun seiring dengan kembali normalnya transaksi penerimaan.
Adapun untuk pajak Januari-Februari 2025, Anggito menyebut ada dua faktor yang memicu perlambatan penerimaan, yaitu penurunan harga komoditas dan dampak kebijakan administratif.
Baca Juga: Sampai 24 Februari, DJP Catat 5,03 Juta Wajib Pajak Sudah Lapor SPTPada Januari-Februari, sejumlah komoditas utama mengalami penurunan harga, di antaranya batu bara (-11,8%), minyak mentag brent (-5,2%), dan nikel (-5,9%).
Sedangkan dari segi kebijakan administratif, penerapan Tarif Efektif Rata-rata (TER) menjadi salah satu yang mempengaruhi kinerja pajak.
Anggito menjelaskan, penerapan TER Pajak Penghasilan (PPh) 21 sejak Januari 2024 menimbulkan lebih bayar sebesar Rp16,5 triliun pada 2024. Lebih bayar itu kemudian diklaim kembali pada Januari dan Februari 2025.
Selain TER, relaksasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri (DN) menjadi faktor berikutnya. Pada 2025, pemerintah memberikan kebijakan relaksasi pembayaran PPN DN selama 10 hari, sehingga pembayaran bisa dilakukan hingga 10 Maret 2025.
Bila dampak relaksasi juga dihitung, maka rata-rata penerimaan PPN DN periode Desember 2024-Februari 2025 mencapai Rp69,5 triliun atau lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp64,2 triliun, atau tumbuh sekitar 8,3%.
“Itu menjelaskan kenapa pola Februari 2025 agak berbeda dengan pola tahun sebelumnya. Tapi, setelah dinormalisasi dan dampaknya diketahui sampai dengan 10 Maret, maka polanya sama seperti yang normal,” ujar Anggito.