13 Maret 2025
13:09 WIB
Sri Mulyani Buka Suara Alasan APBN Awal 2025 Telat Dirilis
Penilaian data pelaksanaan fiskal di awal tahun yang masih sangat belum stabil, jadi salah satu alasan Kemenkeu menunda pelaporan APBN Januari 2025 ke publik.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Khairul Kahfi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati buka suara terkait alasan APBN Kita terlambat dirilis di awal tahun 2025, Jakarta, Kamis (13/3).ValidnewsID/Siti Nur Arifa
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya buka suara terkait alasan APBN Kita terlambat dirilis di awal tahun 2025. Hal ini pun sempat menimbulkan polemik.
Lantaran, laporan APBN Kita menggambarkan kinerja anggaran penerimaan dan belanja negara, sekaligus pembiayaan yang disampaikan ke publik secara rutin tiap bulannya.
Menurut Bendahara Negara, keterlambatan Kemenkeu merilis APBN Kita edisi Januari 2025 di bulan Februari 2025 karena beberapa hal. Salah satunya, penilaian data pelaksanaan APBN di 2025 yang masih sangat belum stabil karena berbagai faktor.
"Ini semuanya kemudian kita pertimbangkan untuk kita menunggu sampai data cukup stabil, sehingga kami bisa memberikan suatu pelaporan mengenai pelaksanaan APBN Kita 2025 dengan dasar yang jauh lebih bisa stabil dan diperbandingkan... Sehingga kemungkinan tidak terjadinya salah interprestasi," katanya dalam konferensi pers APBN Kita di Jakarta, Kamis (13/3).
Baca Juga: Per Februari 2025, Defisit APBN Capai Rp31,2 Triliun
Sri Mulyani menyebutkan APBN Kita edisi Februari 2025 merupakan tahun pertama untuk pemerintahan era Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Dia menjelaskan, pelaksanaan APBN merupakan sebuah pelaksanaan instrumen keuangan negara yang begitu penting untuk mencapai tujuan-tujuan prioritas yang telah dan akan terus ditetapkan oleh Presiden Prabowo.
"Tentu sebagai Presiden terpilih, beliau (Prabowo) akan melaksanakan banyak program-program dan kita terus melakukan dan meyakinkan agar APBN bisa menjadi instrumen yang diandalkan dan tetap bisa terjaga dalam jangka panjang," sebutnya.
Oleh karena itu, menurutnya, Kemenkeu menetapkan tema mengenai agility atau kelicahan pada APBN untuk fleksibel, sembari menjaga kehati-hatian dan sustainabilitas fiskal nasional.
"Itulah yang menjadi dasar bagi kami di Kementerian Keuangan untuk terus menjaga APBN sebagai instrumen penting negara dan pemerintah, dalam menjalankan proses pembangunan dan juga di dalam menjaga negara dan menjaga perekonomian serta rakyat untuk mencapai cita-cita kita menuju Indonesia yang maju, adil, sejahtera," tutur Sri.
Kritisi Keterlambatan APBN
Secara terpisah, Center of Economic and Law Studies (Celios) turut menyoroti soal APBN Kita yang telat dirilis. Setelah satu bulan menunda, pemerintah baru merilis APBN Kita edisi Februari 2025 hari ini. Ada berbagai catatan terkait data yang tersaji dalam laporan tersebut. Salah satunya mengenai kinerja penerimaan pajak.
Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda mengatakan, penerimaan pajak turun hingga 41,8% (year-on-year/yoy) di tengah implementasi sistem digitalisasi perpajakan terbaru Coretax.
"Pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak di bulan Januari 2025 sebesar Rp64 triliun," kata Huda dalam keterangan resmi, Kamis (13/3).
Menurutnya, ada dua faktor penerimaan pajak turun begitu drastis. Pertama, terdapat pengembalian dana restitusi atau kelebihan bayar PPN tahun 2024. Kedua terkait kendala sistem Coretax yang membuat wajib pajak kesulitan melaporkan transaksi pajak. Akibatnya, transaksi menjadi terhambat.
"Rasio Pajak terhadap PDB tahun 2025 bisa lebih rendah dibandingkan tahun 2024, implikasinya defisit APBN rentan di atas 3% dan bisa berpotensi impeachment," ujarnya.
Selain itu, belanja pemerintah pusat melambat sebesar 10,76%. Sementara secara spesifik belanja K/L turun tajam 45,5% (yoy).
Huda menilai, kesalahan terbesar pengelolaan anggaran pemerintah dimulai dari program pemerintah yang ambisius dan tidak disertai dengan naiknya sumber perpajakan. Akhirnya membuat pemerintah melakukan efisiensi secara masif.
"Belanja dipotong hingga Rp306 triliun, dividen BUMN dialihkan langsung kepada Danantara, hingga penundaan pengangkatan CPNS merupakan korban dari program ambisius pemerintah. Program tersebut membutuhkan dana dengan jumlah jumbo, namun penerimaan negara sedang cekak," Huda menambahkan.
Baca Juga: Meski Ada Efisiensi Anggaran, APBN 2025 Diprediksi Defisit 2,5%
Direktur Kebijakan Publik Celios Media Askar menyampaikan, belanja pemerintah merupakan salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi.
Melambatnya belanja pemerintah hampir separuh dari tahun sebelumnya bisa mengurangi perputaran uang di masyarakat, memperlambat konsumsi, dan memangkas pertumbuhan ekonomi.
"Anjloknya belanja pemerintah juga berpotensi menyebabkan terhentinya proyek infrastruktur di daerah yang juga menyebabkan gelombang PHK dan pengangguran di sektor konstruksi dan industri pendukungnya," ungkap Media,
Dia mengingatkan, kondisi efisiensi anggaran yang terjadi di Indonesia bertolak belakang dengan yang terjadi di Argentina. Sebagai konteks, Presiden Argentina Javier Milei juga melakukan pemangkasan anggaran secara signifikan.
Namun demikian, penerimaan pajak Argentina sukses dinaikkan hingga 11% pada Februari 2025 dan mengalami surplus fiskal. Vietnam juga melakukan hal yang sama, efisiensi bertujuan memangkas birokrasi sehingga menarik bagi investasi.
"Sementara di Indonesia, justru berujung pada dua masalah sekaligus, yakni anggaran dipangkas dan membebani masyarakat bawah dan penerimaan negara anjlok drastis," urai Media.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira, menambahkan, krisis pada penerimaan pajak menimbulkan risiko penambahan utang yang tak terkendali.
Dia menoncotohkan, jika utang Indonesia naik 43,5% (yoy) pada Januari 2025, maka diperkirakan utang pemerintah di akhir tahun bisa tembus Rp10.000 triliun.
“Beban bunga utangnya pasti naik tajam tahun depan, membuat overhang utang, memicu crowding out effect di sektor keuangan dan efisiensi belanja ekstrem lebih brutal lagi tahun depan. Rating surat utang pemerintah juga diperkirakan mengalami evaluasi," tegas Bhima.
Oleh karena itu, Celios mendesak Sri Mulyani, Wakil Menteri, dan Dirjen Pajak untuk mundur. Lantaran, dinilai gagal menjalankan mandat disiplin fiskal tanpa rencana jelas, dan tidak berani melakukan terobosan pajak, justru merusak sistem perpajakan yang ada melalui buruknya implementasi Coretax.