c

Selamat

Rabu, 19 November 2025

EKONOMI

01 Juli 2023

17:45 WIB

Bonus Demografi Gagal, Indonesia Emas Berpotensi Terjegal

Indonesia terancam gagal memanfaatkan bonus demografi. Setelah lewat masa ini, penduduk yang menua dan tak produktif akan makin membesar dan menjadi ancaman buat pertumbuhan ekonomi.

Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

Bonus Demografi Gagal, Indonesia Emas Berpotensi Terjegal
Bonus Demografi Gagal, Indonesia Emas Berpotensi Terjegal
Calon penumpang yang sebagian besar pekerja di kawasan Perkantoran Sudirman menunggu kedatangan Bus Transjakarta di Halte Karet Sudirman, Jakarta, Rabu (16/11/2022). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA - Pemerintah memproyeksi jumlah penduduk pada 2045 akan mencapai 324 juta jiwa, atau bertambah sekitar 54,42 juta orang dari tahun 2020. Namun, sekalipun bertambah, sesungguhnya tren penambahan penduduk Indonesia terus melambat setiap tahun dengan rerata pertumbuhan sebesar 0,67% per tahun. 

Hitungan pemerintah, dengan laju penambahan penduduk seperti saat ini, porsi penduduk lansia akan membesar, sedangkan usia muda menyusut.

“Proporsi penduduk usia 0-14 tahun turun dari 24,56% pada 2020 menjadi 19,61% pada 2045. Sementara penduduk usia 65 tahun ke atas naik dari 6,16% menjadi 14,61% pada tahun 2045,” sebut Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa di Jakarta, Selasa (16/5).

Dengan proyeksi ini, bisa dibilang masyarakat generasi milenial dan gen-z bergerak menjadi golongan masyarakat lansia dan pra-lansia. Namun tak perlu menunggu lebih lama, pemerintah pun telah mengidentifikasi, Indonesia sudah cenderung masuk ke proporsi penduduk tua sejak 2023 ini. 

Penurunan jumlah penduduk produktif disinyalir bakal menurunkan kegiatan masyarakat yang bernilai ekonomis. Maklum, semakin sepuh, semakin terbatas pula aktivitas yang bisa dilakukan seseorang. Padahal, dari waktu ke waktu, pemerintah Indonesia sendiri tak bisa menyangkal, setengah dari pertumbuhan ekonomi dikontribusi oleh konsumsi masyarakat.

Per kuartal I/2023, konsumsi rumah tangga masih jadi sumber pertumbuhan utama sisi pengeluaran sebesar 2,44% (yoy), terhadap pertumbuhan ekonomi total yang mencapai 5,03% (yoy). Mengungguli capaian net ekspor yang tumbuh menyentuh 2,1% (yoy), investasi/PMTB 0,68% (yoy), hingga konsumsi pemerintah 0,22% (yoy).

Plt Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan PPN/Bappenas Maliki menerangkan, secara umum proporsi lansia yang meningkat, berpotensi menjadi beban fiskal Indonesia apabila lansia tersebut tidak produktif dan tidak mendapatkan perlindungan. Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 21 juta lansia dan akan semakin meningkat. 

Secara teori, seseorang yang berusia di atas 60 tahun masih memiliki produktivitas, semangat bekerja, dan berbagi yang tinggi. Namun dari sisi ekonomi, belum terlihat lansia dapat membuka peluang ekonomi yang tinggi. Terlebih masih tak banyak lapangan pekerjaan yang mau mempekerjakan lansia. 

“Kondisi kesehatan dari lansia juga menjadi pertimbangan, apabila lansia tersebut tidak sehat maka mustahil berkontribusi terhadap perekonomian,” ujar Maliki kepada Validnews, Jakarta, Selasa (27/6).

Kendati begitu, pemerintah tetap meyakini, penurunan populasi masyarakat produktif tak akan melambatkan pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, saat inilah kesempatan Indonesia untuk meloncat mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, sebelum akhirnya mayoritas negara diisi oleh penduduk usia muda dan lansia. 

Untuk mengantisipasi masa itu datang, pemerintah pun mengaku terus berupaya untuk meningkatkan produktivitas, kesempatan kerja, hingga mendorong inklusi finansial kepada para generasi muda sekarang. Harapannya, anak muda yang nantinya menua, dapat terus mengoptimalkan tabungan menjadi investasi yang produktif sebagai bekal saat lansia nanti. 

Oh, iya. Pemerintah pun yakin, pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang akan dikontribusi oleh beberapa faktor lain seperti tingkat investasi dan ekspor impor. “Oleh karena itu, pemerintah optimistis, ke depannya pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap tinggi,” sebutnya.

Terjebak Pendapatan Menengah
Sayangnya, tantangan pertumbuhan ekonomi tak akan mulus dihadapi pemerintah. Ini karena kondisi bonus demografi Indonesia yang dinilai pelik oleh Direktur IDEAS Yusuf Wibisono. Padahal, semestinya bonus demografi dapat mengakselerasi perekonomian, untuk keluar dari jeratan middle income trap.

Hal ini sejatinya tak terlepas dari pasang-surut kondisi ekonomi Indonesia selama 1993-2021 yang telah membuat Indonesia menyandang status lower-middle income country terlampau lama. Dengan demikian, Indonesia harus mengalami middle income trap karena menyandang status tersebut lebih dari 28 tahun.

Sebagai pembanding, Korea Selatan masuk ke lower-middle income countries pada 1978, kemudian naik ke upper-middle income countries pada 1987, dan menjadi high income countries pada 1995. Artinya, Korea Selatan hanya butuh 18 tahun untuk lepas dari status middle-income country dan menjadi high income country

“Kita sudah hampir tiga dekade masih terus di middle-income country,” ucap Yusuf kepada Validnews, Jumat (30/6).  

Dia menekankan, perbedaan negara yang terjebak di pendapatan menengah dengan yang sukses bertranformasi jadi negara maju, terletak pada kemampuannya memanfaatkan bonus demografi. Hal ini pun dibuktikan Korea Selatan yang ekonominya mampu tumbuh hingga 7% per tahun, bahkan China yang bisa tembus bertumbuh double digit.

Sementara Indonesia, sudah lebih dari sepuluh tahun sejak 2012 telah menikmati bonus demografi, namun pertumbuhan ekonominya stagnan di kisaran 5%-an. Dengan berakhirnya puncak bonus demografi di 2030, Indonesia akan mulai memasuki fase maturity, dan pasca 2045 memasuki fase ageing society

Soal bonus demografi, Presiden Joko Widodo mewanti puncak bonus demografi yang akan terjadi pada 2030 harus jadi potensi dalam mendukung kemajuan bangsa. Pemerintah tak ingin bonus demografi malah menjadi beban dan musibah menuju Indonesia Emas 2045.

Yusuf pun menekankan, Indonesia hanya punya sisa waktu tujuh tahun sebelum puncak bonus demografi berakhir untuk meraih posisi sebagai high income country. Lalu, hanya tersisa 23 tahun lagi sebelum Nusantara memasuki fase penduduk yang semakin menua alias ageing society.  

“Tanpa perubahan besar, kita terancam menua sebelum jadi (negara) sejahtera,” ungkapnya.

Lebih jauh, gejala struktural middle income trap yang Indonesia alami dikonfirmasi lewat daya saing perekonomian yang kian tergerus, industri nasional yang lemah dan tidak mandiri. Termasuk dominasi asing dalam penguasaan aset strategis bangsa, hingga lemahnya penguasaan sains dan teknologi.

Hal ini bermuara pada lemahnya kapabilitas inovasi industri nasional, yang berujung pada rendahnya produktivitas nasional. Menurutnya, deindustrialisasi merupakan indikator paling jelas menunjukkan kelemahan industri nasional yang hingga kini masih mengandalkan industri padat karya sebagai komoditas ekspor utama, di samping komoditas seperti batu bara dan sawit.

Adapun, upaya reindustrialisasi yang kini pemerintah dorong melalui hilirisasi tambang, terlihat semu mendorong inovasi. Karena sangat mengandalkan modal dan teknologi asing tanpa terlihat upaya berarti untuk mendorong transfer teknologi dan kemampuan domestik. 

Bergantung secara berlebihan pada kekuatan pasar, seringkali hanya memanfaatkan sumber daya alam murah dan pasar domestik yang besar melalui proteksi, di tengah sistem politik berbiaya mahal, Yusuf sebut, telah membuat perubahan struktural Indonesia berjalan lambat dan tidak menghasilkan keunggulan komparatif. 

“Struktur industri kita terus dangkal,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menjelaskan, bonus demografi akan bermanfaat apabila usia produktif memiliki output paling tinggi pada masanya yang diterjemahkan pada penghasilan yang diperoleh. 

Agar tak terjerat jebakan negara pendapatan menengah, kalangan ini mesti dibekali dengan skill, pendidikan, pelatihan atau apapun sehingga bisa menjadi tenaga kerja yang cukup produktif.

“Mau tidak mau mereka harus punya bekal, jangan sampai keluar, pendidikan rendah, dan tidak berkembang,” ungkap Tauhid kepada Validnews, Senin (26/6).

Selanjutnya, produktivitas dapat terakomodasi oleh lapangan kerja yang sesuai dengan permintaan pasar tenaga kerja. Jika melirik negara lain, upaya ini ditempuh melalui sektor industri yang harus bisa cepat berkembang, dibangun, dan membuka banyak lapangan pekerjaan.

Namun jika model ideal lapangan kerja ini bergeser ke sektor tersier, yang serapan pekerjanya rendah, akan membuat tenaga kerja tak bisa bekerja maksimal hingga menjadi pengangguran. 

“Jadi pengangguran, akhirnya kita masuk middle income trap,” paparnya.

Tak kalah penting, Indonesia juga patut memperbaiki dari sisi capital productivity dan total factor productivity atau teknologi. Perubahan drastis keduanya dapat menjadi pendorong faktor ekonomi nasional. 

“Nah syaratnya (ada) banyak hal yang dilakukan agar pertumbuhan ekonomi kita harus di atas 6%, kalau di bawah itu berat,” terangnya.

Faktor Konsumsi
Meski begitu, Tauhid meyakini Indonesia masih beruntung. Dia pun memperkirakan, sektor konsumsi Indonesia masih akan tetap tinggi dan mampu memberikan kontribusi di atas 50% kepada perekonomian hingga 2045. 

Pasalnya, meski kelompok usia tua makin banyak, kelompok usia muda Indonesia juga relatif tumbuh dengan tinggi karena keberadaan pertumbuhan ekonomi. 

Meski, dirinya juga tak menyangkal, sektor konsumsi akan mengalami penurunan. Hal ini berkaca pada sejarah negara maju yang dominasi masyarakat usia tuanya menurunkan laju konsumsi.

Hanya saja, ini bukan faktor tunggal. Tauhid menggarisbawahi, negara maju juga mengalami tingkat kesuburan (fertility rate) yang semakin rendah. Alasan kedua ini membuat tingkat konsumsi sebuah negara akan turun cukup drastis. 

“Seperti Jepang yang berat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, karena fertility rate-nya cuma nol koma sekian, kita masih relatif tinggi di atas satu,” paparnya. 

Sekali lagi, kelompok usia tua yang disinyalir akan semakin banyak, dapat dikompensasi angka kelahiran yang juga tinggi. “Itu yang menyebabkan konsumsi (Indonesia) masih jadi (komponen) tertinggi (perekonomian),” ungkapnya.

Swnada, Maliki pun memproyeksi, tingkat konsumsi di Indonesia menjadi lebih baik ke depan. Hal ini ditopang oleh peningkatan kesejahteraan masyarakat dan naiknya Indonesia menjadi negara berpenghasilan tinggi. 

Selain itu, masih tingginya penduduk usia kerja juga diperkirakan akan membantu menjaga tingkat konsumsi pada masa yang akan datang. Perubahan struktur penduduk menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara dengan penduduk yang memiliki daya beli cukup tinggi dan dapat membeli produk-produk berkualitas di dunia. 

Jumlah penduduk Indonesia dengan kebutuhan konsumsi yang tinggi terhadap produk-produk berkualitas, diperkirakan sebanyak 70 juta. Tersebar baik di perkotaan maupun perdesaan.

“Namun demikian, tentunya dengan produktivitas lebih baik, pertumbuhan ekonomi tidak saja tergantung pada konsumsi, tetapi juga pada sisi produksi yang bisa diperkuat,” kata Maliki.

Penuaan Penduduk
Demi menjaga agar pertumbuhan perekonomian tetap laju, Tauhid juga menyampaikan, pemerintah harus mulai memperkuat jaminan sosial untuk mengakomodasi kebutuhan penduduk Indonesia yang menua seiring waktu berjalan. Hal ini dilakukan untuk menyambut kenaikan masyarakat non produktif yang biasanya ‘berbiaya besar’ untuk kesehatan.

“Jadi jaminan sosial untuk kesehatan harus cukup banyak sehingga tidak membebani ekonomi,” ujar Tauhid.

Selanjutnya, pemerintah juga harus memberikan infrastruktur pendukung yang andal di sektor kesehatan, fasilitas sosial, dan lansia yang mencukupi. Oleh karena itu, pada akhirnya mereka tetap bisa memberikan porsi positif dalam ekonomi.

Dirinya pun mendukung kelompok ini untuk melakukan aktivitas yang bisa ‘menghasilkan’ di usia lanjut, meskipun tidak banyak. Misalnya, melakukan aktivitas usaha kecil atau menengah maupun lainnya.

“Terakhir, saya kira ini harus diimbangi dengan jumlah angka kelahiran, yang sebisa mungkin jangan turun drastis agar kita tidak kehilangan momentum,” paparnya.

Soal proporsi lansia yang meningkat, Kementerian PPN/Bappenas mengaku tengah mempersiapkan masa pensiun secara sosial dan ekonomi. Di antaranya perpanjangan usia pensiun untuk seluruh pekerja yang sekarang disepakati pemerintah di usia 58 tahun.

Tentunya, Maliki menjelaskan, perpanjangan masa pensiun ini ditetapkan dengan mencegah crowding out dengan tenaga kerja muda. Begitu juga mempersiapkan sistem pensiun yang berkesinambungan.

Pemerintah juga hendak mengoptimalkan potensi sumber pertumbuhan ekonomi baru dari lansia, sebagai konsumen dan produsen (silver economy). Salah satunya perluasan kesempatan kerja yang sesuai untuk tenaga kerja muda berbanding usia lanjut.

Secara umum, Kementerian PPN/Bappenas juga berkontribusi dalam penerbitan Perpres 88/2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan. Selain itu, tengah mengembangkan Sistem Informasi Lansia (SILANI) yang akan mengumpulkan data sosial-ekonomi lansia, sekaligus pelayanan berbasis digital platform 

Nantinya, data sosial-ekonomi para lansia ini akan dipakai untuk membuat perencanaan, penganggaran, dan implementasi program lansia. Pemerintah juga menegaskan pentingnya memahami permasalahan dan kebutuhan yang diperlukan lansia, serta peluang untuk menyiapkan Perawatan Jangka Panjang (PJP).

“Saat ini, SILANI sudah berjalan sejak tahun 2020 dengan dimulainya pilot (project) di tiga kota besar yaitu Jakarta, Yogyakarta dan Denpasar,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah menerapkan beberapa strategi untuk meningkatkan produktivitas pekerja Indonesia. Pertama, pemerintah perlu mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang. 

Kedua, pemerintah perlu memastikan kesenjangan kualitas SDM dapat tertutupi. 

Ketiga, pemerintah perlu menunjang penambahan penduduk lansia pada masa mendatang. Keempat, pemerintah perlu mendorong perpindahan penduduk sehingga persebaran penduduk menjadi lebih merata. 

“Pemerintah juga perlu menjaga keseimbangan pembangunan desa dan kota,” sebutnya.

Seimbangkan Demografi
Terakhir, Maliki melanjutkan, pemerintah bakal menyusun kebijakan keluarga berencana era baru dalam mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang. Kebijakan tersebut perlu memastikan, pasangan muda siap dalam membangun keluarga. 

Salah satu yang perlu diperhatikan, bagaimana pasangan muda mempersiapkan diri secara sosial-ekonomi untuk menghasilkan anak berkualitas. Selain itu, pemerintah perlu memastikan pengembangan care-economy ke depan, untuk keseimbangan kerja perempuan dan laki-laki, dengan tetap menerapkan sistem pengasuhan anak yang baik.

Selanjutnya, pemerintah mesti menerapkan pemerataan pesebaran penduduk. Agar tidak terjadi kepadatan penduduk di satu tempat yang berdampak negatif pada kualitas hidup dan lingkungan pada tempat tersebut. 

Namun, tidak bisa dilakukan dengan program transmigrasi seperti di masa lalu. Pemerintah harus menciptakan insentif yang dapat mendorong penduduk untuk pindah. 

“Seperti pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi inklusif; penyediaan kesempatan kerja dan permodalan; penyediaan fasilitas sosial, ekonomi, budaya dan administratif; serta fasilitas lahan dan perumahan serta peluang untuk berusaha dan berkreativitas bagi UMKM,” jabar Maliki.

Yusuf mengungkapkan, kampanye keluarga berencana mesti disesuaikan dengan kondisi penuaan usia menjadi tidak produktif pada masa depan. Dia menerangkan, manakala memasuki ageing society, Indonesia harus mempertahankan fertility rate agar tetap cukup tinggi.

“Minimal di kisaran (rata-rata) 2,1 kelahiran per wanita, agar jumlah populasi tidak berkurang,” beber Yusuf. 

Karena alasan itu jugalah, Tauhid berpendapat, Indonesia tetap perlu mempertahankan kampanye jumlah anak dua cukup, untuk menjaga keseimbangan generasi mendatang baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Terlalu banyak, atau terlalu sedikit anak, tak bagus.

“Saya kira kita sepakat soal itu. Mungkin banyak generasi muda baru yang tidak punya anak, ini harusnya disadarkan karena bukan kepentingan keluarga semata tapi kepentingan bangsa juga berpengaruh,” ungkap Tauhid. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar