24 November 2023
12:40 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan, upaya otoritas menempuh sebuah kebijakan moneter dilakukan secara hati-hati. Khususnya pada keputusan menaik-turunkan level suku bunga, kebijakan paling dominan akan bergantung pada kondisi dan stabilitas inflasi.
Lebih jauh, dirinya menekankan, suku bunga BI ditentukan dengan melihat perkiraan kondisi inflasi dalam dua tahun ke depan dibandingkan dengan sasaran yang dipatok BI.
“Sehingga menentukan (level suku bunga) tidak (hanya) melihat inflasi sekarang saja, tetapi tahun depan seperti apa, (lalu) tahun depan (lagi) seperti apa. Kenapa demikian? Karena dampak dari suku bunga terhadap inflasi memerlukan waktu kurang lebih 4-6 kuartal,” jawabnya usai RDG-BI Edisi November 2023 di Jakarta, Kamis (23/11).
Jika hanya mempertimbangkan inflasi domestik yang masih tergolong rendah dan tumbuh baik saat ini, Perry mengatakan kecenderungannya akan ada ruang untuk menurunkan suku bunga. Sebagai info, inflasi IHK Oktober 2023 masih terkendali pada 2,56% (yoy), meski lebih tinggi dari level bulan sebelumnya sebesar 2,28% (yoy).
Namun, jika menghitung proyeksi kondisi ekonomi Indonesia ke depan, Indonesia masih dihantui sejumlah risiko utama yakni inflasi barang impor (imported inflation). Risikonya mencakup harga energi dan pangan global, tak ketinggalan besarnya depresi nilai tukar rupiah.
Ketika dirinya melapor ke DPR, BI memproyeksi inflasi 2024 dipatok di kisaran 3,2% atau masih dalam rentang sasaran inflasi 2,5±1%. Karena itu, Perry optimistis, kebijakan suku bunga BI-7DRR saat ini sebesar 6% terhitung konsisten dan berupaya forward looking dalam memastikan inflasi tahun depan tidak lebih dari 3,2%.
Baca Juga: Masih Stabil, BI Tahan Suku Bunga Acuan November di Level 6%
“Berarti tahun depan kan batas atasnya (inflasi) 3,5%, sehingga 6% ini (BI-7DRR) masih konsisten dengan perkiraan inflasi tahun depan yang 3,2%. Ingat, perkiraan itu juga mempertimbangkan harga minyak dunia dan depresiasi nilai tukar rupiah,” jelasnya.
Spesifik di bulan lalu, ketidakpastian ekonomi yang sangat tinggi membuat BI memprediksi upaya stabilisasi nilai tukar rupiah saja tidak cukup, sehingga BI memutuskan suku bunga naik 25 basis poin (bps).
Bahkan saat itu, Perry menggarisbawahi, ‘jamu’ intervensi yang biasanya dikerahkan untuk menytabilisasi nilai tukar rupiah tidak cukup untuk mengurangi tekanan global yang sangat luar biasa.
“Ingat dolar index bulan lalu sampai 107 (poin) loh. Kita tidak tahu, apakah bisa (naik) ke 110 atau 105 (poin), kita kan enggak bisa ukur yang uncentainty-nya susah diukur dari global. Oleh karena itu, pre-emptive (pencegahan) saja, dengan tidak hanya intervensi tapi menaikkan suku bunga,” paparnya.
Depresiasi Rupiah Lebih Baik
Dalam paparannya, Perry mengatakan, nilai tukar rupiah terkendali sejalan dengan kebijakan stabilisasi yang ditempuh BI. Nilai tukar rupiah pada 22 November 2023 menguat 1,99% dibandingkan dengan level akhir Oktober 2023.
Secara year-to-date, nilai tukar rupiah tercatat stabil, dengan depresiasi terbatas 0,04% dari level akhir Desember 2022. Atau lebih baik dibandingkan depresiasi yang terjadi pada nilai tukar Rupee India sebesar 0,70%; Baht Thailand 1,70%; dan Ringgit Malaysia 5,84%.
Penguatan nilai tukar Rupiah ini didorong oleh aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik. Sejalan dengan persepsi positif investor terhadap prospek ekonomi Indonesia yang tetap baik.
“(Ditandai) dengan stabilitas yang terjaga dan imbal hasil aset keuangan domestik yang menarik, di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi,” ujarnya.
Baca Juga: BI Terbitkan SVBI dan SUVBI, Simak Penjelasannya!
Ke depan, upaya stabilisasi nilai tukar rupiah terus diperkuat agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dan mendukung pengendalian imported inflation.
Strategi operasi moneter ‘pro-market’ melalui instrumen SRBI dan SVBI dioptimalkan guna meningkatkan manajemen likuiditas institusi keuangan domestik, serta menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri.
“Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah, perbankan, dan dunia usaha untuk mendukung implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023,” tegasnya.