c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

23 Oktober 2023

13:13 WIB

BI: Banyak Gejolak Buat Ekonomi Dunia Sesak Napas

Belum usai tensi geopolitik Rusia-Ukraina, gejolak ekonomi dunia makin kritis akibat perang di Timur Tengah antara Israel dan Palestina.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

BI: Banyak Gejolak Buat Ekonomi Dunia Sesak Napas
BI: Banyak Gejolak Buat Ekonomi Dunia Sesak Napas
Layar memampilkan logo Bank Indonesia (BI). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

SOLO - Deputi Gubernur BI Juda Agung menilai, perekonomian dunia tidak bisa bernapas lega dengan kondisi global saat ini yang semakin runyam. Belum usai tensi geopolitik Rusia-Ukraina, ekonomi dunia makin kritis akibat gejolak di Timur Tengah antara Israel dan Palestina. 

“Ketegangan politik tersebut kemudian mendorong harga energi dan harga pangan yang meningkat, kemudian mengakibatkan terus meningkatnya inflasi di dunia, termasuk juga di berbagai negara maju seperti Eropa dan Amerika (Serikat),” urainya dalam Peluncuran Kajian Stabilitas Keuangan 41 BI yang di Solo, Jawa Tengah, yang dipantau daring, Senin (23/10).

Pada akhirnya, ke semua ini direspons melalui kebijakan moneter Negeri Paman Sam yang diikuti dengan kebijakan suku bunga global tinggi berkepanjangan atau higher for longer

Juda mensinyalir, kebijakan di AS ini tak lepas dari kebutuhan untuk mendanai banyak hal, tak terkecuali pendanaan untuk perang.

Menkeu AS Janet Yellen, lanjutnya, secara eksplisit menyebut bahwa pemerintah akan mem-backup perang yang terjadi di Rusia maupun Timur Tengah. 

“Sehingga ini memerlukan pembiayaan politik dan pembiayaan keamanan, ini juga pada akhirnya mendorong kenaikan yield suku bunga di Amerika,” urainya. 

Baca Juga: BI Revisi Turun Kredit Perbankan 2023 Mentok Di Level 9-11%

Bagi Indonesia, keputusan kebijakan di atas berimplikasi pada ekonomi domestik yang dalam 1-2 bulan belakangan mengalami volatilitas arus modal yang sangat tinggi dan pelemahan nilai tukar. 

Kendati, kondisi ini juga secara umum dialami merata di seluruh negara karena yield suku bunga AS memperkuat posisi greenback atau dolar AS. 

“Ini tentu saja menjadi sebuah tantangan bagi kita di dalam menjaga stabilitas makroekonomi maupun stabilitas sistem keuangan,” tegasnya.  

Mengacu RDG-BI Oktober, dibanding akhir 2022, indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) pada 18 Oktober 2023 tercatat tinggi di level 106,21 atau menguat 2,60% (year-to-date/ytd). Hal ini memberikan tekanan depresiasi mata uang hampir seluruh mata uang dunia. 

Selama tahun berjalan, Yen Jepang melemah 12,44% (ytd), diikuti Dolar Australia -6,61% (ytd), dan Euro -1,40% (ytd). Depresiasi juga terjadi mata uang kawasan, seperti  Ringgit Malaysia -7,23% (ytd), Baht Thailand -4,64% (ytd), dan Peso Filipina -1,73% (ytd).  

Dalam periode sama, nilai tukar Rupiah terdepresiasi -1,03% (ytd), relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara di kawasan dan global tersebut. Kondisi ini bisa terjadi karena berbagai langkah stabilisasi yang ditempuh BI.

Sementara itu, meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global mendorong aliran keluar modal asing (net outflows) dalam bentuk investasi portofolio pada kuartal III/2023 sebesar US$2,1 miliar. Tekanan terhadap aliran modal asing terus berlanjut pada kuartal IV/2023 yang hingga 17 Oktober 2023 mencatat net outflows sebesar US$0,4 miliar.

“Nah ini yang menjadi dasar kami kemarin di Rapat Dewan Gubernur terakhir menaikkan suku bunga kebijakan 25 bps menjadi 6%. Tujuannya adalah untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar,” ucapnya.  

Selama ini, Juda menuturkan, BI terus berupaya menjaga stabilitas nilai tukar dengan intervensi di pasar uang. Namun, kenaikan yield suku bunga AS yang begitu cepat dan strong dollar membuat otoritas moneter tanah air menambah amunisi dengan menaikkan suku bunga kebijakan.

Jamin Stabilitas Makroekonomi dan Sistem Keuangan
Meski dihadapkan pada tantangan ekonomi dunia yang pelik, BI berkomitmen akan terus menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dengan tetap menjaga momentum ekonomi. 

Dibuktikan dengan kebijakan moneter yang pro-stability untuk mengendalikan inflasi dan tekanan gejolak eksternal.

“Sedangkan, kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar (uang), serta UMKM tetap diarahkan pada pro-growth untuk mendorong pertumbuhan dan daya beli masyarakat,” katanya.

Dirinya menggarisbawahi, pihaknya juga telah mengevaluasi kebijakan makroprudensial dengan tetap menjaga kebijakan akomodatif lewat kebijakan Loan to Value ratio (LTV), Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM), hingga kebijakan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM). 

Baca Juga: Pekan Ini, Sebanyak Rp5,36 T Modal Asing Kabur dari RI

Untuk itu, Juda menyampaikan, agar industri perbankan nasional tidak khawatir dengan kondisi likuiditas yang masih ample (cukup). Saat ini, tak ada pengetatan likuiditas, bahkan dijamin untuk tidak sampai mengetat dengan monitoring harian.

“Untuk memastikan, bahwa kondisi likuiditas ini terjaga dan juga insentif insentif likuiditas pada perbankan terus dilakukan untuk mendorong pembiayaan dunia usaha,” paparnya.

Selain memperkuat transformasi ekonomi nasional dengan mendorong peran sektor keuangan dalam pembiayaan ekonomi, BI juga akan terus memperkuat sistem pembayaran. Pendalaman pasar uang dan efektivitas pengendalian modal juga dilakukan dengan menerbitkan SRBI dan SVBI.

“Tujuan (kedua)nya adalah untuk memperdalam pasar keuangan, sekaligus untuk meningkatkan efektivitas dalam pengelolaan stabilitas moneter, baik internal maupun eksternal,” jelasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar