06 Oktober 2023
12:17 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) melaporkan, per September 2023, cadangan devisa atau cadev Indonesia kembali menurun sebesar US$2,2 miliar atau setara Rp34,37 triliun menjadi sekitar US$134,9 miliar.
Jumlah ini lanjut menurun daripada capaian cadev Agustus sebesar US$137,1 miliar, yang menurun US$600 juta atau Rp9,19 triliun.
“Meski menurun dibandingkan dengan posisi pada akhir Agustus 2023 sebesar US$137,1 miliar… posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2023 sebesar US$134,9 miliar tetap tinggi,” jelas Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangan resmi, Jakarta, Jumat (6/10).
Erwin menjelaskan, penurunan posisi cadev September 2023, utamanya dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah. Serta kebutuhan untuk menytabilisasi nilai tukar Rupiah sebagai langkah antisipasi dampak rambatan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Adapun, posisi cadev tersebut setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Sekaligus berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
“Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” paparnya.
Baca Juga: Luhut: PP DHE Bisa Tambah Cadangan Devisa Hingga US$300 Miliar
Ke depan, BI memandang cadangan devisa akan tetap memadai. Didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan respons bauran kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia.
“(Untuk) menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tegasnya.
Menurut APBN KiTa, sampai akhir akhir Agustus 2023, posisi utang pemerintah berada di angka Rp7.870,35 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 37,84%.
Rasio utang tersebut menurun dibandingkan akhir tahun 2022 dan berada di bawah batas aman 60% PDB sesuai UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Rasio ini juga masih sejalan dengan yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah tahun 2023-2026 di kisaran 40%. Di samping itu, memperkuat afirmasi S&P dan peningkatan outlook menjadi positif oleh R&I, lembaga pemeringkat Fitch kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating RI pada BBB dengan outlook stabil pada 1 September 2023.
Menurut Fitch, keputusan ini mempertimbangkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah yang baik, serta rasio utang pemerintah terhadap PDB yang rendah.
“Pemerintah senantiasa melakukan pengelolaan utang secara hati-hati dengan risiko yang terkendali melalui komposisi yang optimal, baik terkait mata uang, suku bunga, maupun jatuh tempo,” tulis APBN Kita.
Baca Juga: BI: Per Kuartal II, Kewajiban Neto PII Indonesia Turun Rp10,75 M
Sejalan dengan kebijakan umum pembiayaan utang untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap.
Komposisi utang pemerintah didominasi oleh utang domestik yaitu 72,29%. Sementara berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah mayoritas berupa SBN yang mencapai 88,88%.
Komposisi utang via SBN mencapai Rp6.995,18 triliun; terdiri dari SBN Domestik Rp5.663,94 triliun dan SBN Valas Rp1.331,24 triliun.
Sementara itu, utang berupa pinjaman mencapai Rp875,17 triliun; terdiri dari Pinjaman Dalam Negeri Rp25,11 triliun dan Pinjaman Luar Negeri Rp850,05 triliun.
Selain itu, pemerintah mengutamakan pengadaan utang dengan tenor menengah-panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif. Per akhir Agustus 2023, profil jatuh tempo utang Indonesia terbilang cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) di kisaran 8 tahun.