17 September 2025
19:49 WIB
Bahlil Beberkan Tantangan Dalam Proyek Panas Bumi
Capex yang besar, rumitnya perizinan, hingga minimnya jaringan transmisi kerap menghambat pengembangan proyek panas bumi.
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
Petani memikul Kubis yang baru dipanen melintasi instalasi PLTP PT Geo Dipa Energi kawasan dataran t inggi Dieng, desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jateng, Sabtu (14/8/2021). Antara Foto/Anis Efizudin
JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengakui ada sejumlah tantangan dalam mengembangkan panas bumi, termasuk sebagai sumber energi pembangkit listrik.
Bahlil menekankan, salah satu penyebabnya ialah kebutuhan modal yang tinggi untuk mengembangkan sumber energi panas bumi.
Di samping kebutuhan modal yang besar, rumitnya peraturan dan proses perizinan disebut Bahlil jadi tantangan lain bagi pengembangan panas bumi di Indonesia.
Baca Juga: GEOCROWN, Konsep Listrik Panas Bumi Dari Mahasiswa ITB
Keruwetan proses perizinan, sambung Bahlil, berdampak pada menurunnya minat investor untuk menyuntikkan modal mereka pada proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi.
"Semakin berbelit aturan, semakin tidak disukai oleh investor. Maka, program kami waktu satu tahun kemarin adalah memangkas berbagai regulasi yang menghambat proses percepatan bidang geothermal, kita memangkas semuanya," ucap dia Dalam gelaran Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 2025, Rabu (17/9).
Namun, ia tidak menjelaskan perizinan apa yang dipangkas dan dampak pada proses perizinan proyek panas bumi.
Minimnya jaringan transmisi juga menjadi faktor lain yang menyebabkan pengembangan energi panas bumi di tanah air berjalan lambat.
Menurut dia, ketiadaan jaringan transmisi antarpulau berakibat pada tak tersalurkannya listrik bersih dari pembangkit menuju pusat beban yang sebagian besar berada di Indonesia Bagian Barat, terutama di Pulau Jawa.
"Kita mempunyai sumber daya, tapi belum ada transmisinya. Jadi, bagaimana mungin teman-teman investor atau PLN yang sudah mendapatkan konsesi bisa mengerjakan sesuai dengan target kalau jaringannya belum ada, mau dijual ke mana?" sambung Bahlil.
Karena itu, pemerintah telah menugaskan PT PLN untuk membangun proyek strategis jaringan transmisi. PT PLN lewat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 pun menargetkan terbangunnya jaringan transmisi sekitar 48.000 kilometer sirkuit (kms).
"Maka bentuk komitmen dalam mendorong pembangunan EBT, kita menyusun RUPTL di 2025 sampai 2034 sebesar 48.000 kms. Ini sebagai bentuk tuntutan dari apa yang harus kita lakukan untuk percepatan," kata Menteri Bahlil.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan, beragam permasalah tersebut membuat Indonesia baru memanfaatkan sekitar 10% dari potensi panas bumi yang dimiliki. Indonesia memiliki potensi 27 GW panas bumi atau yang terbesar di dunia.
Baca Juga: Bukan Hanya Untuk Listrik, Ini Manfaat Lain Dari Panas Bumi
"Masih ada 90% potensi dan ini adalah energi masa depan. Di saat bersamaan, tema-tema green industry, green energy, green job, ini sekarang lagi booming. Di hampir semua belahan dunia ketika orang bicara tentang green, itu adalah sesuatu yang baik," tandasnya.
Eks-Ketua Umum HIPMI itu memperkirakan break even point pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) hanya butuh waktu 8-10 tahun dengan harga listrik sebesar US$9,5 sen per kilowatt hour (KWh).
Sedangkan untuk 20 tahun berikutnya, tarif listrik dari PLTP bakal diturunkan menjadi kisaran US$7,5 sen per KWh. Dari rencana tersebut, maka bisnis PLTP butuh waktu yang lama untuk menghasilkan cuan.
"Untuk 20 tahun berikutnya kita turunkan menjadi US$7,5 sen per KWh. Jadi, ini sama saja kerja dulu sekitar 9 tahun BEP, tapi panennya lama sekali," pungkas Menteri Bahlil.