06 Januari 2025
11:31 WIB
Apkasindo: Petani Dukung Gagasan Presiden Soal Sawit
Apkasindo mengeklaim sebanyak 17 juta petani mendukung gagasan Presiden Prabowo Subianto mengenai kelapa sawit yang harus dikawal bersama.
Editor: Khairul Kahfi
Perkebunan sawit pada lahan gambut di Kalimantan Barat. Antara/HO-YKAN
JAKARTA - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP Apkasindo) Gulat ME Manurung mengatakan, sebanyak 17 juta petani mendukung gagasan Presiden Prabowo Subianto mengenai kelapa sawit yang harus dikawal bersama.
"Apkasindo memberikan apresiasi kepada Presiden Prabowo terkait kebijakan sawit tersebut. (Sebanyak) 17 juta kepala keluarga petani sawit dari Aceh hingga Papua memberikan dukungan penuh," kata Gulat dalam keterangan di Jakarta, Senin (6/1) dikutip Antara.
Menurutnya, kelapa sawit merupakan anugerah tuhan kepada Indonesia. Negara lain sangat mendambakan sawit dapat tumbuh di negaranya dengan berbagai modifikasi lingkungan, tapi produktivitasnya jauh di bawah ekonomis.
"Jadi anugerah tadi sudah sewajarnya menjadi daya tawar Indonesia kepada dunia," ujarnya.
Faktanya, sambung Gulat, selama ini ada banyak pihak yang terlampau bebas menyudutkan perkebunan sawit Indonesia tanpa ada perlindungan regulasi yang kokoh terhadap komoditas strategis sawit.
"Jadi kami petani sawit sangat bangga dan terharu atas pidato Presiden tersebut,” paparnya.
Gulat mengatakan, arahan presiden tentang membuka kebun sawit yang baru seharusnya dibaca dalam arti luas untuk produktivitas sawit. Di mana, untuk meningkatkan produktivitas sawit dapat dilakukan melalui dua cara.
Baca Juga: Soal Deforestasi Sawit, Serikat Petani Kelapa Sawit Tanggapi Prabowo
Pertama, replanting atau peremajaan sawit rakyat (PSR) yang dikenal dengan intensifikasi atau huluisasi. Kebijakan replanting tersebut dapat membuat produktivitas sawit rakyat naik hingga 3-4 kali lipat.
Kedua, strategi ekstensifikasi atau menambah luas lahan sawit. Dia berharap, peluang Indonesia ekstensifikasi sawit masih sangat terbuka luas mengingat hutan Indonesia masih jauh lebih luas di atas standar minimum; dengan membandingkan antara luas hutan dan non hutan.
Namun untuk melaksanakan ekstensifikasi, Gulat menyarankan, lebih mengoptimalkan tanah terdegradasi atau terlantar, eks pertambangan atau klaim kawasan hutan yang sudah tidak berhutan, sebagaimana rekomendasi hasil riset Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB 2023.
Di sisi lain, Presiden Asian Society of Agricultural Economists (ASAE) Bustanul Arifin mengungkapkan, para menteri Kabinet Merah Putih harus bekerja keras menerjemahkan arahan Presiden Prabowo terkait rencana penambahan lahan kelapa sawit.
Jika nantinya sudah menjadi kebijakan nasional, dia mengharapkan, agar semua pihak bisa bersama-sama mengawal program ekstensifikasi ini dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan.
Dia mengatakan, sejauh ini berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tidak ada penambahan lahan sawit seperti yang disampaikan Presiden Prabowo. Karena itu, apabila nantinya rencana Presiden Prabowo akan dilaksanakan, perlu kebijakan yang baru.
"Karena bagaimana pun finalisasi aktivitas itu (penambahan lahan kelapa sawit) kan ada di dalam kebijakan. Kalau akan ada kebijakan baru, nanti memang perlu kita kawal sama sama," jabar Bustanul.
Risiko Deforestasi
Terkait pertanyaan apakah kelapa sawit memang sebagai kontributor laju deforestasi, Bustanul meminta pemerintah agar ikut memikirkan konsekuensinya secara baik. Dia menjelaskan, jika ada perubahan tata guna dari hutan menjadi tanaman sawit, pasti akan ikut mengubah kemampuan menambat dan menyimpan karbon.
Tanaman hutan dipastikan mempunyai kemampuan daya tangkap dan daya simpan karbon lebih tinggi dibanding tanaman sawit. Bahkan, hutan juga mempunyai daya lepas karbon lebih sedikit daripada sawit.
‘’Dari situ para ahli meneliti sampai sedetail-detailnya sedapat mungkin kalau ada perubahan hutan menjadi sawit, harus ada reforestasi atau aforestasi yang harus ditambah. Jadi ada kompensasi, kalau ada perubahan ada pengurangan,’’ tutur Bustanul.
Karena itu, dia menolak rencana melakukan pembabatan hutan untuk ditanami sawit tanpa adanya upaya kompensasi. Begitu juga pembukaan lahan sawit di lahan gambut.
"Di lahan gambut pasti akan menimbulkan emisi karbon baru, sementara pada saat yang sama kita menandatangani komitmen untuk menurunkan perubahan iklim,’’ jelasnya.
Dia menerangkan, reforestasi merupakan proses menanam kembali pohon di lahan yang sebelumnya telah gundul atau terdegradasi. Adapun, aforestasi adalah pembentukan hutan atau penegakan pepohonan di area yang sebelumnya bukan hutan.
Baca Juga: Tak Khawatirkan Ekspor, GAPKI Justru Ungkap Ironi EUDR
Selama ini, Indonesia sudah menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan pada industri sawit. Misalnya untuk standar dunia, Indonesia sudah mengikuti Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Bahkan, Indonesia juga menerapkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) di dalam negeri. Adapun hal tersebut telah mendapatkan apresiasi dari komunitas internasional.
Bustanul mengakui, terkait hambatan masuknya produk kepala sawit Indonesia ke Eropa memang sudah menjadi rahasia umum. Lantaran Eropa khawatir produk sawit Indonesia mengancam produk mereka, seperti minyak bunga matahari dan minyak kanola.
"Kan menerapkan aturan deforestasi yaitu EUDR (European Union Deforestation Regulation) yang sempat ditunda setahun karena diprotes oleh Amerika Serikat. Apakah Indonesia diam saja? Tidak," tuturnya.
Menurut dia, ada tim task force yang saat ini sedang menyusun berbagai hal secara detail mulai definisi deforestasi dan lainnya. Tim terkait telah membahas bersama Malaysia dan Uni Eropa.
‘’Memang betul pangsa pasar sawit kita ke Eropa tidak terlalu besar, 12%, tak sampai 20%. Tapi Eropa kan menjadi trendsetter. Jika Eropa sudah ikut melarang memasukkan barang kita atau produksi biofuel kita ke sana, saya khawatir negara lain ikut-ikutan,’’ ungkapnya.
Untuk itu, dia menyarankan selain daya saing, kemampuan diplomasi kampanye positif sawit harus terus dilakukan.