Tak Khawatirkan Ekspor, GAPKI Justru Ungkap Ironi EUDR
GAPKI tegaskan Indonesia tak perlu khawatir kehilangan pasar ekspor sawit ke Eropa imbas EUDR. GAPKI mendorong agar Eropa turut berkontribusi dalam implementasi EUDR, terutama bagi petani sawit kecil.
Ilustrasi buah kelapa sawit dan produk turunannya. Dok Aprobi
JAKARTA - Ketua Bidang Kampanye Positif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Edi Suhardi mengungkapkan, Indonesia tidak perlu khawatir kehilangan pasar ekspor sawit di Eropa akibat pemberlakuan kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR). Ia justru menyoroti peran Eropa yang seharusnya berkontribusi agar kebijakan tersebut dapat diimplementasi adil sampai tingkat petani kecil.
Edi beralasan, saat ini perusahaan-perusahaan besar Indonesia yang mendominasi pasar ekspor sawit di Eropa memiliki kemampuan dan telah memenuhi berbagai persyaratan EUDR. Hanya saja, kembali lagi, kebijakan EUDR akan jadi bumerang membebani kondisi petani sawit kecil.
"Kami berpendapat bahwa EUDR ini tidak akan memengaruhi (kinerja) ekspor sawit Indonesia ke Eropa, karena perusahaan besar yang mendominasi mampu memenuhi persyaratan EUDR. Yang tertinggal dan menjadi korban adalah petani sawit kecil, khususnya petani swadaya," ungkap Edi dalam diskusi publik INDEF 'Waktu Tambahan Untuk EUDR', Jakarta, Rabu (23/10).
Menurutnya, lemampuan perusahaan sawit Indonesia telah terbukti berhasil mengikuti dinamika pasar sejak belasan tahun lalu, sehingga banyak produsen minyak sawit yang memiliki sertifikasi RSPO.
Begitupun mengenai persaingan pasar minyak sawit RI dengan Malaysia di global. Edi menilai, adanya kebijakan EUDR mendorong Indonesia semakin terbuka dengan pasar ekspor, bahkan bisa meningkatkan persaingan dengan Malaysia.
"Kekhawatiran Malaysia bisa lebih unggul ini memang muncul, karena Malaysia lebih kompak secara organisasi dan asosiasi. Tapi dari sisi kemampuan dan terobosan perusahaan-perusahaan, Indonesia cukup bersaing dibandingkan produsen dan eksportir lainnya," jelasnya.
Baca Juga: Terjegal EUDR, Zulhas Tak Khawatir Ekspor CPO Ditolak Di EropaSementara ini, Edi berpendapat, perusahaan swasta Indonesia cukup memanfaatkan sertifikasi sawit global Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Kemudian mengkhususkan rantai pasok bahan baku produk sawit dari petani, petani plasma, maupun
estate perkebunan sawit
perusahaan besar agar bisa memenuhi persyaratan EUDR.
khusus perusahaan swasta Indonesia, maka cukup memanfaatkan sertifikasi RSPO atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (skala global) dan kemudian mengkhususkan rantai pasok bahan baku dari petani atau petani plasma atau estate agar memenuhi persyaratan EUDR.
Dalam kesempatan sama, Ketua Tim Kerja Pemasaran Internasional Ditjenbun Kementan Muhammad Fauzan Ridha memperingatkan adanya potensi beralihnya Eropa dalam upaya memenuhi kebutuhan CPO dari Indonesia ke Malaysia. Walaupun, akunya, produksi CPO Malaysia masih rendah atau hanya separuh produksi Indonesia.
"Tidak menutup kemungkinan Uni Eropa akan mengalihkan kebutuhan minyak sawitnya ke Malaysia. Malaysia bisa dibilang sudah patuh terhadap EUDR, dan pengelolaan lahannya bisa tidak terlalu rigid dibandingkan Indonesia," jelas Fauzan.
Tak hanya itu, Eropa pun diperkirakan akan memenuhi kebutuhan minyak nabati dari produksi mereka sendiri, misalnya dari minyak biji bunga matahari, minyak kedelai, rapeseed, dan lainnya.
EUDR Lemahkan Upaya Keberlanjutan Lama
Lebih lanjut, Edi justru menyampaikan, adanya kebijakan EUDR cenderung ironis melemahkan kebijakan terkait keberlanjutan yang sudah ada sebelumnya. Lantaran secara langsung melemahkan kelembagaan minyak sawit berkelanjutan, seperti RSPO yang sudah dibentuk sejak 2004 silam.
Info saja, tujuan utama dari pembentukan RSPO adalah untuk mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan produk-produk minyak sawit yang berkelanjutan. Salah satu pemicu kemunculan RSPO adalah masifnya kritik industri sawit yang dianggap berkontribusi pada deforestasi, pelanggaran hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan di awal tahun 2000-an.
"EUDR untuk mencegah deforestasi menjadi bagian dari strategi mitigasi perubahan iklim dengan
sustainabilty development, ternyata telah melemahkan ikhtiar ataupun kelembagaan yang telah bekerja untuk sustainabilty. Adanya EUDR maka posisi seperti RSPO dilemahkan karena tadinya RSPO bisa memberikan insentif berupa premi terhadap produsen sawit," urai Edi.
Baca Juga: CIPS: EUDR Perparah Fragmentasi dan Diskriminasi Petani Sawit KecilSelain itu, keberadaan EUDR juga akan membuat premi dalam RSPO menjadi tidak bernilai. Alhasil, ini dianggap merugikan petani yang telah memiliki sertifikasi RSPO. Adapun premi tersebut merupakan insentif tambahan harga yang diberikan kepada produsen minyak sawit yang telah mendapatkan sertifikasi RSPO.
Ironi lainnya, Edi percayai, kebijakan EUDR dapat semakin membebani petani-petani rakyat yang tertinggal, karena harus memenuhi Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan lainnya. Walaupun diakui, persyaratan tersebut secara administrasi kenegaraan memang baik dalam pengelolaan sawit nasional.
"Tapi dampaknya sangat negatif bagi masyarakat petani, dimana mereka mendapatkan beban baru selain beban-beban kehidupan yang telah berjalan ini," ucapnya.
Edi pun mendesak dan mendorong agar EUDR secara jelas memberikan prosedur insentif, sehingga kebijakan ini bisa diterapkan sesuai aturan.
"Kalau dari sisi pasar dari sisi mekanismenya gampang dipenuhi tapi bebannya ini perlu juga kita menuntut kepada masyarakat Eropa untuk berbagi peran. Mereka tidak hanya meminta saja tanggung jawab kita, tapi mereka perlu berkontribusi untuk pemenuhan persyaratan ini khususnya petani-petani kecil," tandasnya.