03 September 2025
14:07 WIB
Analis: Investor Kripto Jangan Terjebak 'September Effect'
Analis mengingatkan investor kripto tetap mengedepankan manajemen risiko, alih-alih hanya bergantung pada September Effect. Investor sebaiknya juga memantau faktor fundamental dan makroekonomi.
Editor: Khairul Kahfi
Ilustrasi - Warga mengamati pergerakan harga mata uang kripto Bitcoin (BTC) di Semarang, Jawa Tengah. Antara Foto/Aprillio Akbar/wpa.
JAKARTA - Analis Reku Fahmi Almuttaqin mengingatkan investor kripto untuk tetap mengedepankan manajemen risiko yang solid, alih-alih hanya bergantung pada pola historis September Effect.
Dia mengatakan, investor sebaiknya memantau faktor fundamental dan makroekonomi untuk mengambil keputusan yang lebih bijaksana, bukan panik atau menjual secara impulsif.
“Pola musiman hanyalah salah satu dari sekian banyak indikator yang harus dipertimbangkan dalam strategi investasi. Diversifikasi portofolio seperti dengan mengombinasikan ekuitas, misalnya saham AS dan aset kripto, juga menjadi salah satu alternatif yang bisa dieksplorasi,” kata Fahmi melansir Antara, Jakarta, Rabu (3/9).
Baca Juga: CFX: Transaksi Derivatif Kripto RI Semester I/2025 Meroket Rp33,54 T
Bagi investor konservatif yang baru mengeksplorasi pasar kripto, aset berkapitalisasi besar seperti Bitcoin, Ethereum, XRP, dan Solana dapat menjadi pilihan menarik.
Di tengah volatilitas dan rotasi kapital yang dinamis di altcoin, Fahmi mengatakan, aset besar umumnya lebih tahan dan kerap menjadi incaran utama investor besar saat sentimen bullish berkembang.
Info saja, fenomena September Effect merupakan pola musiman yang terkonfirmasi data historis, meski penyebabnya masih diperdebatkan.
Pola ini pertama kali tercatat di bursa saham AS sejak awal abad ke-20. Indeks utama seperti S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) cenderung mencatatkan kinerja terburuknya pada September dibandingkan 11 bulan lainnya.
Fenomena ini makin kuat karena September kerap menjadi momentum koreksi signifikan, seperti koreksi pasar pada 1929 dan 2008.
Fahmi menjelaskan, fenomena September Effect juga banyak dikaitkan ke pasar kripto. Bitcoin, yang dikenal dengan volatilitasnya, juga menunjukkan pola serupa. Sejak 2013, data historis mencatat rata-rata return Bitcoin pada September cenderung negatif.
“Tapi menariknya, dalam dua tahun terakhir, September memberikan return positif baik bagi Bitcoin maupun Ethereum, meskipun masih menjadi bulan dengan rata-rata return historis terburuk bagi Bitcoin sejauh ini,” jelas dia.
Fenomena September Effect banyak dikaitkan dengan beberapa faktor, seperti likuiditas global yang mengetat setelah musim panas. September juga sering bertepatan dengan momentum ekonomi penting, seperti rilis data utama dan keputusan suku bunga The Fed, yang memicu volatilitas pasar dan membuat investor lebih konservatif.
Baca Juga: OJK: Transaksi Aset Kripto Juni Merosot 34,82% Jadi Rp32,31 Triliun
Akhir September juga menandai penutupan kuartal III, saat banyak investor institusional dan manajer investasi melakukan penyeimbangan kembali0 (rebalancing ) portofolio melalui profit-taking atau tax-loss selling, yang biasanya memicu tekanan jual signifikan di pasar.
Selain itu, September Effect juga telah menjadi pengetahuan umum, sehingga ekspektasi negatif investor justru memperkuat tren ini. Keyakinan bahwa pasar akan turun mendorong aksi jual, yang pada akhirnya membuat penurunan harga benar-benar terjadi.
Namun, Fahmi menggarisbawahi, pasar global menunjukkan dinamika unik pada tahun ini. Pasar kripto, khususnya Bitcoin dan Ethereum, mendapat dukungan dari arus dana institusional melalui ETF Spot yang kian diminati investor besar.
Di samping itu, jumlah uang beredar M2 di AS per Juli menunjukkan peningkatan kembali, menyentuh angka tertinggi baru sepanjang masa.
“Hal ini dapat mendukung optimisme investor terhadap aset berisiko, seperti saham AS dan kripto, terlebih apabila The Fed memutuskan untuk menurunkan suku bunga pada pertemuan Bank Sentral AS (FOMC) pertengahan September nanti,” jelasnya.