c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

10 Januari 2024

13:03 WIB

Akademisi Ingatkan Pembiayaan Krisis Iklim Tak Jadi Krisis Utang

Saat ini pembiayaan krisis iklim masih berupa utang yang berpotensi menciptakan beban dan krisis utang.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

Akademisi Ingatkan Pembiayaan Krisis Iklim Tak Jadi Krisis Utang
Akademisi Ingatkan Pembiayaan Krisis Iklim Tak Jadi Krisis Utang
Foto udara kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, sebagai bentuk energi hijau. Antara Foto/Arnas Padda

JAKARTA - Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis UI Bambang Brodjonegoro mewanti-wanti pembiayaan negara untuk mengatasi krisis iklim jangan sampai berganti menjadi krisis utang. Pasalnya, alih-alih pemberian pembiayaan bersifat investasi, sejauh ini pembiayaan yang ada masih bersifat utang.

Karena itu, Indonesia mesti berhati-hati dan memperhatikan saksama atas tawaran pinjaman pembiayaan yang diberikan oleh asing untuk kegiatan investasi mengatasi iklim di tanah air.  

“Karena kebanyakan yang ditawarkan oleh pihak luar kepada Indonesia, meskipun namanya financing, itu lebih banyak yang sifatnya debt financing atau utang, dibandingkan yang sifatnya investment,” jelasnya dalam agenda Green Webinar AMSI ‘Tantangan Pembangunan dan Ekonomi Berkelanjutan’, Jakarta, Selasa (9/1). 

Sebagai gambaran, mengacu hitungan Kementerian ESDM, investasi pembangkit listrik (power plant) untuk mencapai target net zero emission (NZE) 2060 butuh sebanyak US$994,59 miliar. Investasi ini disinyalir dapat menyediakan kapasitas energi listrik sebesar 768 GigaWatt (GW).

Adapun lima investasi pembangkit listrik teratas, yakni nuklir dengan kebutuhan investasi US$216,21 miliar dan kapasitas 31 GW; hidro US$168,56 miliar dan kapasitas 72 GW; solar matahari US$159,87 miliar dan kapasitas 421 GW; angin US$156,39 miliar dan kapasitas 94 GW; serta biomassa US$122,34 miliar dan kapasitas 60 GW.

Baca Juga: Transisi Energi Butuh Pendanaan Yang Kuat, BUMDes Bisa Dilibatkan

Sekali lagi, Menteri PPN/Kepala Bappenas 2016-2019 ini menyampaikan, pembiayaan untuk mengatasi krisis iklim lewat investasi pembangkit listrik energi terbarukan harus diutamakan investasi. 

Skema ini dipercaya lebih tidak menimbulkan beban ekonomi dan justru bisa menciptakan aktivitas dalam negeri.  

“Sedangkan kalau holding financing, maka kita akan menimbulkan beban di kemudian hari. (Padahal), kita tidak ingin krisis lingkungan ketika berakhir, malah menjadi krisis utang. Ini yang harus dijaga dengan benar,” tegasnya.  

Dirinya pun mengingatkan, soal investasi ini tidak terpusat di sisi modal keuangan saja, namun juga memikirkan optimalisasi SDM-nya. Dalam bentuk modal untuk keterampilan manusia dan kemampuan pengadaan peralatan energi terbarukan untuk memastikan transisi yang adil. 

“Saya berharap, energy transition sampai NZE 2060 benar-benar bisa kita handle oleh kita sendiri, jadi kebutuhan modal manusia untuk memastikan transisi adil menjadi sangat penting,” urainya.

Tujuannya, agar Indonesia tidak hanya bertindak sebagai negara net importer dari peralatan yang menunjang pembangkit energi tersebut. Jadi Indonesia tidak mudah melepas devisa hanya untuk mencapai target NZE.

“Kalau bisa, ketika kita banyak menggunakan energi terbarukan maka peralatan terkait dengan tenaga listriknya, apakah semacam turbin atau boiler sudah mulai bisa diproduksi di Indonesia dalam jumlah yang lebih besar,” ucapnya. 

Diversifikasi Sumber EBT
Indonesia, lanjutnya, mesti belajar dari negara lain dalam melakukan transisi energi. Paling ekstrem, Indonesia bisa belajar dari berbagai negara Timur Tengah melakukan langkah transisi.

Meski diberkahi dengan kekayaan minyak dan potensi panel surya yang besar karena berada di daerah gurun, namun beberapa negara ini juga mengembangkan energi nuklir untuk mengakomodasi sustainabilitas dan reliabilitas sebagai pembangkit listrik.

“Jadi menarik sekali melihat bagaimana setiap negara itu bersiasat dalam (upaya) transisi energinya,” sebut Bambang.

Dengan demikian, ketika pembangkit energinya tidak lagi bergantung pada fosil, Indonesia juga tidak bergantung pada 1-2 energi terbarukan semata. Pasalnya, kebergantungan negara pada segelintir energi terbarukan sangat berisiko.

“Selain keluar dari fosil, juga menciptakan diversifikasi yang cukup bagus dalam transisi energi itu sendiri. Karena itu, bergantung hanya pada 1-2 jenis (EBT) akan sangat riskan, apalagi kalau kita bergantung kepada sumber energi yang sifatnya intermittent,” ungkapnya. 

Baca Juga: Dukung EBT, Guru Besar UI Usul Konversi Subsidi Energi Konvensional

Dalam konteks keterjangkauan, Indonesia punya lima potensi EBT seperti tenaga surya, tenaga angin, tenaga air/hydro, tenaga panas bumi/geothermal, maupun biomassa yang belum terlalu mendapatkan perhatian saat ini.

Menurutnya, biomassa harus Indonesia perhatikan lebih spesifik karena berpeluang menjadi sumber primer energi terbarukan nasional. Karena memenuhi aspek utama dalam EBT yaitu sustainability, availability, reliability, dan affordability.

Terlebih, inputan energi biomassa bisa dikerjakan oleh masyarakat sekitar sehingga bisa menciptakan ekonomi sirkuler ketika mengembangkannya. Biomassa juga bisa dipakai untuk memperbaiki kualitas tanah yang terdegradasi. 

“Jadi kita sebaiknya dalam konteks riset-inovasi sampai pembangunan listrik, terutama untuk daerah terpencil, sebaiknya memberikan perhatian lebih kepada biomassa,” ucapnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar