18 Juli 2024
15:52 WIB
Airlangga: RI Jadi Inspirasi Bipartisan Di AS Dalam Penolakan EUDR
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan Indonesia menjadi inspirasi bagi kelompok bipartisan di Amerika Serikat (AS) dan negara lain.
Ilustrasi pekerja menyusun tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hasil panen. Antara Foto/Wahdi Septiawan
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan Indonesia menjadi inspirasi bagi kelompok bipartisan di Amerika Serikat (AS) dan negara lain, yang tergabung dalam Like-Minded Countries (LMC), dalam penolakan penerapan Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
Uni Eropa (UE) akan mulai menerapkan European Union Deforestation-Free Regulation atau EUDR pada akhir Desember 2024.
"Amerika bipartisan menentang EUDR, jadi (Joint Task Force) EUDR, yang diinisiasi Indonesia pada kunjungan bersama antara Menko Perekonomian dan PM Malaysia tahun lalu itu terus mendapatkan dukungan dari LMC. Beberapa waktu lalu, baik Partai Republik maupun Demokrat di AS, juga mempertanyakan EUDR. Jadi, LMC terinspirasi apa yang dilakukan Indonesia dan Malaysia," kata Airlangga dalam keterangannya, Kamis. (18/7).
Jelang penerapan aturan tersebut, Indonesia terus menyampaikan kekhawatiran banyak negara terhadap EUDR secara aktif kepada pihak terkait di UE.
Termasuk, melalui penggalangan LMC untuk menerbitkan dua kali joint letters sebagai respons untuk EUDR kepada pimpinan tertinggi EU tertanggal 27 Juli 2022 (14 LMC) dan 7 September 2023 (17 LMC).
AS termasuk dalam barisan negara yang mengkritisi EUDR tersebut.
Baca Juga: Singgung Program Prabowo, Mendag Tak Takut Dengan Kebijakan Sawit Eropa
Pada 30 Mei 2024, Pemerintah AS telah melayangkan surat yang ditujukan kepada EVP Maros Sefcovic, ditandatangani oleh Menteri Pertanian Thomas Vilsack, Menteri Perdagangan Gina Raimondo, dan US Trade Representative (USTR) Katherine Tai.
Dalam surat tersebut, Pemerintah AS menekankan bahwa implementasi EUDR jika sesuai linimasa pada akhir tahun ini akan berdampak negatif secara ekonomi bagi produsen dan konsumen, baik di AS maupun UE.
Oleh karena itu, AS mendesak Komisi Eropa untuk menunda implementasi EUDR.
Surat tersebut mengidentifikasi empat tantangan penting bagi produsen komoditas di AS untuk memahami dan menyesuaikan terhadap EUDR ini, yakni tidak adanya sistem informasi, kurangnya guidelines dari Komisi Eropa, serta klasifikasi sementara country benchmarking yang mana semua negara produsen dimasukkan dalam risiko standar terlepas dari praktik kehutanan yang diterapkan.
Sebab, beberapa negara produsen seperti AS, yang menilai praktik kehutanannya sudah maju dan baik, menganggap klasifikasi ke dalam risiko standar itu merugikan.
Baca Juga: CIPS: EUDR Perparah Fragmentasi dan Diskriminasi Petani Sawit Kecil
Surat AS kepada UE tersebut merupakan tindak lanjut dari surat para senator AS kepada USTR Katherine Tai tertanggal 8 Maret 2024, yang menyampaikan kalkulasi potensi kerugian bisnis bahwa EUDR akan membatasi pasar akses produk kehutanan AS ke UE sebesar US$3,5 miliar per tahun.
Untuk itu, Pemerintah AS meminta kepada Uni Eropa (UE) menunda implementasi EUDR.
Airlangga menyampaikan bahwa hal ini mendapatkan gaung dari internal UE sendiri.
Masuknya AS ke barisan negara yang menyerukan penundaan EUDR tidak dipungkiri akan memberikan tekanan kuat bagi Komisi Eropa untuk menunda implementasi EUDR.
Selain LMC, dan kini AS, negara-negara anggota EU lainnya seperti Austria juga mengkritik kebijakan EUDR, karena UU Deforestasi itu akan berdampak negatif terhadap praktik pertanian dan kehutanan skala kecil dan berkelanjutan di Uni Eropa. Jadi, mereka mendukung seruan dilakukan aksi penting untuk mengecualikan petani kecil (smallholders) dan menunda implementasi EUDR.