08 November 2024
19:38 WIB
Bea Keluar Berpotensi Raib Rp10 T Imbas Larangan Ekspor Tembaga 2025
Negara berpotensi kehilangan bea keluar karena mulai Januari 2025 pemerintah melarang ekspor bahan mentah konsentrat tembaga.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Ilustrasi Tembaga. Shutterstock/ziadi lotfi
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memproyeksikan, negara berpotensi kehilangan penerimaan dari pos bea keluar imbas kebijakan larangan ekspor konsentrat tembaga mulai 2025.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Askolani memprediksi, bea keluar yang dihimpun dari kegiatan ekspor tembaga saat ini mencapai Rp10 triliun. Itu berarti negara tidak lagi mendapatkan nominal serupa saat larangan ekspor berlaku tahun depan.
"Dampak kebijakan itu tentunya 2025 kemungkinan kita tidak mendapatkan bea keluar dari tembaga lagi. Paling tidak kita catat di 2024, sampai saat ini bea keluar tembaga hampir Rp10 triliun, dan akan lebih dari Rp10 triliun sampai Desember," ujarnya dalam Konpers APBN Kita, Jumat (8/11).
Karena ekspor tembaga dilarang, Askolani mengatakan, setoran bea keluar tahun depan akan ditopang oleh pemasukan dari kegiatan ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO).
Anak Buah Menkeu Sri Mulyani ini pun menyebutkan, bea keluar komoditas CPO cukup dominan walau setorannya lebih rendah dari tembaga, yakni sekitar Rp5 triliun dalam setahun.
"Di 2025 kita tidak akan dapat bea keluar tembaga, dan untuk bea keluar kita hanya fokus untuk CPO yang saat ini cukup dominan, yang setahun bisa dapat Rp5 triliun," terang Askolani.
Sebagai informasi, ketentuan larangan ekspor tembaga dan komoditas lainnya, beserta pos tarifnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 10/2024 tentang Perubahan Atas Permendag 22/2023 Tentang Barang Yang Dilarang Untuk Diekspor.
Ada 5 komodita spertambangan yang akan dilarang ekspor mulai Januari 2025. Itu terdiri dari konsentrat besi laterit, konsentrat tembaga ≥ 15%, konsentrat timbal dengan kadar ≥ 56%, konsentrat seng dengan kadar ≥ 51%, dan lumpur anoda (anode slime).
Meski ada larangan tersebut, Askolani mengaku, pihaknya akan mematuhi aturan yang berlaku mengenai larangan ekspor beberapa komoditas. Menurutnya, kebijakan itu sudah disusun guna mendorong hilirisasi di Tanah Air.
"Tentunya kehilangan bea keluar tembaga ini dampaknya punya hal positif dari aspek lain yang lebih luas," imbuhnya.
Askolani menyebutkan, sedikitnya ada 3 manfaat yang bisa diraup negara karena menjalankan hilirisasi, walaupun harus kehilangan bea keluar.
Pertama, hilirisasi akan mendatangkan investasi, salah satunya karena ada pembangunan pabrik smelter, dan buntutnya akan memacu pertumbuhan ekonomi.
Kedua, hilirisasi akan berpotensi menambah setoran pajak, misalnya PPN dan PPh Badan. Askolani meyakini, Dirjen Pajak akan mengkalkulasikan potensi dan dampak shifting pemasukan dari bea keluar ke pajak.
Ketiga, kebijakan hilirisasi yang berpotensi menambah jumlah pabrik juga akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja RI.
"Sehingga itu kemudian akan kita pantau dan laksanakan di 2025," tutup Dirjen Bea dan Cukai.
Kemenkeu mencatat, tembaga dan CPO menjadi dua komoditas unggulan yang menghasilkan setoran bea keluar. Per Oktober 2024, total penerimaan bea keluar mencapai Rp14,2 triliun atau tumbuh 46,8% (yoy).
Pertumbuhan positif bea keluar tersebut dipengaruhi oleh bea keluar tembaga yang tumbuh meroket 173% (yoy), imbas relaksasi ekspor komoditas tembaga. Kontribusinya pun mencapai 70% dari total setoran bea keluar.
Di satu sisi, pada Oktober 2024, bea keluar produk sawit anjlok sebesar 30,6% (yoy). Kemenkeu mencatat, hal ini terjadi akibat adanya penurunan rata-rata harga sebesar 1,95% (yoy) dan volume ekspor 16,13% (yoy).