12 November 2025
13:46 WIB
YLKI Saran Evaluasi Redistribusi Kuota Haji
Redistribusi kuota haji 2026 untuk mencegah potensi ribuan calon jemaah gagal berangkat ke tanah suci.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Sejumlah orang tua mendampingi anaknya mengikuti edukasi manasik haji di Asrama Haji NTB di Mataram, NTB, Jumat (24/2/2023). Antara Foto/Ahmad Subaidi.
JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta Kementerian Haji dan Umrah untuk mengevaluasi kebijakan redistribusi kuota haji nasional tahun 2026. Pasalnya, kebijakan itu berdampak signifikan terhadap calon jemaah haji wilayah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang kuotanya turun dari 1.535 orang menjadi 124 orang. Hal ini berpotensi membuat ribuan calon jemaah gagal berangkat ke tanah suci.
"YLKI menilai kebijakan tersebut perlu dievaluasi dari perspektif perlindungan konsumen dalam layanan publik keagamaan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen," sebut Ketua YLKI, Niti Emiliana, melalui keterangan pers, Rabu (12/11).
Dia melanjutkan, negara wajib memberikan kepastian hukum, transparansi, dan akuntabilitas penuh atas setiap perubahan kebijakan yang berdampak pada hak keberangkatan haji konsumen.
Baca juga: Pemerintah Tetapkan Antrean Haji Kini 26 Tahun
Dia juga meminta Kementerian Haji dan Umrah untuk menginformasikan secara masif kebijakan terbaru terkait redistribusi kuota haji. Ini termasuk formula pembagian kuota antar provinsi dan kabupaten/kota, parameter jumlah penduduk muslim, dan masa tunggu.
Niti menilai, pemerintah perlu belajar dari kasus ratusan ribu calon jemaah umrah yang gagal berangkat karena travel bermasalah. Dari pengalaman YLKI mendampingi jemaah yang gagal berangkat, kerugian yang ditanggung tak hanya kerugian materil, tapi juga kerugian psikologis.
"Itu merupakan pukulan telak bagi konsumen dan tidak boleh terulang di kemudian hari, begitu pun kegagalan haji furoda tahun 2025 juga belum kering dari ingatan," pesan Niti.
Dia pun mendesak pemerintah untuk membuka ruang dialog dengan calon jemaah haji yang berpotensi terdampak kebijakan kuota haji tahun 2026. Pemerintah juga harus membuat skema pengaduan dan kompensasi yang adil bagi konsumen yang terancam kebijakan tersebut.
Selain itu, dia merekomendasikan Kementerian Haji dan Umroh untuk membentuk Divisi Pelindungan Konsumen dan membuka pusat pengaduan khusus bagi jemaah haji dan umrah yang gagal berangkat. Mekanisme ini penting untuk memastikan keluhan konsumen ditangani dengan cepat dan ada pengawasan terhadap pelaku usaha travel.
"Serta jaminan agar keberangkatan jamaah berlangsung tepat waktu, aman, dan selamat hingga tiba di tanah suci dan kembali ke tanah air," tutup Niti.