c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

10 Februari 2025

19:30 WIB

Teman Cerita Ibu Terkena Depresi Usai Melahirkan

Setiap perempuan setelah melahirkan berpotensi depresi, penyebabnya bisa karena kelelahan fisik dan psikis, serta perubahan fisik dan hormonal.

Penulis: Gisesya Ranggawari

Editor: Rikando Somba

<p>Teman Cerita Ibu Terkena Depresi Usai Melahirkan</p>
<p>Teman Cerita Ibu Terkena Depresi Usai Melahirkan</p>

Ilustrasi ibu pascamelahirkan. Shutterstock/Natalia Deriabina

JAKARTA - Kejadian kehilangan anak pertama pernah membuat Nur Yanayirah lama larut dalam perasaan bersalah. Sikap Yana, sapaan akrabnya, juga berubah drastis. Dirinya sering tiba-tiba murung. Kondisi ini bahkan terlihat saat baru melahirkan anak kedua. 

Yana sering merasa takut memegang bayinya, lantaran khawatir akan sakit. Perasaan bersalah berlarut juga sampai membuat ibu ini kepayahan membangun ikatan batin dengan anak keduanya. Ia juga ogah mengurus diri sendiri dan bayinya, sampai sulit menyusui. Imbasnya, bayinya sakit. Kekurangan asupan gizi.

Kondisi emosional Yana juga tidak stabil, lebih cepat marah dan tersinggung. Hal ini diperparah dengan sangkaan liar dari teman dan keluarganya.

"Banyak yang aneh, kok saya bukan happy malah murung, terus nggak bounding sama anak. Tapi, kami semua belum paham, malah (banyak) nyangka saya kemasukan jin," ujar Yana di Jakarta kepada Validnews, Sabtu (8/2).

Puncaknya, Yana ingin mengakhiri hidup karena terus merasa gagal menjadi seorang ibu. Saat itu, Yana sampai kepikiran menenggelamkan diri di sebuah danau, dan bayinya yang masih berusia 6 bulan ditaruh di luar rumah orang asing secara acak.

Niatan bunuh diri itu bahkan bisa saja terjadi andai tidak ada seorang bapak yang mendekati dan menolong Yana, yang telah membiarkan tubuhnya kehujanan saat berjalan menggendong bayinya. Beruntung, Yana masih mendengar, sehingga mau diajak bapak itu ke minimarket terdekat untuk mengeringkan pakaian dan menelpon suaminya.

Baca Juga:  Faktor Risiko Depresi Antepartum, Gangguan Suasana Hati Di Masa                         Kehamilan 

                    Mengenal 4 Perspektif Kepribadian Yang Perlu Diketahui


Kejadian itu mulai membuat Yana tersadar ada kejanggalan pada dirinya. Tak lama setelahnya, dia mencoba curhat di akun Facebook pribadinya. Ternyata, banyak respons yang memberikan dukungan pada Yana untuk pulih. Dukungan ini membuat Yana merasa didengar. Dirinya tidak lagi merasa sendirian.

Tidak lama berselang, Yana memberanikan diri untuk berobat ke psikiater. Yana didiagnosa postpartum depression atau depresi setelah melahirkan. Penyebabnya beragam. Yana sendiri mengalaminya karena trauma kehilangan anak pertamanya dan stigma lingkungan.

Terapkan Home Visit
Yana tak sendirian. Menurut jurnal Universitas Muhammadiyah Surabaya (UNIMUS), angka kejadian depresi postpartum di negara Asia sebesar 26%-85%. Di Indonesia angkanya 50%-70%. 

Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) mencatat Indonesia menduduki peringkat keempat di seluruh dunia dalam kasus postpartum depression, yaitu sekitar 31 kelahiran per 1.000 populasi.

Yana sendiri, setelah rutin meminum obat dan terapi hari demi hari selama dua tahun, akhirnya berhasil pulih. Berbekal pengalaman itu, Yana akhirnya membentuk support group bernama MotherHope Indonesia pada Februari 2015. Dia paham betul ibu yang depresi usai melahirkan perlu didengarkan dan ditemani. 

"Memang perlu ditemani, didukung, karena yang sedang depresi itu gelap, banyak kabut, ketika ada teman serupa, seolah kabut itu hilang," ucap Yana.

MotherHope mulanya hanya memberikan dukungan emosional kepada para ibu penderita postpartum depression secara daring. Namun, belakangan, karena dirasa perlu, MotherHope mencoba memberikan dukungan secara langsung.  

Komunitas ini juga memberikan edukasi dan pemahaman kepada keluarga terdekat, terutama suami dalam hal mengatasi jika istrinya mengalami postpartum depression. Memberikan akses informasi dan menghubungkan ke layanan kesehatan terdekat dari rumah.

Ada kalanya MotherHope juga melakukan home visit sesuai permintaan keluarga. Ini dilakukan jika penderita postpartum depression lebih sering mengurung diri.

Terkait hal ini, Yana pernah dimintai tolong untuk melakukan home visit oleh salah seorang suami yang istrinya menderita postpartum depression. Saat dijumpai, anak bayinya menangis tidak henti karena lapar. Situasi ini terjadi karena ibunya enggan menyusui, ditambah lemas karena ogah makan seharian lebih. 

Yana saat itu melakukan pendekatan persuasif dengan menceritakan pengalamannya perlahan, dengan harapan si ibu tidak merasa sendirian. Ternyata, si ibu tersadar. Ia akhirnya mau makan dan bahkan mau memeriksakan dirinya ke psikiater. MotherHope mendampinginya sampai pulih.

Pendampingan secara umum dilakukan rutin di grup Whatsapp dan Facebook. Kini, sudah ada 58.500 anggota di Facebook, dari saat pembentukan awal hanya 10 orang.

Apa yang dilakukan MotherHope kian berkembang. Kini, MotherHope telah bekerja sama dengan 120 puskesmas untuk memberikan media edukasi dan melatih sekitar 20 ribu bidan terkait postpartum sejak 2015. Lalu, turut melakukan advokasi untuk memengaruhi kebijakan, baik di Indonesia maupun internasional.

Butuh Didengar
Yana belakangan juga membuka pelatihan relawan terlatih untuk menghadapi ibu penderita postpartum depression. Salah satu relawan itu bernama Augustina Wanisari, yang telah bergabung sejak tahun 2017. 

Awalnya, Ami, sapaan akrabnya, mencari support group karena kesulitan untuk bounding dengan anaknya. Ami merasa butuh pertolongan karena sempat sampai melakukan percobaan bunuh diri yang beruntung masih dipergoki oleh suaminya. 

Sejak itu, Ami dan suami mulai mencari-cari kelompok atau komunitas yang bisa mengerti dan berbagi, hingga akhirnya bertemu Yana di MotherHope. 

MotherHope jugalah yang menguatkan Ami untuk ke psikiater. Ami mulanya mendapat diagnosa postpartum depression, yang juga kemudian diketahui dirinya sudah menderita bipolar sejak sebelum melahirkan. Karenanya, sampai saat ini, Ami masih melakukan terapi minum obat rutin.

"Bagi pengidap bipolar kemungkinan mengalami postpartum depression itu tinggi banget," kata Ami kepada Validnews, Minggu (9/2).

Setelah bergabung ke MotherHope, hidup Ami yang kini menjadi Koordinator MotherHope Kota Solo, Jawa Tengah, mulai tersusun kembali. Ami sudah bisa terlibat bersama kelompoknya untuk melakukan home visit mendukung ibu penderita postpartum depression

Biasanya, kata Ami, para penderita postpartum depression hanya perlu didengarkan, terutama oleh penyintas atau orang yang pernah mengalami hal serupa. Kebanyakan penderita depresi perlu teman untuk memvalidasi perasaannya, agar tidak selalu menyalahkan diri sendiri.

"Sebenarnya itu kan ingin didukung. Pentingnya teman dengar, apalagi kalau ada pengalaman yang sama pernah merasakan di posisi sama, itu membuat merasa tidak sendiri," urai Ami.

Tapi, ada juga suatu momen Ami tidak bisa terlalu banyak berkomunikasi dengan ibu penderita postpartum depression. Sebab, si ibu ternyata tidak ingin berinteraksi, termasuk dengan bayinya.

"Jadi ada suami yang melapor, tapi istrinya lagi relapse. Di sana kita hanya menunjukkan dukungan dan kepedulian bahwa mereka enggak sendiri, yang akhirnya kami pantau terus perkembangannya," paparnya.

Ami bersyukur saat ini ada sejumlah penyintas mau mendukung dengan menjadi koordinator, pengurus, atau relawan terlatih di MotherHope. Dukungan dari luar komunitas juga terus mengalir. MotherHope Solo bahkan mendapat dana hibah untuk operasional dari pemerintah daerah.

Ami menilai keberadaan MotherHope sebagai support group ini sangat membantu. 

"Harus diketahui bahwa tidak bounding, atau tidak ada rasa sayang terhadap anak itu ternyata ada dan nyata bisa dirasakan ibu postpartum depression," beber Ami.

Berpotensi Depresi
Psikiater dari Universitas Indonesia, Diah Setia Utami menjelaskan, sebenarnya setiap perempuan setelah melahirkan berpotensi depresi. Penyebabnya bisa kelelahan fisik dan psikis, serta perubahan fisik dan hormonal.

Gejala depresinya pun terlihat mirip-mirip seperti postpartum depression dan baby blues. Kesamaannya yaitu, depresi saat mengalami perubahan yang terlalu banyak.

"Kemungkinan sesuatu terjadi di bulan pertama sampai bulan ketiga setelah melahirkan," ungkap Diah kepada Validnews, Senin (10/2).

Ia memaparkan, setidaknya ada beberapa gejala atau tanda-tanda seorang ibu mengalami postpartum depression. Di antaranya, mulai menarik diri dari sekitar, enggan merawat diri, malas berkomunikasi, hingga enggan memberi ASI pada bayinya. 

Kemudian, terjadi perubahan mood dan emosi yang drastis, serta lebih cepat marah serta tersinggung dikarenakan hal sepele. Hal ini kerap menjadi permasalahan besar jika suaminya tidak memahami emosi istri.

Penyebabnya bisa beragam, dari mulai perubahan hormonal selama hamil dan melahirkan yang memengaruhi mood dan emosinya. Lalu, pergantian peran yang tadinya bekerja kini fokus pada bayinya, mengubah kegiatan yang rutin dilakukan.

Kemudian, kehamilan itu sendiri pun bisa menjadi penyebab bila tidak diinginkan atau sedang tidak diprogram. Imbasnya, bisa menjadi beban karena anak pertama masih kecil, atau belum siap menjadi ibu dengan segala macam alasan. 

"Lalu yang keempat dukungan dari keluarga, terutama suami yang tidak memahami kondisi perempuan setelah melahirkan," imbuh Diah.

Diah menyarankan ibu penderita postpartum depression agar mendatangi profesional jika tetap tidak bersemangat dan tidak mau mengurus diri saat sudah mendapatkan dukungan orang sekitarnya. Kondisinya kian mendesak bila sudah memiliki ide bunuh diri atau percobaan bunuh diri.

Pada prinsipnya, bila terjadi gangguan fungsi dalam struktur diri, baik sebagai ibu maupun istri, maka patut diwaspadai hal ini memerlukan bantuan profesional.

"Secara sosial biasanya dia sudah tidak mau bertemu dengan tamu, lebih banyak diam di kamar melamun tidak ada produktifitas," ucap Diah.

Menurutnya kondisi ini memerlukan perawatan dan pendamping yang rutin mengontrol karena ide-ide mengakhiri hidup kian muncul. Maka dari itu, teman cerita menjadi penting bagi penderita postpartum depression.

Keluarga dan suami juga harus mulai menerima, bukan justru marah. Kondisi pada ibu baru melahirkan ini sangat memerlukan dukungan keluarga terdekat. 

"Jangan disudutkan, disalahkan segala macam," paparnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar