27 Agustus 2025
16:17 WIB
Riset Tunjukkan 40% Wilayah Indonesia Dikuasai Dinasti Politik
Dinasti politik yang menguasai wilayah Indonesia jumlahnya kini lebih tinggi dibanding hasil pilkada sebelumnya.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Sejumlah kepala daerah terpilih mengikuti upacara pelantikan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakart a, Kamis (20/2/2025). AntaraFoto/Aditya Pradana Putra.
JAKARTA - Peneliti Institute for Advanced Research (IFAR), Universitas Katolik Atma Jaya, Yoes Kenawas mengungkapkan, 40% wilayah Indonesia sudah dikuasai oleh dinasti politik.
Dia menyebutkan, jumlah kandidat politik dinasti Pilkada 2024 lebih tinggi dari pilkada sebelumnya. Pasalnya, pada Pilkada 2015-2018 terdapat 202 kandidat politik dinasti dan pilkada 2020 sebanyak 159 kandidat berasal dari politik dinasti.
“Artinya di Pilkada 2024, sebanyak 21,26% dari 3.100 kandidat adalah kandidat dinasti. Atau satu dari lima kandidat adalah kandidat dinasti,” jelas dia, dalam seminar Demokrasi dalam Cengkeraman Dinasti di Kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jakarta, Rabu (27/8).
Yoes mengutarakan, dalam risetnya bertajuk “Indonesia Dynasty Tracker” menunjukkan, 659 calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah Pilkada 2024 terindikasi politik dinasti.
Dari 659 kandidat politik dinasti, tersebut, sebanyak 39,91% atau 263 kandidat menang dalam Pilkada 2024.
Baca juga: Pengamat Amati Hampir Seluruh Daerah Pernah Alami Dinasti Politik
Sedangkan di Pilkada 2020 perbandingannya adalah 18,66% dari 852 calon dan Pilkada 2015-2018 cuma enam persen dari 3.402 calon.
Yoes menjelaskan yang menjadi penyebab tingginya lonjakan kandidat pada Pilkada 2024 adalah koalisi dan persaingan antar dinasti di banyak daerah.
Faktor lainnya adalah perluasan dinasti. Artinya, dari anggota keluarganya yang sudah menjabat sebagai pemimpin di suatu daerah mencalonkan anggota keluarganya yang lain untuk berkuasa di daerah yang lain.
“Bisa juga tadinya sudah menguasai DPR, terus kemudian didorong untuk menguasai kamu kabupaten/kota,” jelas dia.
Penyebab lainnya adalah tidak adanya hambatan institusional. Yose menjelaskan tidak ada aturan yang melarang untuk tidak dinasti politik.
“Dulu kita sempat punya aturan kandidat dinasti di UU Pilkada, tapi kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK),” ujarnya.
Kemudian pragmatisme partai politik juga menjadi penyebab lainnya. Partai ingin cepat-cepat mencalonkan kandidat yang populer, memiliki elektabilitas, dan punya dana yang banyak.
Adapun dalam riset tentang dinasti politik ini, Yoes menerangkan, yang dimaksud kandidat politik dinasti adalah mereka yang punya hubungan dengan pejabat terpilih lainnya atau yang pernah terpilih sebelumnya.
“Karena di dalam demokrasi itu permainan yang berulang-ulang. Jadi kalah di satu pilkada bukan berarti dia enggak bisa bangkit di pilkada lain,” kata dia.
Politik dinasti ini tidak hanya berkaitan dengan kekerabatan kepala daerah, tapi juga anggota legislatif.
“Anggota DPR, DPRD, DPD, mereka semua punya basis massa, punya mesin pemenangan di tempat di mana mereka berkompetisi,” tambah dia.