19 September 2024
20:52 WIB
Pengamat Amati Hampir Seluruh Daerah Pernah Alami Dinasti Politik
Dinasti politik membuat masalah di pilkada lebih kompleks dari pilpres
Penulis: Gisesya Ranggawari
Editor: Nofanolo Zagoto
Petugas membawa bilik suara untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di gudang logistik KPU Kabu paten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (18/9/2024). Antara Foto/Abdan Syakura
JAKARTA - Pengamat Politik, Ujang Komarudin menilai hampir seluruh daerah di Indonesia pernah mengalami kondisi dipimpin dinasti politik. Misalnya di Maluku Utara, Kabupaten Bogor, Kota Tangerang, beberapa daerah di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra.
Bahkan, Ujang mengaku ada seorang Anggota Komisi II DPR RI yang menyebut banyak petahana kalah di Pemilu Legislatif karena berhadapan dengan dinasti politik. Bahkan, jumlahnya nyaris 50% yang lolos ke Parlemen merupakan hasil dari dinasti politik.
"Pilkada itu yang bisa maju dan mengalahkan petahana itu dinasti politik, di DPR Komisi II itu sekarang banyak yang kalah oleh dinasti politik. Jadi kalah sama anaknya siapa, ponakannya siapa gitu," ujar Ujang dalam diskusi di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (19/9).
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini, dinasti politik membuat masalah di pilkada lebih kompleks dari pilpres. Ia menyarankan agar pemerintah membuka kembali usulan pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk membatasi dinasti politik berselang lima tahun.
"Sebenarnya ada regulasi yang diusulkan di masa SBY bahwa dinasti politik mesti ada jeda lima tahun untuk mengantisipasi seperti ini, karena semua sumber daya dikuasai oleh dinasti jadi tidak adil," tutur Ujang.
Kendati demikian, Ujang mengajak masyarakat untuk terus optimistis merawat dan memperbaiki demokrasi. Lantaran, jika masyarakat sudah mulai tidak peduli, akan sulit untuk memperbaiki demokrasi Tanah Air.
"Harus tetap semangat membangun dan menata pilkada lebih baik. Menjaga demokrasi lebih baik ke depan sebagai ikhtiar kita semua," tandas Ujang.
Ia menjelaskan, banyak putra-putri terbaik yang tidak mampu maju dalam kontestasi pemilu karena adanya dinasti politik. Pasalnya, pelaku dinasti politik biasanya memiliki dana yang cukup dan berlimpah untuk maju dalam Pemilu.
Ironisnya, para partai politik (parpol) juga mendorong sosok yang memiliki kuasa dan uang, di antaranya pelaku dinasti politik. Sebab dinasti politik biasanya masih menguasai semua sumber daya politik, ekonomi, hukum dan jaringan lainnya.
"Sehebat apapun akademisi kalah oleh dinasti politik yang menggunakan money politic, tidak bisa berdaya, faktanya seperti itu. Hampir semua daerah ada raja dan penguasanya, sehingga putra-putri terbaik tidak punya kekuatan melawan," beber dia.