20 Juni 2025
08:37 WIB
Revisi UU Penyiaran Redefinisi "Broadcasting"
"Broadcasting" merupakan hal mendasar yang perlu definisi ulang seiring perkembangan teknologi yang pesat.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Wamenkomdigi Nezar Patria (tengah) serta Anggota Komisi I DPR RI Nurul Arifin (kanan) dalam sebah diskusi di ANTARA Heritage Center, Pasar Baru, Jakarta, Kamis (19/6/2025). ANTARA/Fath Putra Mulya.
JAKARTA - Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Nezar Patria mengusulkan definisi ulang siaran atau broadcasting dalam Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran).
“Ada banyak catatan penting yang harus kita tatap ulang, termasuk apa itu yang kita sebut sebagai broadcast? Penyiaran itu apa sebetulnya sekarang?” kata Nezar dalam diskusi yang digelar Forum Pemred di Antara Heritage Center, Jakarta, Kamis (19/6).
Dia memaparkan, perkembangan teknologi yang kian pesat, semua orang bisa melakukan penyiaran, baik melalui terestrial maupun streaming. Nezar lantas mempertanyakan apakah streaming termasuk ke dalam penyiaran (broadcasting).
Baca juga: Revisi UU Penyiaran Harus Jaga Kesetaraan Media
“Jadi, broadcast ini apa sekarang? Apakah yang terjadi broadcast atau narrowcast (penyiaran sempit)? Ini juga suatu diskusi,” urai Wamenkomdigi.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi I DPR Nurul Arifin menyebut pokok utama dalam RUU Penyiaran yang tengah digodok parlemen ialah pengaturan terkait platform digital, yakni media over-the-top (OTT) atau penyedia layanan siaran konten daring.
DPR, lanjut politisi Golkar ini, menginginkan asas keadilan antara lembaga penyiaran konvensional dan entitas OTT. Namun, legislator belum sampai pada kesepakatan bulat apakah pengaturan OTT akan digabung ke RUU Penyiaran atau dibuatkan undang-undang tersendiri.
Baca juga: RUU Penyiaran Ditarget Sah September 2024
Nurul menyebut, regulasi terkait OTT sebaiknya dipisahkan dari UU Penyiaran terbaru apabila pembahasan dengan pihak platform digital mandek. Sebab, RUU Penyiaran sudah terlampau lama bergulir di DPR, sementara teknologi berkembang dengan sangat pesat.
Lebih lanjut Nurul menyebut DPR bakal segera memanggil perwakilan platform digital untuk membahas hal itu. “Kami akan sesegera mungkin mengundang platform digital yang besar, seperti YouTube, Netflix, dan TikTok supaya kita menemukan suatu kesepakatan,” urai dia.
Selain OTT, persoalan lainnya yang belum rampung dirumuskan oleh DPR, yaitu digitalisasi radio, ihwal penambahan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia, pengaturan penyiaran multiplatform, hingga penjatuhan pidana dalam RUU Penyiaran.
Kendati demikian, Nurul menyatakan komitmen untuk percepatan penyusunan RUU Penyiaran melihat kondisi lembaga penyiaran konvensional Indonesia di tengah disrupsi teknologi.
“Kalau bisa lebih cepat, lebih baik. Sedih juga melihat situasi [stasiun] televisi nasional pada saat ini bagaimana ceruk dari iklannya itu banyak diambil oleh platform lain,” kata Nurul.