22 Mei 2025
11:39 WIB
Pesantren Protes Kebijakan Gubernur Jabar Terkait Ijazah
Kebijakan Gubernur Jabar yang menginstruksikan sekolah dan pesantren tidak tahan ijazah siswa maupun pesantren, dinilai merugikan.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi santri sedang mengikuti kegiatan di pondok pesantren. AntaraFoto/Adiwinata Solihin.
BANDUNG - Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bekasi protes atas kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi agar sekolah sukarela menyerahkan ijazah pada seluruh siswa.
Sebelumnya, PCNU, RMI-NU, Forum Pondok Pesantren, Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) serta perwakilan pesantren melakukan audiensi dengan pimpinan DPRD Jawa Barat, Acep Jamaludin dan anggota asal fraksi PKB Rohadi di Kantor DPRD Jawa Barat.
"Kami menyayangkan kebijakan tersebut karena tidak berpihak pada kalangan pesantren. Ini sangat menyedihkan," kata Ketua PCNU Kabupaten Bekasi, KH. Atok Romli Mustofa di Bandung, Rabu (21/5) dikutip dari Antara.
Dia menyatakan, kebijakan tersebut menimbulkan keresahan, di kalangan pesantren. Sebab, tidak melalui kajian secara komprehensif dan partisipatif melainkan spontanitas, intimidatif dan hanya bersifat intuitif Gubernur Jawa Barat.
Kebijakan itu bahkan disertai ancaman, yakni, pesantren atau sekolah yang menolak, tidak akan menerima program bantuan pendidikan menengah universal (BPMU) hingga pencabutan izin operasional.
Baca juga: JPPI Minta Dedi Mulyadi Tebus Ijazah Siswa di Jabar
Menurut dia dampak kebijakan itu berdampak bagi pesantren. Karena, ada biaya besar yang dikeluarkan pesantren secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan.
Pengasuh Pondok Pesantren Yapink Pusat, KH. Kholid menegaskan, pesantren hadir jauh sebelum Indonesia ada. Para pendiri pesantren sejak awal berdiri telah fokus untuk berkontribusi bagi masyarakat melalui pendidikan mandiri.
Dia mengaku dalam jangka pendek, pengelolaan pondok pesantren dapat dipastikan terhambat oleh kebijakan itu. Para alumni dari beragam latar belakang datang ke pesantren untuk meminta hak berlandaskan arahan Gubernur Jawa Barat.
"Sedangkan di sisi lain, ada hak pesantren yang tidak terpenuhi. Tentu hal tersebut akan mengganggu proses belajar mengajar di lingkungan pesantren," sambung dia.
Kebijakan tersebut juga akan menimbulkan potensi banyak pesantren gulung tikar dalam waktu dekat karena masalah finansial. Seperti di Kabupaten Bekasi, satu pesantren saja mengeluarkan Rp1-1,7 miliar yang belum dilunasi para alumni, urai dia.
Persoalan lebih serius berpotensi dialami pesantren dalam jangka panjang yakni degradasi akhlak. Semisal tidak ada lagi takdzim kepada guru dan pesantren karena seolah-olah pemerintah sedang mengadu-domba santri dengan pesantren yang menahan ijazah.
"Orang tua dan santri tidak diajarkan tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban. Maka yang akan rusak adalah generasi bangsa. Tidak akan terwujud generasi emas yang dicita-citakan," lanjut dia.
Ketua BMPS Kabupaten Bekasi, M Syauqi menyatakan kebijakan ini tidak partisipatif karena tidak melibatkan sejumlah unsur terkait bahkan bisa berdampak buruk bagi sektor pendidikan ke depan.
"Memang benar, semua rakyat Indonesia berhak menerima pendidikan secara gratis karena menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh pemerintah. Tapi, apakah pemerintah sudah dan mampu memenuhi kewajibannya tanpa peran sekolah swasta, khususnya pesantren? Kami yakin, tidak," urai dia.
Data menunjukkan negara hanya mampu menyediakan pendidikan gratis melalui sekolah negeri sebanyak 25-35% dari jumlah kebutuhan populasi yang ada. Sisanya, peran swasta.