c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

18 Juni 2025

09:22 WIB

Penulisan Sejarah Ulang Dituding Tonjolkan Narasi Pelaku

Penulisan sejarah ulang yang dinilai menonjolkan narasi pelaku dikhawatirkan sebagai upaya membersihkan tindakan pelaku.

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Penulisan Sejarah Ulang Dituding Tonjolkan Narasi Pelaku</p>
<p>Penulisan Sejarah Ulang Dituding Tonjolkan Narasi Pelaku</p>

Anggota Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengikuti Aksi Kamisan ke-781 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (27/7/2023). Antara Foto/M Risyal Hidayat.

JAKARTA - Penulisan ulang sejarah dinilai mengabaikan perspektif korban, terutama perempuan, dan lebih menonjolkan narasi pelaku. Hal ini dikhawatirkan mengandung kekeliruan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

“Penulisan sejarah ini kok menonjolkan perspektif pelaku, bukan perspektif korban; dan perempuan ini selalu menjadi objek, tidak pernah jadi subjek,” kata aktivis perempuan Eva Sundari dikutip dari Antara di Jakarta, Selasa (17/6).

Eva mengutarakan, Pancasila telah menekankan prinsip kesetaraan, inklusivitas, dan gotong royong. Namun, Eva memandang, dalam penulisan ulang sejarah yang diprakarsai Kementerian Kebudayaan, justru terjadi pengabaian terhadap kelompok perempuan sebagai korban.

“Kalau perempuan itu dinafikan, artinya ada kesalahan epistemik yang fatal,” urai dia.

Baca juga: Fadli Ingatkan Hati-hati Dengan "Perkosaan Massal" Tragedi Mei 1998

Oleh sebab itu, Eva memberi masukan kepada Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon untuk memahami tugasnya dalam memulihkan martabat kebangsaan. Ia meminta agar negara tidak melakukan impunitas terhadap budaya maupun sejarah.

“Menteri Kebudayaan itu harus mengembalikan martabat bangsa, dan di dalam bangsa itu ada perempuan korban. Bukan malah membungkam, menghindari, dan menghilangkan,” urai dia.

Pada kesempatan sama, sejarawan Andi Achdian juga mengkhawatirkan sejarah yang ditulis ulang menjadi upaya pembersihan sesuatu hal dari catatan peristiwa masa lalu bangsa.

Andi pun menilai proyek penulisan ulang sejarah ini sebagai upaya yang terburu-buru, belum berpijak pada kesadaran etis, dan cenderung hanya berlandaskan teknikalitas. 

“Kalau mau menulis sejarah nasional, harus ada kesepakatan moral dan etis yang luas,” saran dia.

Menurut dia, sejarah nasional tidak bisa ditulis hanya berdasarkan pengumpulan data teknis, apalagi dengan mengabaikan peristiwa traumatis seperti kekerasan terhadap perempuan. Untuk itu, dia mengingatkan, negara jangan sampai membangun narasi yang dapat melukai korban.

‘Tubuh perempuan selalu menjadi target dalam setiap krisis politik. Apakah ini hanya akan ditulis sebagai ekses? Itu sangat membahayakan. Kalau kekerasan terhadap perempuan ditulis sebagai ekses kerusuhan saja, itu membunuh korban untuk kedua kalinya,” urai sejarawan itu.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar