10 September 2025
10:07 WIB
PBHI Minta MA Reformasi Internal
Pemilihan Wakil Ketua MA Nonyudisial jadi pintu reformasi internal dengan memilih sosok yang tepat.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Foto lansekap gedung Mahkamah Agung di Jakarta. Shutterstock/Salvacampillo.
JAKARTA - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) berharap, pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Nonyudisial, sebagai langkah lembaga tertinggi bidang hukum itu melakukan reformasi. Pemilihan pejabat ini dilakukan pada hari ini, Rabu (10/9) dan nanti akan mengurusi anggaran, pembinaan, operasional, penelitian dan pengembangan hingga pengawasan.
“Jabatan ini adalah jabatan yang sepatutnya diisi orang–orang tak bermasalah. Tidak dijabat hakim agung yang kerap dipanggil KPK, atau hakim agung yang memangkas vonis korupsi atau bahkan membebaskan terdakwa korupsi,” demikian keterangan tertulis Ketua PBHI Julius Ibrani, Selasa (9/9).
Dia melanjutkan, reformasi MA tidak bisa luput dari reformasi dan tuntutan rakyat ‘17+8. Sebagai gerbang pemutus bagi para pencari keadilan serta sebagai pintu terakhir segala bentuk perselisihan dan proses hukum, MA tidak bisa dan tidak boleh menjadi sarang berkembang biaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Langkah terbaik pertama dalam reformasi di MA yang dilupakan publik, yakni dengan mencari kandidat Wakil Ketua MA Non-Yudisial dengan rekam jejak yang baik, bersih dan akuntabel.
Baca juga: Ketua MA Tak Tolerir Hakim Transaksional
“Bukan hakim agung yang pernah diperiksa dan dipanggil KPK seperti Ketua Kamar Pidana MA saat ini Bapak Prim Haryadi atau hakim agung yang melakukan korting putusan pidana korupsi atau memutus bebas dengan menolak kasasi KPK yang dilakukan oleh Ketua Majelis Kasasi, Dwiarso Budi Santiarto Santiardi,” lanjut Julius.
Terbaru, lanjut Julius, beberapa media melaporkan adanya patgulipat kasus korupsi melibatkan Gulaku Sugar Company yang mana melibatkan eks pejabat MA, Zarof Ricar sebagai makelar kasus dengan anggaran puluhan miliar rupiah untuk mengurus perkara di MA dengan melibatkan banyak pejabat teras di MA, termasuk pucuk pimpinan saat ini.
Julius mengungkapkan, MA telah digeragoti dari dalam dan menciptakan hilangnya kepercayaan publik kepada MA. Kasus suap kerap terjadi setiap tahunnya dengan angka-angka fantastis.
Seperti kasus suap Zarof Ricar yang mengumpulkan uang tunai setriliun rupiah serta berkilogram emas yang diakui sebagai uang suap perkara. Sampai tertangkapnya hakim-hakim utama di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Surabaya dengan angka mencapai ratusan miliar rupiah.
“Kesemuanya terjadi dalam tempo kurang dari 10 bulan saja dan dibawah kepemimpinan Ketua MA saat ini, Sunarto,” papar Julius.
“Setidaknya-tidaknya, MA harus tetap mencari sosok pimpinan yang berintegritas, berani dan bebas dari kasus korupsi di masa lampau. Jadi mengerikan apabila lembaga yudikatif sekelas MA dan seagung MA masih terus saja mencetak judul-judul koran nasional bukan dengan prestasi. tapi dengan kasus demi kasus suap dan korupsi di Republik ini,” tegas dia.