03 Oktober 2025
16:20 WIB
Pakar Pertanyakan Sanksi Denda di PP 45 Tahun 2025
PP 45 Tahun 2025 memuat sanksi denda yang menurut pakar menimbulkan ketakutan dan citra buruk investasi kelapa sawit.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Kebun kelapa sawit salah seorang masyarakat di Kabupaten Pasaman Barat yang perlu diremajakan dalam rangka menjaga produktivitas. ANTARA/Altas Maulana.
JAKARTA - Guru Besar IPB bidang ahli kebijakan, tata kelola pertanahan, ruang dan sumber daya alam, Budi Mulyanto mengingatkan, akan pentingnya kepastian hukum terkait sanksi berupa denda hingga kewenangan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) berdasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025.
“PP 45 Tahun 2025 memperluas kewenangan Satgas PKH. Ada istilah penguasaan kembali, paksaan pemerintah, bahkan kewenangan untuk mencabut izin, memblokir rekening, sampai mencegah orang keluar negeri. Walaupun denda sudah dibayar, lahan tetap bisa diambil kembali,” papar Budi dikutip dari Antara di Jakarta, Jumat (3/10).
Ia menilai hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran terkait kepastian hukum dan iklim investasi.
Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah besaran denda Rp25 juta per hektare (ha) per tahun yang dinilai memberatkan.
Baca juga: Kasum TNI Tinjau Tambang Disita PKH
“Besaran denda ini banyak dikomentari sebagai pembunuhan industri sawit. Bukan hanya menimbulkan ketakutan, tapi juga citra buruk investasi di Indonesia,” ujar dia.
Lebih jauh, Budi menekankan akar persoalan bukan sekadar pada PP 45 Tahun 2025, tetapi pada penetapan kawasan hutan yang sejak awal tidak mengikuti UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Menurut UU Kehutanan, sebelum penunjukan kawasan hutan, harus ada survei sosial, ekonomi dan penguasaan tanah masyarakat.
Namun, praktiknya penunjukan kawasan dilakukan tanpa survei menyeluruh. Akibatnya, tanah rakyat, desa, transmigrasi, hingga HGU lama ikut dimasukkan ke kawasan hutan.
Budi juga menyoroti dampak aturan ini pada masyarakat luas. Tidak hanya perusahaan, tetapi masyarakat yang kebunnya masuk kawasan hutan juga bisa terkena denda.
Ia berharap pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah fundamental dengan melakukan revisi peta kawasan hutan.
Budi menilai prosesnya harus berbasis survei partisipatif yang melibatkan masyarakat, pemerintah daerah dan aparat hukum, sehingga batas kawasan hutan menjadi lebih legitimate.
“Saya berharap pemerintahan Pak Prabowo membereskan akar persoalan dengan merevisi peta kawasan hutan dan melaksanakan reforma agraria,” kata Budi.
Dengan penataan ulang kawasan hutan sesuai prosedur hukum, tanah rakyat yang sah tidak lagi terjebak di kawasan hutan.
“Kalau akar masalah dibereskan, batas kawasan hutan jadi jelas, rakyat terlindungi, dan industri berjalan. Reforma agraria bisa dilaksanakan, hak rakyat diakui, dan lahan kosong yang benar-benar milik negara bisa dipakai untuk energi, pangan dan pembangunan,” sebut dia.